MIMBAR-RAKYAT.com (Jakarta) – Hari ini, jutaan manusia Indonesia sangat takut “menjelajahi” dunia baru yang sama sekali belum dikenalnya. Kebanyakan orang justru menghindari kegagalan, kesasar, atau segala sesuatu yang bakal menyulitkan hidup.
Umumnya semua orang ingin anaknya menjadi juara, lulus cepat, dan dapat pekerjaan yang baik, dimudahkan jalannya.
“Setiap kali mereka mengalami kesulitan, “persoalan” mereka kita ambil alih, kita yang hadapi, dan kita yang menjadi petarungnya, padahal semua masalah itu diberikan Tuhan untuk mengubah karakter manusia agar menjadi lebih “petarung” dalam menghadapi masalah,” kata Prof. Rhenald Kasali dalam pengantar buku “30 Paspor: The Peacekeeper’s Journey”, merupakan buku ketiga dari Seri 30 Paspor di Kelas Profesor
“Mudahnya kira-kira begini,” katanya, “Sebagian besar kita hanya berani pulang-pergi menelusuri jalan yang sama dari hari ke hari. Ya, kita semua telah berubah menjadi manusia yang terperangkap dalam zona nyaman masing-masing, senang mengarungi jalan yang sama, berlibur ke tempat yang sama. Dan kita selalu mencari orang yang bisa menemani perjalanan kita, memikirkan segala sesuatu yang akan kita hadapi,” katanya dalam pengantar buku itu.
Dua jilid buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor telah terbit dua tahun lalu dan terjual lebih dari 20. 000 eksemplar.
Buku yang disusun oleh JS Khairen itu merupakan kumpulan kisah 30 mahasiswa mata kuliah Pemasaran Internasional yang “dipaksa” kesasar oleh Prof. Rhenald Kasali.
Revolusi diri, kesasar, dari burung dara menjadi rajawali, self driving, bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dikupas dengan lebih jelas dalam peluncuran Buku & Diskusi 30 Paspor The Peacekeeper’s Journey di Aula Terapung Perpustakaan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok minggu ini.
Prof. Rhenald Kasali, guru besar UI yang juga pengajar mata kuliah Pemasaran Internasional yang “memaksa” para burung dara untuk keluar sarang, hadir dalam diskusi itu, seperti tertulis dalam siaran pers Noura Books.
Begitu juga JS Khairen (penyusun buku) dan 30 mahasiswa yang kisahnya dituangkan dalam buku 30 Paspor: The Peacekeeper’s Journey. Beragam pengalaman seru, heboh, lucu, mendebarkan, mereka sampaikan dalam diskusi tersebut.*
Dituturkan, para mahasiswa itu “dipaksa” membuat paspor saat kuliah baru dimulai. Kemudian mereka harus pergi ke luar negeri dalam waktu tertentu. Menentukan negara yang akan dituju, tidak boleh sama dengan mahasiswa lain. Mengumpulkan biaya, membeli tiket pesawat, mengurus visa, dan segala tetek bengek lain, tidak boleh dibantu oleh teman, orangtua, dan keluarga.
Maka beragam pengalaman pun para mahasiswa dapatkan.
Di kelas 30 Paspor kali itu, mahasiswa Pak Rhenald ditugaskan tak hanya pergi ke luar negeri, tetapi juga menjadi relawan, terlibat dalam kegiatan sosial, atau membantu siapa pun yang membutuhkan.
Tujuannya, merajut perdamaian! Berbagai petualangan seru pun terjadi. Dikejar-kejar orang asing, kehilangan koper, bahkan salah seorang mahasiswa hampir dirampok. Berbekal teri kacang sebagai alat diplomasi, hingga tak sengaja ditemani artis terkenal di sebuah negara, semua mewarnai suka duka perjalanan mereka.
Tugas kuliah yang awalnya ditentang banyak orang terbukti jadi ajang “latihan terbang”. Kesasar di negeri orang telah menumbuhkan mental self driving—pribadi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menentukan arah hidup sendiri. (nb/kb)