Thursday, December 12, 2024
Home > Berita > Gubernur Anies: Demi Keadilan, Becak Boleh Beroperasi di Jakarta

Gubernur Anies: Demi Keadilan, Becak Boleh Beroperasi di Jakarta

Becak di Jakarta ditertibkan petugas Satpol PP. (ist)

MIMBAR-RAKYAT.Com (Jakarta) – Becak akan kembali menyesaki jalanan di Ibukota Negara, setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan becak boleh beroperasi di Jakarta atas nama keadilan.

Alasan Gubernur Anies, dengan beroperasinya kembali kendaraan roda tiga itu, keadilan untuk memperoleh peluang ekonomi kembali didapatkan warga yang selama ini tersingkirnka karena kebijakan Pemprov DKI.

“Kota ini juga milik mereka yang masih miskin. Kalau yang kaya dapat kesempatan untuk berkegiatan di sini. Berilah kesempatan juga untuk mereka yang miskin. Dan abang becak yang selama ini bekerja di kampung-kampung, mereka juga ingin hidup sejahtera dan bisa mendapatkan penghasilan yang baik. Nah kita mengatur untuk itu,” kata Anies di Lapangan IRTI Monas, Jakarta Pusat, Selasa (16/1).

Disebutkan, selama ini becak belum benar-benar punah dari Jakarta. Anies menyebut becak masih beroperasi di kawasan Jakarta Utara. Kebijakan itu menurut Anies diputuskan atas kesepakatan dengan warga yang disebut Anies membutuhkan jasa becak.

“Dan itu kenyataannya selama ini ada, jadi bukan kita mendatangkan. Kenyataannya ada, tapi diatur. Bahkan dalam pembicaraan, ini membutuhkan persetujuan warganya. Warganya memang membutuhkan. Kalau warga di kampung itu tidak membutuhkan ya tidak usah ada,” tandasnya.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menegaskan, becak akan beroperasi sebagai angkutan lingkungan (angling). Becak hanya akan beroperasi di dalam perkampungan dan pemukiman penduduk. Anies memastikan becak tidak akan ditemui di jalan protokol di Ibukota.

“Kita tidak pernah merencanakan becak di jalan raya. Becak ini di dalam kampung. Jangan berimajinasi bahwa becak akan berada di jalan-jalan utama Jakarta,” tegas Anies.

Pemprov DKI Jakarta akan menggandeng Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) untuk mengatur rute dan jumlah becak yang akan beroperasi. Anies mengatakan becak akan beroperasi di setiap perkampungan di Jakarta.

“Nanti di tiap tempat ada. Kemarin pembicaraan dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota, mereka sudah ada titik-titiknya, gambarnya. Jadi mengatur yang selama ini ada. Hanya selama ini kejar-kejaran,” pungkas Anies.

KISAH PANJANG BECAK

Becak di Ibukota memiliki kisah panjang. Berpuluh-puluh tahun dilarang, kini angkutan beroda tiga tersebut boleh kembali beroperasi di Jakarta.

Kepastian becak boleh beroperasi lagi setelah Gubernur Anies Baswedan menilai alat transportasi ini masih dibutuhkan warga. Dengan kebijakan itu angkutan roda tiga itu boleh disebut timbul, tenggelam dan timbul lagi.

Becak mulai beroperasi di Ibukota sekitar tahun 1936. Sering dengan perkembangannya, jumlah armada ini melesat cepat dalam kurun waktu tujuh tahun, hingga mencapai 3.900 unit.

Bertambah tahun, jumlah becak seakan tidak terkendali. Pada 1951, jumlah becak di Jakarta tercatat 25.000 yang dikemudikan 75.000 orang dalam tiga shift.

Rencana pemberangusan terhadap becak dimulai pada 1967. Saat DPRD-GR Jakarta mengesahkan Perda tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Dalam regulasi itu tidak mengakui becak sebagai kendaraan angkutan umum.

Tiga tahun kemudian Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan instruksi melarang memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta, termasuk rayonisasi becak. Tahun tersebut jumlah becak diperkirakan 150.000 unit yang dikemudikan 300.000 orang dalam dua shift. Tahun berikutnya Pemprov DKI Jakarta menetapkan sejumlah jalan protokol dan jalan lintas ekonomi tidak boleh dilewati becak.

Seiring dengan perkembangan kota, pelarangan becak resmi dilakukan Pemprov DKI Jakarta pada 1972. Dasar larangan itu yakni Perda Nomor 4 Tahun 1972 menetapkan becak, sama dengan opelet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Saat itu becak berkurang dari 160.000 menjadi 38.000 unit.

Pada 1990, Pemprov DKI Jakarta memutuskan becak harus hilang dari Jakarta. Kesabaran selama 20 tahun untuk membiarkan becak tetap ada di jalanan dianggap sudah cukup sebagai tenggang rasa. Larangan itu dituangkan dalam Perda Nomor 11/1988 tentang Ketertiban Umum.

Angin segar terhadap pengemudi becak kembali berhembus pada 1998. Saat itu Sutiyoso yang menjabat Gubernur DKI Jakarta menyatakan, selama masa krisis ekonomi, angkutan umum yang disebut becak dibolehkan beroperasi di ibukota, tetapi khusus di lingkungan permukiman warga saja. Bila situasi dan kondisi ekonomi sudah pulih kembali, maka larangan becak beroperasi di Jakarta diberlakukan lagi.

Namun tak beberapa lama, izin lisan yang diberikan Gubernur Sutiyoso yang membolehkan beroperasinya angkutan umum becak di ibukota ditarik kembali. Dengan demikian, becak dilarang beroperasi di wilayah hukum Jakarta. Namun jumlah becak yang masuk ke Jakarta sudah mencapai sekitar 1.500 unit. Larangan ini menuai reaksi keras dari pengemudi angkutan roda tiga itu.

Pada 1999, sebanyak 800 pengayuh becak dengan mengendarai 400 angkutan roda tiga itu mendatangi Balaikota DKI Jakarta. Mereka yang berada di sana sejak pagi ingin bertemu Gubernur Sutiyoso untuk menyampaikan tuntutan agar becak diperbolehkan beroperasi di wilayah permukiman dan jalan nonprotokol.

Selain itu, mereka juga meminta Pasal 18 Perda Nomor 18/1998 yang melarang becak beroperasi di Jakarta diubah. Tuntutan tersebut ditolak Pemprov DKI Jakarta.

Perjuangan pengayuh becak berlanjut pada 2000, melalui jalur hukum. Melalui kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menggugat Gubernur Sutiyoso.

Sutiyoso dinilai melanggar Perda Nomor 11/1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah Jakarta. Gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Masih di tahun yang sama, ratusan tukang becak memekik kegirangan usai putusan sidang perkara gugatan tukang becak terhadap Sutiyoso di PN Jakarta Pusat. Ketua Majelis Hakim Manis Soejono dalam putusannya menyatakan, penggugat dapat melaksanakan pekerjaan sebagai penarik becak di jalan-jalan permukiman dan pasar.

Namun, meskipun meskipun kalah melawan pengayuh becak di PN Jakarta Pusat, tetapi Sutiyoso terus merazia becak. Sutiyoso juga menolak memberikan ruang gerak atau tempat beroperasi bagi becak, sekalipun di kawasan terbatas. Di tahun 2001, pembersihan besar-besaranpun dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap becak.

Aturan pelarangan becak di Jakarta tetap dipegang teguh Gubernur Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan Djarot Saiful Hidayat.

Sebelum akhirnya Gubernur Anies Baswedan kembali ingin menghidupkan becak di Jakarta. Dengan menyiapkan rute khusus bagi angkutan ini. Dengan kebijakan itu, becak boleh dikata timbul lagi.(joh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru