Gagah nian langkah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman.Ia
berkukuh melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif.
Ironinya sikap berani itu berhadapan dengan arus besar pembela koruptor.
DPR, Bawaslu, dan Kemendagri sebelumnya ramai_ramai menolak draft larangan eks napi koruptor jadi caleg.
Itu melanggar HAM,kata mereka.
Tidak, kata Arief. Tekad KPU membuat larangan tersebut memiliki dasar dan pertimbangan matang.
“KPU kan membuat ini juga tidak asal_asalan. Ada dasarnya. Kalau mereka menganggap melanggar HAM, apakah benar, “kata Arief di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/5).
Rencana KPU tersebut bertentangan dengan pandangan Komisi II DPR, Bawaslu, serta Kemendagri dalam rapat dengar pendapat kemarin, Selasa (22/5). Ketiga lembaga itu menganggap eks koruptor tetap harus dibolehkan mendaftar menjadi caleg. Ketiga lembaga berasumsi demikian lantaran UU Nomot 7 tahun 2017 tentang Pemilu tidak mencantumkan larangan itu.
Apa boleh buat. Penolakan yang dilakukan DPR dan Pemerintah terhadap rencana KPU melarang bekas koruptor ‘nyaleg’ mengundang kecurigaan. Melindungi kolega-koleganya, yang merupakan napi kasus korupsi dan ingin kembali menjadi calon legislatif.
Padahal larangan pencalonan bagi eks napi korupsi sudah diterapkan di Pilkada serentak 2018. Bahkan dalam aturan Pilkada 2018 mantan napi korupsi tidak dapat mendaftar menjadi calon kepala daerah.
Ditengah semangat pemberantasan korupsi, sikap 3 lembaga yang menolak aturan ini sungguh mengherankan.
Benar dalam UU Pemilu 2017 tidak secara eksplisit disebut tentang larangan itu. Tetapi justru “bolong”nya UU itu bisa ditutup dengan Peraturan KPU. Bukan dengan menjegal upaya luhur tersebut.
KPU tengah berusaha membangun pemilu yang bisa menghasilkan wakil rakyat bersih.
Larangan tersebut tertera dalam rancangan PKPU yang hingga kini masih dibahas bersama Komisi II DPR, Kemendagri, dan Bawaslu.
Kita mendukung habis
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bila istiqomah tetap memuat larangan tersebut. Sekalipun DPR menolak.
Toh forum tertinggi merumuskan PKPU ini ada di pleno KPU sendiri.
Biar saja pihak yang tidak setuju, melakukan judicial review ke Mahkamah Agung nantinya.
Akan ketahuan belangnya siapa pembela koruptor sebenarnya. (Ais)