Puluhan ribu kitab suci Al Quran sudah “ditebar” di sepanjang perjalanan di jalur lintas Sumatera, Pulau Jawa dan ke beberapa pulau lain Indonesia, sehingga sudah tak terhitung jumlahnya yang pasti.
Al Quran itu bukanlah sembarang “ditebar” melainkan diserahkan kepada pengurus musola, langgar, surau atau apa pun namnya, tidak dikhususkan kepada masjid yang umumnya sudah banyak memiliki kitab suci itu.
“Saya mulai melakukan hal itu sejak tahun 2006. Semua orang yang menerimanya amat berterima kasih dan menyatakan amat membutuhkan kitab suci itu,” kata Sofyan Lubis, ketua PWI Pusat periode 1993-1998, kini sebagai salah seorang anggota Dewan Penasihat PWI Pusat.
“Sudah lebih dari lima ratus musola yang datangi untuk memberikan kitab suci dan sudah belasan ribu Al Quran yang saya serahkan. Saya kunjungi sendiri bersama nyonya (istri) saya. Saya naik mobil sendiri, nyetir sendiri. Kami berkeliling sampai ke pelosok desa” kata Bang Sofyan – panggilan akrabnya -ketika bertemu dan berbincang santai di kantor PWI Pusat, Kamis (30/8-2018).
“Apa kesan Bang Sofyan selama menebar Al Quran itu?”
“Saya heran, kok banyak sekali musola yang tidak ada namanya. Kemudian, menyaksikan sendiri bahwa kitab suci itu amat dibutuhkan di pedalaman, karena mereka masih sedikit yang memilikinya,” katanya.
Bang Sofyan, kini berusia 77 tahun, alumni kursus reguler angkatan (KRA) XXIV Lembaga Ketahanan Masyarakat (Lemhannas) 1991, itu pun mengeluarkan ceritanya.
Suatu saat, ketika ia memberikan kitab suci di salah satu surau di pedalaman daerah di Jawa Barat, ada orang yang mengikutinya, mengendarai sepeda motor dengan perlahan dari belakang.
Ketika mengetahui bahwa ia singgah hanya untuk menyerahkan Al Quran ke musola, orang yang semula mencurigakan itu amat berterima kasih, bahkan meminta beberapa kitab lagi untuk keluarganya.
“Terkadang nyonya saya yang turun untuk menyerahkan kitab suci itu, tetapi kerap pintu musola terkunci. Karena sudah berniat menyerahkan di musola kecil itu, maka kitab itu kita bungkus dan diletakkan di dekat pintu masuk,” kata Bang Sofyan yang pernah menerima Bintang Mahaputra pada 14 Agustus 1998.
Asal muasalnya?
Ini merupakan bagian yang tak kalah menariknya dari cerita Bang Sofyan, yang terkesan spontan bercerita mengenai “tebar” Al Quran itu, ketika ditawari makan siang di kantor PWI.
“Terima kasih, saya sedang puasa Kamis,” katanya dan menambahkan dengan berseloroh, “Kan kalian dulu yang mengajari saya agar puasa Senin Kamis.”
Suasana amat “cair” dan setelah ngomong ngalor-ngidul, Bang Sofyan yang pada masa mudanya tidak menyangka akan menjadi wartawan, – mulai berkecimpung di dunia pers pada 1962 – mulai lah bercerita tentang “tebar” Al Quran itu.
Ia bertutur:
Ini tidak saya rencanakan dengan sengaja. Saya hanya tergerak begitu saja. Pada awalnya saya meminta beberapa teman agar ikut infak Al Quran. Hanya beberapa buah kitab saja.
Lama kelamaan teman yang ikut semakin banyak. Saya beli kitab suci itu di berbagai toko dan mulai saya sebar ke beberapa musola daerah di berbagai tempat.
Saya dulu kan selalu jalan ke berbagai daerah. Itulah kesempatan untuk membagikan Al Quran di musola atau masjid kecil yang saya kunjungi. Saya merasa plong dan senang sekali.
Teman yang membantu mengirimkan uang untuk membeli Al Quran semakin banyak dan saya mulai kewalahan.
Saya cari penerbit Al Quran ke berbagai tempat sampai akhirnya saya temukan penerbit/pencetak di Cirebon. Walau akhirnya saya tahu Quran itu ternyata dicetak di Semarang.
Nggak apa-apalah. Saya kadang minta agar pihak penerbit mengirim langsung kitab suci itu ke berbagai daerah yang saya rekomendasikan, ke alamat saudara dan famili atau teman, dan mereka lah yang menyalurkannya.
Untuk mengetahui bahwa kitab suci itu tersalur melalui saya, maka saya buat stempel dengan tulisan Taman Sofyan Lubis.
Lama kelamaan sudah tidak mungkin lagi menyetempel Al Quran itu, karena terlalu banyak. Apalagi banyak yang langsung dikirim melalui penerbitnya. Akhirnya saya buat stiker. Itu lah yang ditempelkan, agar orang mengetahui asal wakaf kitab suci itu. Agar tak curiga, karena jelas asalnya.
Saya amat senang dapat berbuat sesuatu. Dapat mengajak teman saudara dan sahabat saya untuk melakukan hal yang baik, walau menyumbang berapa pun.
Niat dan perbuatan baik dan ikhlas teman-teman, semoga sudah tercatat dalam kitab besar malaikat, untuk kebaikan mereka sendiri. Walau pun saya yang menjalankannya.
Teman yang ingin mengikuti jejak saya untuk melakukan Infak Al Quran semakin banyak. Ada yang menyumbang jutaan, lima juta bahkan puluhan juta. (Bang Sofyan meminta untuk tidak menuliskan nama para penginfak itu).
Saya merasakan ada sesuatu kelegaan dalam dada, dalam batin saya, dan hal ini akan saya lakukan terus. Saya ingin agar barang-barang dunia saya berguna atau bermanfaat untuk semua hal yang baik.
Komputer saya di rumah, saya gunakan untuk mencari tempat untuk pengiriman kitab suci atau untuk menuliskan apa pun. Mobil saya, saya gunakan untuk mengantar Al Quran ke berbagai tempat dan pelosok.
Saya ingin berjalan. Jalan terus menebarkan Al Quran. Kapan pun. Kemana pun yang saya inginkan.
Bang Sofyan lahir Tanjung Morawa, Sumatera Utara, pada 22 November 1941 dan pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1993-2003 . Ia juga alumni International Institute for Journalism (IIJ) Berlin, Jerman, pada 1972.
Bang Sofyan kelihatan sudah menemukan dunianya, lakonnya berupa cermin kehidupan, yang memang selayaknya diperoleh dan dilakukan seseorang seusianya.
Setiap bulan, Bang Sofyan pun ternyata mengirim doa melalui WA kepada banyak terman yang ada dalam daftar nomor di HPnya.
“Bang Sofyan luar biasa, saya juga termasuk yang menerima doa tiap bulan dari dia melalui HP saya,” komentar rekan Djunaedi Tjunti Agus dan Dirham Sabirin, setelah mendengar cerita perjalanan “tebar” kitab suci itu.
Bang Sofyan terus ingin berinfak Al Quran, mencari sahabat yang ingin dan iklas menabur benih untuk masa depan kehidupan, yang semoga akan menjadi tongkat pemandu jalan ketika seorang diri berjalan di lorong gelap kehidupan berikutnya. (ar.loebis)