Hampir saja ramalan Prabowo menjadi kenyataan. Indonesia bubar tahun 2030. Kok?
Kalau saja konflik pemilu 2019 tidak menemukan jalan keluar, bukan tahun 30 bubarnya, tapi lebih cepat terjadinya. Perang saudara. Bukankah kondisi pasca dan pra pemilu 2019 kemarin sudah selangkah lagi pecah perang saudara?
Pada titik ini sangat pantas untuk hormat takzim pada Prabowo Subianto yang berhasil menaklukkan ego pribadinya untuk keselamatan bangsanya. Di samping jembar dadanya Jokowi yang merangkulnya.
Inilah konsekwensi demokrasi yang kita pilih. Tapi tidak banyak yang sadar, demokrasi bisa membakar rumah sendiri, bahkan memerkosa anak kandung sendiri.
Demokrasi hanyalah upaya budaya manusia untuk mencari kesejahteraan dunia dengan bernegara. Salahkah demokrasi? Bisa ya, bisa tidak.Seperti tidak bersalahnya sebuah belati. Bisa untuk membunuh tikus, bisa juga untuk bunuh diri.
Artinya, kemanfaatan sebuah demokrasi tetap kembali kepada pelakunya yang memerlukan budi pekerti. Demokrasi hanyalah sebuah sistem, sedangkan budi pekerti adalah sebuah nilai. Yang tidak boleh bergeser, sekalipun ada tsunami.
Pada tatanan sekarang, demokrasi nyaris menjelma menjadi berhala. Menggunakan kata kunci “kebebasan berpendapat” ,maka segala sesuatu menjadi halal. Sah dalam berdemokrasi. Sopan santun, tata krama, anggah-ungguh menjadi barang kuno yang tak perlu digubris.
Pada akhir tahun semacam ini ada sekelumit kisah kecil yang terjadi pada awal tahun ini. Yakni Matinya guru Budi.
Matinya guru Budi adalah matinya budi pekerti. 1 Februari 2018, adalah hari terakhir guru Ahmad Budi Cahyono .Ia meninggal dianiaya muridnya sendiri.
Meninggal? Alangkah indahnya kalau ia disebut “gugur”.Gugur dimedan tugas. Tugas mulia dimana ia digaji rp 600 ribu/bulan.
Guru honorer ini mengajar pelajaran menggambar di kelas XI, SMA I negeri Sampang. HI, siswa ini mengganggu teman-temannya, kemudian tidur seenaknya dalam kelas.
Guru Budi menegur, si siswa dengan mencoret pipinya dengan cat air. Alih_alih sadar .HI merangsek dan memukuli kepala gurunya sendiri. Kebiadaban itu dilanjutkan saat pulang sekolah .Murid durjana itu menunggu Guru Budi dan kembali menganiaya.
Setiba di rumah, Guru Budi tak sadarkan diri. Keluarganya membawanya ke RS Dr Sutomo, Surabaya. Malamnya pukul 21.40, Guru Budi berpulang. Diagnosis dokter, mati batang otak.
Guru Budi neninggal dipukuli muridnya sendiri.Tragedi telah terjadi. Kebiadaban apa yang lebih mengoyak nurani dari peristiwa ini?
Guru Budi adalah guru muda yang sederhana. Gaji pas-pasan saja, (bahkan dibawah umr). Baktinya tak sejalan dengan imbalan.
Tragisnya peristiwa ini hanya melintas sekilas, seperti peristiwa biasa.
Dunia pers tidak gegap gempita menyorot peristiwa ini sebagai kejadian luar biasa. .
Benarkah kita sekarang hidup dalam generasi yang tak peduli dengan budi pekerti? Peristiwa di pencil Madura ini sebenarnya menyingkap ketelanjangan diri kita.
Yang lebih tertarik kepada busa Pilkada. Yang lebih gembira bila gubernur dicokok kpk.
Sedangkan di depan mata kita dipampangkan nilai dasar pekerti yang diperkosa dan kita diam saja.
Jadi teringat salah satu item pidato Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Katanya mau menghidupkan lagi pelajaran budi pekerti disekolah_sekolah. Ah itu khan pidato lama…..
Sayangnya perkara pekerti tidak bisa dibuat aplikasinya. Oleh Nadiem Makarim, sekali pun.(*)