MIMBAR-RAKYAT.com (Jakarta) – Serangan virus corona yang mengguncang dunia berpotensi memicu krisis ekonomi global dan di Indonesia meskipun tidak ada tanda-tanda akan mengalami resesi tetap harus waspada untuk mengantisipasi isu krisis ekonomi global tersebut.
“Dalam artikel yang di publikasikan dengan judul How China’s Virus Outbreak Could Threaten The Global Econmy, dipaparkan kejatuhan pasar keuangan dunia pada Kamis, 23 Januari 2020, di mana kejadian tersebut diindikasikan sebagai sinyal ketakutan akan krisis ekonomi global,” kata Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari dalam parannya di acara Smart Outlook Economic di Auditorium Adhiyana Wisma Antara, Jumat (31/1/2020).
Kegiatan Smart Outlook Economic yang merupakan rangkaian kegiatan PWI Pusat dalam rangka Hari Pers Nasional 2020 ini juga menampilkan pembicara seperti Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Daerah dan Sektor Riil Kemenko Perekonomian Ferry Irawan, Komisaris Independen BCA, Raden Pardede, Director of Chief Economist & Head of Research PT Samuel Aset Menejemen Lana Soelistianingsih, Center of Food, Energy and Sustainable Development INDEF Rusli Andullah dan Managing Partner Inventure Yuswohady.
Sorotan pengaruh mengganasnya virus corona terhadap resesi ekonomi juga terlontar dari Komisaris Independen BCA, Raden Pardede. Raden memberi catatan khusus terkait dampak virus korona yang saat ini tengah merebak di China dan mulai meluas ke berbagai negara di seluruh dunia.
“Saat ini memang ada perhatian ke Tiongkok terkait virus korona. Sudah ada hitung-hitungan kalau dampaknya akan menurunkan perekonomian di Tiongkok sekitar 0,5% dan mungkin 1%. Dampak paling besarnya bisa turun dari 6% menjadi tinggal 5%. Tentu kalau ini berlangsung lama, ke depan bisa juga berpengaruh. Tetapi dampaknya yang saya lihat tidak akan sampai resesi selama dua sampai tiga tahun ke depan,” ujarnya.
Menurut Atal, seminar yang bertemakan “Jurus-jurus Bisnis Menyiasati Resesi Ekonomi Global” itu sebagai jalan untuk menyiasati resesi ekonomi global untuk Indonesia yang merupakan melemahnya pertumbuhan ekonomi di dunia hingga 90 persen.
“Sepanjang tahun tahun 2019, pertumbuhan ekonomi lebih melambat di hampir 90 persen dunia. Di tengah kisruhnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam dua tahun waktu terakhir ini yang mengakibatkan aktifitas menufaktur dan investasi di seluruh dunia melemah secara substansial. Dampaknya, pelbagai data yang dibeberkan kementerian keuangan dan badan statistik sejumlah negara memperlihatkan pelemahan ekonomi dan ancaman resesi”, tutur Atal.
Dia mengatakan “Jurus Bisnis dan Investasi dalam Menyiasati Resesi Ekonomi Global” perlu diketahui karena resesi ekonomi yang menimpa beberapa negara dalam dua tahun belakangan mengakibatkan penurunan PDB riil di sejumlah negara. “Hingga dengan kuartal III/2019 sejumlah negara seperti Jepang, Singapura, Hong Kong dan Turki contohnya mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dipicu oleh ekspansi perang dagang Amerika Serikat dan China yang terus berlangsung menjadi pemicu dan desakan agar pemerintah mampu melepaskan ketergantungan perusahaan lokal pada pinjaman,” katanya.
Atal S Depari mengajak semua pihak untuk tetap optimis menghadapi kondisi perekonomian dunia saat ini. “Dalam berbagai polemik dunia yang terjadi saat ini akan isu krisis ekonomi global, tentunya kita tidak perlu khawatir dan perlu waspada dan mengantisipasipasi hal tersebut,” ucap Atal.
Isu mengenai ancaman resesi menghantui ekonomi dunia sepanjang 2019 lalu, utamanya Amerika Serikat (AS). Namun kekhawatiran resesi tersebut sedikit mereda dalam beberapa bulan terakhir. Bila AS tidak akan terkena resesi, tentunya ekonomi Indonesia juga jauh dari resesi
Komisaris Independen BCA, Raden Pardede. mengatakan, tidak adanya tanda ancaman resesi pada ekonomi AS tentunya menjadi kabar baik bagi negara lain. Sebab bila AS mengalami resesi, maka negara-negara lainnya di dunia juga terancam mengalami gangguan ekonomi, termasuk Indonesia.
“Kita tidak melihat akan ada resesi di Indonesia pada tahun-tahun ke depan ini, apalagi dua negara dengan ekonomi terbesar yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok tidak menunjukkan tanda-tanda resesi dalam satu hingga dua tahun ke depan. AS selama ini menyumbang sekitar 24% sampai 25% perekonomian dunia, sementara Tiongkok sekitar 15%,” kata Raden.
Sementara itu Chief Economist & Head of Research PT Samuel Aset Manajement, Lana Soelistianingsih juga melihat ekonomi AS saat ini tidak resesi, tetapi hanya melambat. Menurutnya, sinyal resesi tidak terlihat dari perbedaan obligasi pemerintah AS 10 tahun dan 2 tahun yang saat ini masih positif. Bila ada ancaman resesi, spread ini akan negative atau inverted.
“Kalau dilihat dari indikatornya, khususnya indikator pasar, itu tidak menunjukkan ada resesi. Pertama bisa dilihat dari kurva imbal hasil antara yang panjang dan yang pendek. Kalau yang pendek lebih tinggi, itu ada indikasi risiko jangka pendeknya naik. Kalau risiko jangka pendek naik, itu menunjukan ada kekhawatiran resesi dalam waktu dekat. Tetapi kondisinya selisih antara yang jangka pendek dan jangka panjang masih positif, artinya yang jangka panjang masih lebih tinggi daripada yang jangka pendek,” kata Lana Soelistianingsih. (sk/arl)