Dongkrak Tua
Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus
Sejak dongkrak tua miliknya anjlok, sehingga mobil yang sedang ditopang langsung termiring karena bannya lagi ditambal, kios tambal ban milik Hafez banyak kehilangan pelanggan. Kabar tentang dongkraknya yag sudah tua dan sering bermasalah, kompresor yang kerap rewel, membuat orang-orang yang membutuhkan jasa tambal ban lebih memilih tempat lain. Banyak yang mendorong sepeda motor karena bannya kempes hanya melintas di depan kios Hafez. Mereka memilih tempat tambal lain sekitar 200 m dari lokasi itu.
Hafez tidak bisa apa-apa, hanya menelan ludah menahan kekecewaan. Dia tidak bisa memaksa warga di perumahan itu atau orang-orang kebetulan lewat dan membutuhkan jasa tambal ban agar ke tempatnya. Hanya satu dua saja pelanggan yang datang, itu pun rata-rata sepeda yang hanya butuh tambah angin. Sekali-sekali ada pesepeda yang membayar Rp 5.000,- tapi rata-rata hanya menyerahkan selembar uang dua ribuan.
Namun penambal ban itu masih bersyukur, karena tidak harus keluar uang kontrak untuk bengkelnya berupa bedeng yang didirikan di tanah kapling yang belum dibangun.
“Mudah-mudahan saja kesulitan ini segera berlalu,” desisnya.
“Apa yang telah saya lakukan selama ini. Apa yang salah? Kenapa kehidupan saya yang sudah susah semakin susah. Apakah ini teguran dari Allah?,” Hafez membatin.
Sejak kejadian anjloknya dongkrak jenis botol miliknya yang sedang menyangga mobil, lima bulan lalu, pendapatan Hafez menurun drastis. Kadang tidak membawa uang sama sekali saat kembali ke rumah. Istrinya sudah uring-uringan. Makan pun gak maksimal, apa adanya.
“Emang mau beli ikan atau daging dengan kertas?,” jawab istrinya ketika Hafez mengeluhkan soal menu makanan.
“Bon dulun lah, di warung langganan.”
“Bon, bon… Itu yang punya warung udah gak mau melayani, karena utang kita udah numpuk,” balas istrinya.
“Makanya kalo usaha itu yang benar. Berenti tuh ngerorok, taat ibadah. Nih ke masjid aja hanya sekali seminggu, Jumat doang,” tutur istrinya lagi.
Pikiran Hafez langsung melayang ke kiosnya. Warung kelontong di depan tambal bannya juga tidak mau lagi mengutangi dia rokok, meski sudah berusaha berhiba-hiba.
“Lunasi dulu utang rokokmu. Modal saya kecil, kalo uangnya gak ada saya gak bisa belanja lagi,” kata Haris.
“Makanya berenti merokok. Saya yang jual rokok aja udah berenti,” katanya lagi.
Hafez menggeleng-gelengkan kepala. Dia melihat istrinya masih terus berciloteh sambil memotong-motong sayur kangkung yang dibelinya pada abang penjaja keliling.
“Eeeee.., malah bengong. Mikir. Gimana caranya menghidupi keluarga. Untung anak permpuan kita satu-satunya sudah jadi, tidak jadi tangungan kita lagi,” ujar istrinya.
“Cari kerjaan sampingan kek. Sabtu Minggu jadi knek, bantuin tukang sebelah rumah kita yang lagi ngerjaan proyek. Coba aja ngomong ke dia, mana tahu mau bantu.”
“Sudah beberapa bulan ini bukan uang belanja saja yang tidak diberi. Tapi saya juga tidak disentuh sama sekali. Emang sudah bosan?”
“Kan saya dah bilang. Dongkrak saya juga ikut lemah, banyak pikiran. Bagaimana mau gituan.”
“Lah apa hubungannya dengan dongkrak?”
“Maksud saya dongkrak ini ni, juga bermasalah. Banyak pikiran.”
Dalam segi usia Hafez belum terlalu tua. Dia baru memasuki usia 50 tahun, sedang istrinya 45 tahun. Masih produktif. Namun karena masalah ekonomi, kondisi penambal ban itu merosot dalam segala hal. Jangankan memikirkan soal nafkah batin untuk istrinya, utuk makan sehari-hari saja susah.
***
Siang itu pemilik kapling tempat bedeng tambal ban Hafez berdiri, datang.
Hafez langsung menemui Dzuhairi, pemilik kapling itu. Dia menyalami dan berusaha mencium tangan. Namun Dzuhairi segera menarik, sebelum tanggannya disentuh hidung Hafez.
“Tak baik pak. Tidak usah cium tangan. Kita ini sama, sederajat,” katanya.
Hafez merasa penolakkan itu sebagai pertanda bahwa dia tidak akan diizinkan lagi mangkal di situ bersama bedeng tambal bannya.
“Maafkan saya Pak,” katanya.
“Saya akan cari tempat lain untuk tambal ban saya ini. Saya berterimakasih selama ini sudah diizikan memanfaatkan tanah bapak.”
“Ya, untuk sementara saya dan keluarga memutuskan membangun gudang di tanah ini. Di bagian depan dibangun 5 kios, untuk dikontrakkan.”
“Bedeng bapak ini biar saja di sini dulu. Nanti baru dibongkar setelah gudang selesai, sebelum kami membangun kios. Jadi tempat bapak ini nantinya tempat keluar masuk mobil ke gudang,” kata pemilik kapling itu lagi.
“Terimakaih pak. Terimakasih,” balasnya.
“Nanti kita ngomong lagi. Saya bicara dulu dengan bapak-bapak itu, yang akan membangun gudang dan kios di tempat ini,” kata Dzuhairi.
Hafez kembali ke kios tambal bannya, duduk tercenung memikirkan kemana akan pindah, sementara modal tidak punya. Dia berpikir dan yakin istrinya saat dilapori masalah ini bukannya membantu mecarikan jalan keluar, tapi malah ngomel menyalahkan dirinya.
“Tolonglah hambaMu ini ya Allah,” kalimat itu terlotar begitu saja dari bibirnya. Dia kaget sendiri.
“Selama ini saya mengabaikan perintah Tuhan. Sore ini saya harus ke masjid, mulai ashar nanti saya akan selalu sholat berjamaah,” janjinya pada diri sediri.
Pak Dzuhairi sudah selesai dengan orang-orang yang datang bersamanya. Orang-orang yang akan membangun kapling itu juga sudah pergi dengan mobil mereka. Sopir pemilik kapling itu telah menghidupkan mesin mobilnya. Namun dia mendekati Hafez.
“Bapak tetap saja di sini dulu. Tidak usah mikir mau pidah ke mana. Nanti kalo memang semua sudah beres baru kios bapak ini dibongkar,” katanya.
Hafez ingin menceritakan kondisinya. Namun dia berpikir apa bapak itu mau mendengar dan mau peduli? Dia urungkan niatnya, lalu mengiringi Dzuhairi menuju mobilnya, kemudian pergi.
Dia kembali merenung, sampai- sampai dia tidak segera mendengar ketika seorang anak minta ban sepedanya di tambah angin.
“Oh, ya.., ya. Katanya tergagap,” ketika anak itu kembali mengulangi permintaannya, agak keras.
Azan pun berkumandang dari masjid yang hanya berjarak 300 m dari kiosnya, memanggil jamaah untuk sholat ashar. Hafez pun memasukkan sejumlah peralatan ke peti tempat barang-barang. Lalu melangkah menuju masjid.
“Tumben nih Pak Hafez. Gitu dong, ingat sholat itu tiang agama. Jangan lupa masjid,” kata Haidar, warga seputar masjid.
Hafez hanya terseyum. Dia tidak hendak memberikan alasan apa-apa.
“Semoga Allah menunjuki saya ke jalan yang benar, diberi hidayah,” kata hatinya.
Sejak pagi dia juga belum merokok sehisap pun. Rokok kretek yang tinggal separuh, sisa diisapnya sore kemarin tak disentuhnya sama sekali.
“Mulai hari ini saya juga berenti merokok. Isya Allah,” kata hatinya menjelang melaksanakan shalat tahiyatul masjid.
Dia terlihat amat khusyuk dalam melaksanakan sholat sunnah dua rakaat, kemudian menutupnya dengan doa sambil menadahkan kedua telepak tangannya.
***
Ketika pembangunan gudang dimulai, Hafez ikut beruntung. Dia diperbolehkan jadi salah seorang knek tukang dalam proyek itu. Kadang sore, usai kerja, dia tidak langsung pulang, tapi membuka kios tambal bannya. Satu dua ada juga yang datang.
Upah pekan pertama sebagai knek diserahkan seluruhnya pada istri, Azizah, dengan pesan supaya uang itu dibayarkan untuk melunasi utang di warung sayur dan bahan pokok.
“Jangan ngerokok lagi ya Bang. Mentang-mentang dah punya pemasukan ntar ngerokok lagi deh.”
“Ya enggak lah. Gak ada manfaatnya. Malah ngerusak,” balasnya.
“Nah gitu dong. Ini baru suami gue,” kata istrinya.
Menu makanan telah kembali normal. Hafez pun rajin ke masjid setiap sholat wajib. Namun yang satu itu belum bisa dipenuhinya.
“Nanti-nanti saja ya Azizah. Badan saya masih belum fit, masih kecapean terus karena harus ngenek,” katanya.
“Gak apa-apa Bang. Ntar-ntaran aja kalo dongkraknya udah gak anjlok lagi,” jawab istrinya cengengesan.
Ya, dongkrak Hafez masih yang itu-itu juga, dan mulai pagi ini dongkrak, kompresor, alat-alat utuk menambal ban lainnya harus diistirahatkan. Bedeng atau kiosnya sudah harus dibongkar, setelah pembangunan gudag selesai. Seperti rencana, bekas bedengnya itu dijadijan jalan keluar masuk gudang, dan kios baru akan dibangun disebelahnya. Itu artinya Hafez berhenti total buka tambal ban.
“Semua peralatan bapak taruh saja dulu di gudang. Jangan dibawa pulang,” kata Dzuhairi.
“Maaf Pak, kalau boleh tahu, berapa kios itu disewakan nantinya. Tahunan atau boleh bulanan,” tanyanya sambil menunduk, terkesan tidak percaya diri.
“Standar saja. Sama seperti kios sebelah kita, tahunan. Setahunnya Rp 20 juta,” jawabnya.
Hafez langsung tercenung.
“Dari mana saya bisa dapat uang Rp 20 juta,” kata hatinya.
“Gak usah dipikirkan sekarang. Lanjutkan saja jadi knek dulu. Bantu tukang membangun kios,” kata Dzuhairi, seolah bisa membaca jalan pikiran Hafez.
***
Ini hari terakhirnya mejadi knek, karena semua pekerjaan telah selesai. Itu artinya mulai besok dia harus mengeluarkan seluruh peralatan tambal bannya dari gudang.
“Maaf Pak. Semua barang-barang saya baru besok pagi saya bawa pulang,” katanya kepada Dzuhairi.
“Ya gak apa-apa. Gak usah buru-buru. Besok-besoknya lagi juga boleh,” balas pemilik tempat itu. “Memangnya Pak Hafez nyari kontrakan yang harga berapa,” katanya lagi.
“Saya hanya sangup bulanan Pak. Itu pun hanya sekitar Rp 500 ribu. Mungkin agak ke dalam, bukan di jalan utama seperti di sini.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan kios yang baru saja selesai dibangun. Salah seorang diantaranya mendatangi Dzuhairi dan Hafez yang sedang bicara dan menyatakan keinginannya mengontrak salah satu kios. Ternyata seluruh kios sudah ada pegotraknya, itu diketahui Hafez dari jawaban pemilik tempat itu kepada peminat tersebut.
“Lima-limanya sudah ada yang minat,” jawab Dzuhairi.
***
Sesuai pesan pemilik tempat itu, sekitar pukul 11.00 Hafez telah berada di tempat itu. Menjelang dzuhur Dzuhairi datang. Kali ini tidak diantar sopir, tetapi mobil dikendarai putranya. Bersama dia juga ikut istrinya, serta seorang cucu, putri dari anaknya yang menyetir mobil.
“Baiknya kita ke masjid dulu. Sholat dzuhur. Baru setelah itu bapak pindahkan barang-barangnya. Wah, Pak Hafez sudah bawa gerobak rupanya,” kata Dzuhairi melirik ke sebuah gerobak di depan gudang.
“Ya Pak. Saya pinjam dari sekretariat RW,” jawabnya.
Usai sholat, Hafez makan mie ayam bersama keluarga pemiliki tempat itu, mie yang dipesan dari warung sebelah. Sebetulnya Hafez rikuh makan bersama dengan keluarga itu, namun dia tidak mampu menolak, kecuali menurut saja.
Usai makan Pak Dzuhari menyerahkan kunci, sambil bicara; “Nah, ini kuncinya silakan Pak Hafez pindahkan barang-barangnya.”
Dia bingung, karena gudang tempat barang-barangnya tidak dikunci.
“Kunci apa ini Pak,” tanyanya.
“Oh. Iya, ini kunci kios di depan. Paling ujung. Bapak Hafez buka saja,” jawabnya.
Hafez makin bingung. Namun dia ikuti saja perintah itu.
Dia membuka kios itu. Di dalam ada konpresor baru, dongkrak baru jenis buaya. Sejumlah alat-alat pembuka ban, dan peralatan lainnya. Di dalam kios juga sudah ada rak-rak, serta sejumlah kaleng atau botol oli.
“Nah. Barang-barang yang di dalam kios ini milik bapak semua. Silakan bapak manfaatkan, dan sesuai ucapan bapak, Pak Hafez bayar sewa kios ini 500 ribu rupiah per bulan,” kata Dzuhairi.
Hafez meneteskan air mata, kemudian terisak.
“Bapak terlalu baik pada saya. Saya nggak tahu bagaimana membalasnya,” katanya.
Dia meraih tangan Dzuhairi, dan langsung diciumnya. Kali ini Dzuhari tak sempat mengelak. Berlangsung begitu cepat.
“Malam ini saya akan puaskan Azizah istri saya,” kata hati Hafez, begitu berjalan, sambil mendorong gerobak berisi kompresor dan dongkrak bekas, menuju kediamanya.***
@04jan2022