Tuesday, April 01, 2025
Home > Cerita > Like A Brigde Over Troubled Water,  Catatan Hendry Ch Bangun

Like A Brigde Over Troubled Water,  Catatan Hendry Ch Bangun

Hendry Ch Bangun. (mr)

Apakah yang kita warga negara Indonesia inginkan saat ini? Saat berbagai kesulitan muncul secara beruntun,  sehingga hidup seperti melulu persoalan? Saat kita merasa begitu kecil dibandingkan problema yang besar? Seperti tidak berdaya?

Saya jadi teringat lagu Like Bridge Over Troubled Water, yang diangkat dan dipopulerkan duet Paul Simon dan Art Garfunkel  setelah  albumnya keluar di awal tahun 1970. Lirik lagu ini begitu teduh dan memberi semangat, karena berisi empati bagi orang yang sedang kesusahan, berada di titik terbawah mungkin dalam hidupnya.

When you’re weary/Feeling small/When tears are in your eyes/I’ll dry them all/I’m on your side/Oh, when times get rough/And friends just can’t be found//Like a bridge over troubled water/I will lay me down/Like a bridge over troubled water/I will lay me down//

Kita mendengar, membaca, dan menyaksikan orang-orang berpunya tanpa rasa bersalah pamer kekayaan dengan begitu luar biasa. Berfoto di jet pribadi (atau mungkin sebenarnya dia sewa). Memamerkan benda berharga ratusan juta rupiah sampai miliaran saat berkunjung ke luar negeri. Memberikan hadiah milyaran rupiah menyambut kelahiran anak atau ulang tahun. Indonesia seperti surga kesannya. Dipenuhi orang-orang makmur, yang hidup dalam gelimang harta, tanpa kerja keras.

Padahal realitasnya, kalau kita berjalan ke sana dan ke sini, orang susah tampak di mana-mana. Pergilah ke pasar-pasar, bagaimana orang berjualan dari subuh hingga petang, terkadang hanya membawa keuntungan Rp 50.000, jumlah pas-pasan untuk bertahan hidup. Ada yang mengais sampah, memanggul barang, berjualan keliling, untuk mendapat rupiah. Entah berapa banyak yang hanya sanggup makan sekali dalam sehari.

Seperti dialami pekerja informal, yang berharap pada keberuntungan untuk peroleh uang. Penjaga toko yang sering bekerja 10 jam dengan gaji pas-pasan. Atau yang pekerja tetap pengantar barang yang kerap mengetuk pintu atau pagar sampai tengah malam agar tugasnya tuntas, meski total pendapatan tidak sampai menyentuh upah minimum provinsi sektor formal.

Hidup sulit dan situasi di luar membuat kesulitan terasa begitu menggigit. Karena harga-harga yang terus naik. Dan dalam kondisi seperti itu mereka ditinggalkan. Bertahan sendirian, mencari jalan keluar. Saya yakin mereka banyak yang ingin kembali menjadi anak-anak, yang tidak kenal susah. Atau kalaupun sedang ada masalah, ada ayah atau ibu yang datang mengusap-usap rambutnya, menenangkan dengan kalimat menghibur. Mencoba membuat senang, melupakan problem yang sedang dialami.

Tapi ketika mereka dewasa, menjadi kepala keluarga atau ibu rumah tangga, semua harus dihadapi sendiri. Lalu siapakah yang harus membelanya? Mereka yang berkuasa. Mereka yang menjalankan tugas negara.

Apakah itu terjadi? Yang kita saksikan hanyalah kegaduhan saja.

Elit politik seperti tidak memedulikan pada apa yang tengah merisaukan hati dan perasaan rakyatnya. Ada masalah perpindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur, rebut dan terus rebut. Ada isyu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa kepresidenan, saling hantam atas nama demokrasi, meski sebenarnya sudah disahkan hari pencoblosan pada 14 Februari 2024. Ada kasus Binomo dan investasi palsu yang merugikan ribuan orang, tidak tampak ada solusinya selain proses peradilan.

Padahal harga gas baru saja naik. Minyak goreng menghilang dengan patokan Rp 14.000 dan ketika tidak lagi ada batas, mendadak dijual dimana-mana dengan harga sekitar Rp 25.000 per liter. Tarif tol sudah naik lagi. Di tukang sayur serupiah demi serupiah apapun naik, kecuali harga diri. Coba tanya harga telur, tahu atau tempe, cabai.

Indonesia menjadi seperti negeri suka-suka para penguasa barang produksi maupun   perdagangan. Pemerintah loyo tak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa. Eksekutif dan   legislative seperti memakluminya. Dengan alasan mendadak, karena ada penyerbuan Rusia atas Ukraina, yang mempermahal komoditas internasional dan juga biaya transportasi.

Kita menginginkan ada keberpihakan, pembelaan, dukungan dari pemegang kekuasaan kepada rakyat kecil, orang susah, yang bersuara pun kadang tidak didengar.  Seperti dinyanyikan oleh Simon dan Garfunkel dalam lagunya ini,

When you’re down and out/When you’re on the street/When evening falls so hard/I will comfort you/I’ll take your part//Oh, when darkness comes/And pain is all around/Like a bridge over troubled water/I will lay me down/Like a bridge over troubled water/I will lay me down//

Kita ingin kekuasaan ada untuk rakyat. Dan tidak hanya menonton, bertopang dagu, dan kalah.

oOo

Palembang, 18 Maret 2022.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru