Mudik Lebaran 1443 H/2002 kali ini terasa sangat istimewa. Sangat luar biasa. Maklum, gegara pandemi Covid-19, selama dua tahun terakhir tidak ada pulang kampung secara massal. Kali ini, rasa rindu yang tak tertahankan membuat hampir seratus juta orang berbondong-bondong pulang kampung. Serentak. Bersamaan. Kemacetan di jalanan pun terasa bukan menjadi persoalan.
Fasilitas komunikasi dan silaturahim modern yakni telepon cerdas atau zoom, dinilai tidak cukup untuk mengobati rasa rindu yang terpendam. Masyarakat tetap melangkahkan kaki langsung menuju kampung halaman masing-masing. Mereka menemui sanak famili keluarga besar: kakek-nenek, orangtua, saudara kandung, kerabat, tetangga dekat, tetangga jauh, dan teman-teman lama yang sangat jarang bertatap muka.
Keunikan sekaligus kehebatan fenomena mudik lebaran ini adalah swadaya. Orang rela mengeluarkan uang sendiri untuk membiayai perjalanannya. Mereka mengendarai mobil pribadi atau naik angkutan umum: bus, kereta api, pesawat terbang, kapal laut. Mereka rela antre bahkan berdesakan untuk mendapatkan tiket. Belum lagi jika nanti tiba-tiba muncul beragam kendala lain selama dalam perjalanan.
Bagi keluarga yang anak-anaknya masih kecil dan harus naik angkutan umum, perjalanan pulang kampung bukanlah langkah sederhana. Mereka harus mengasuh anak-anak kecil sambil membawa bungkusan bekal mudik. Seringkali anak-anak itu menangis karena capek atau merasa tidak nyaman. Para orangtua harus ekstra-sabar. Apalagi jika perjalanan mudik itu menempuh perjalanan panjang hingga ratusan kilometer.
Rasa capek itu terobati ketika para pemudik sudah tiba di kampung halaman dan selanjutnya melakukan silaturahim lebaran atau halal bihalal. Bagi keluarga besar, apa pun istilahnya untuk acara silaturahim itu, dapat melibatkan puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada di antara anggota keluarga besar tersebut yang bahkan baru pada kesempatan itu dapat bertatap muka dan saling kenal. Mungkin di antara mereka adalah anak-anak menantu atau anak keturunan yang masih harus diperkenalkan.
Saling memaafkan demi kerukunan
Keunikan lain dari mudik dan silaturahim lebaran ini adalah agenda pembicaraan yang umumnya berlangsung informal. Sekadar perbincangan untuk mengisi waktu. Harap maklum, mereka pulang kampung dengan masing-masing membawa pengalaman yang beragam. Latar pekerjaan atau profesi pun bisa berbeda-beda.
Ada keluarga besar dengan banyak anak yang kemudian menyebar untuk menjalani kehidupan dan profesinya masing-masing. Ada yang jadi pejabat, wakil rakyat, tentara, polisi, aparatur sipil negara, dosen, guru, pengusaha, pedagang, pekerja atau buruh. Mereka bertemu kembali untuk kangen-kangenan. Ngobrol sana-sini, saling tukar pengalaman.
Kadang tidak terasa perbincangan mereka menyangkut tema-tema actual kerhidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Acara silaturahim pun bagaikan sebuah acara “musyawarah besar”. Beragam hal diperbincangkan: politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain.
Anggap saja sebagai warna-warni kehidupan jika mereka juga membahas ulang beragam tema atau topik yang diangkat media massa atau media sosial. Situasi negara, peta politik, kasus-kasus korupsi, tindak kriminalitas, dan entah apa lagi. Mereka berdiskusi informal, tukar pengalaman, mengemukakan pendapat atau pandangan dari perspektifnya masing-masing.
Tentu ada keluarga-keluarga yang terpaksa bersedih karena ada di antara anggota keluarganya yang sedang tersangkut kasus hukum dan sedang ditahan. Sebaliknya ada keluarga-keluarga yang berbahagia karena ada anak atau kerabatnya yang sedang meraih kesuksesan.
Terpenting dari rangkaian acara mudik dan silaturahim Hari Raya Idul Fitri ini adalah saling memaafkan. Ada yang bersalaman sebagai rutinitas. Tetapi ada pula yang memang secara serius minta maaf atau saling bermaafan untuk mengakhiri konflik keluarga. Mereka berniat untuk rujuk dan rukun kembali. Mereka berangkulan disertai dera air mata. Wajah-wajah yang semula cemberut kemudian berubah menjadi ceria.
Jika jutaan keluarga di tanah air tercinta ini memang sedang merajut kembali kerukunan dan kedamaian seperti itu, maka layak apabila hal itu dijadikan cermin bagi para pengelola kehidupan resmi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Rujuklah jika ada hal-hal yang bisa dirukunkan kembali. Jangan sampai benih-benih perpecahan justru terus dikompori atau digoreng sehingga menjadi kenyataan yang menyedihkan.
Selamat mudik dan bersilaturahim. Rukun, damai, dan tenteramlah negeriku, negeri kita, Indonesia Raya. (*** Widodo Asmowiyoto adalah wartawan senior)