Kalau media sudah mati dan tinggal nama, dia bukan lagi apa-apa. Dia tidak bisa lagi menyuarakan aspirasi publik. Dia tidak bisa lagi melakukan kritik atas kebijakan pemerintah. Dia tidak lagi menjadi wadah diskusi berbagai persoalan bangsa. Karena di sanalah dirasakan keberadaannya. Di sanalah tampak eksistensinya. Tanpa tiga tugas tadi, dia tidak ada. Dan kalau mati, dia dilupakan orang. Mungkin ditangisi dan tetapi kemungkinan paling besar adalah sekadar dikenang. Habis.
Itulah sebab dengan berbagai daya dan upaya, semua pemilik ingin agar medianya tetap hidup. Di zaman kolonial kalau isi berita sebuah koran dianggap mengancam kedudukan pemerintah maka media itu diberi peringatan. Kalau keterlaluan pengelolanya dipenjara dan medianya boleh saja tetap terbit.. Di era Orde Baru, nyawa media itu ada pada surat izin terbit. Kalau isi media dianggap mempermalukan pemerintah, pimpinannya tidak dihukum tapi SIUP-nya dicabut.
Dalam suatu kesempatan rapat redaksi Jakob Oetama pernah mengutarakan mengapa dia memilih menandatangani surat perjanjian dengan pemerintah agar Kompas tetap hidup. Selain alasan agar semua karyawan dapat tetap hidup, yang terutama adalah kehadiran Kompas di tengah masyarakat. Dengan gaya yang khas Kompas masih bisa melakukan kontrol sosial, masih bisa menjadi wadah adu gagasan tokoh-tokoh di halaman opini dan berbagai diskusi, dan terus menyerap dan memberikan aspirasi wong cilik dan mengingatkan yang mapan.
Dia tahu banyak diolok-olok kolega pimpinan media karena seperti tekan kontrak untuk patuh kepada pemerintah, tetapi demi idealisme yang lebih tinggi, Jakob Oetama tidak peduli. “Kalau koran mati, dia tidak bisa apa-apa. Tinggal sejarah,” begitu kira-kira kalimatnya. Dan terbukti karena kepiawaian dan kerja keras, Kompas tidak sekadar suratkabar yang membebek, tetapi justru berinovasi dengan cara peliputan dan pemberitaan, hidup dengan elegan dan disegani.
Soal “kompromi” ini juga saya pernah baca dalam versi lain pada tahun 1970-an. Ketika itu terjadi perbedaan yang tajam di Harian Merdeka pimpinan BM Diah dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik, dua rekan seperjuangan dan tokoh pers. Merdeka selalu membuat pemberitaan kritis tentang Adam Malik sehingga mungkin dianggap sudah menjadi serangan personal, sementara tampaknya tidak ada kesempatan yang sama diberikan kepadanya. Entah karena mendapat semacam ancaman untuk dibreidel atau apa, akhirnya BM Diah membuat tulisan yang berjudul “Merunduk Tapi Tidak Patah.” Intinya adalah, Merdeka mengalah tapi tidak merasa kalah, karena mereka hanya menjalankan tugas dan berharap tetap dapat hidup.
Dari sejarah pers Indonesia kita tahu dua tokoh mengambil sikap yang berbeda. Rosihan Anwar dengan Pedoman dan Mochtar Lubis dengan Indonesia Raya, memilih suratkabarnya mati daripada tunduk kepada pemerintah. Keduanya memiliki alasan tersendiri, tetapi yang kita tahu saat ini Pedoman dan Indonesia Raya tinggal sejarah, tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Kalau diselaraskan dengan puisi Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar…//Kami yang kini terbaring/antara Karawang-Bekasi/tidak bisa teriak “Merdeka” lagi…// ***
Ya, hidup itu penting bagi media. Tinggal bagaimana dia bertahan hidup dan menjadikan medianya memiliki arti penting bagi masyarakat dan bangsanya, dan dihargai koleganya.
Pasca reformasi banyak sekali media yang dibuat tanpa idealisme, itu kita akui. Media didirikan hanya untuk menyuarakan kelompoknya, ini dulu terjadi satu-dua tahun menjelang Pemilihan Umum. Ada pula media yang dibuat semata-mata untuk mencari uang, dengan cara menakut-nakuti, menuduh korupsi atau selingkuh, membuat pemberitaan sensasional, dan akan berhenti apabila disodorkan uang damai. Sampai detik inipun ada wartawan yang ditugaskan bosnya untuk mencari-cari kesalahan dengan segala cara. Salah berarti berita miring berpotensi untuk mendapatkan uang.
Cara bertahan hidup media seperti ini, tentu berbeda dengan media yang dilahirkan dengan idealisme khususnya oleh orang muda, kaum intelektual, kalangan berpendidikan, yang prihatin dengan kondisi sosial kemasyarakatan dan pemerintahan. Mereka berharap karya jurnalistiknya yang dihargai pembaca dan dari situ mereka bisa bertahan dan kadang membuat kegiatan sampingan seperti kedai kopi. Kalaupun nanti ada iklan dari dinas-dinas, itu diterima tanpa ada ikatan yang membatasi liputan mereka.
Media seperti ini karya jurnalistiknya relatif sesuai kode etik meskipun melontarkan kritik yang tajam dan membuat merah telinga pejabat di daerah. Liputan tentang kerusakan lingkungan, pertambangan yang menghancurkan warga lokal, pembentukan perkebunan komersial yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan kearifan lokal, kolusi pemerintah daerah dengan investor dll, menjadi lahan media seperti ini.
Semakin pesatnya pertumbuhan media siber menjadi persoalan tersendiri, karena anggaran dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten-Kota terbatas, sehingga kue yang dibagian kian kecil. Faktor kedekatan, kesediaan untuk “tunduk” dalam kemitraan pencitraan atau pemberitaan berbayar, menjadi kunci media agar tetap dapat jatah. Ada yang beruntung, ada yang tersisih. Dan biasanya yang kalah adalah yang idealis tadi.
***
Dalam banyak kesempatan berkunjung ke media-media di daerah, saya kerap berdiskusi dengan pengelola berusia muda, yang ingin agar mereka bisa hidup tanpa kehilangan idealism sehingga konsisten mengeluarkan karya jurnalistik bermutu. Dengan gagahnya saya mengatakan, apapun yang terjadi, jangan pernah lupa pada kualitas. Liputan yang bermutu dalam pengertian topiknya menarik untuk dinikmati audiens, ditulis atau disiarkan bahasa yang enak dibaca atau didengar, sesuai dengan kaidah etik dan jurnalistik, pasti akan selalu dicari pembaca atau pendengar atau penonton. Tinggal lagi bagaimana memonetasi, menjadikannya terjual dan mendatangkan uang, hal yang sudah ada pula ilmunya.
Khusus untuk media daerah saya katakan, kuasailah wilayahmu. Dari referensi dan jurnal yang rutin saya baca, jelas sekali, media lokal justru memiliki kekuatan dibanding nasional, karena ada banyak kekayaan yang terpendam. Dengan semakin terhubungnya Indonesia karena teknologi, orang Banjar di Medan tetap akan tertarik membaca berita tentang Banjar yang diberitakan media di Kalimantan Selatan. Orang Batak di Papua pasti akan rutin mencari hal-hal terkait sukunya dari media di Sumatera Utara. Tinggal bagaimana pengelola media mengolahnya agar menjadi perhatian audiensnya.
Kuasailah peristiwa lokal melalui jejaring yang kuat. Ada kecelakaan kapal di sungai Mahakam, maka media yang terbit di Samarinda harus terlebih dahulu memuatnya ketimbang detik.com atau Kompas.com, misalnya. Kebakaran hutan di Sumsel seharusnya terlebih dahulu diberitakan media di Musi Rawas atau Lubuk Linggau, ketimbang oleh media nasional. Ambil gambarnya, buat beritanya.
Ini hanya bisa terjadi apabila pengelola media memiliki strategi peliputan yang jitu. Dia punya jejaring di kepolisian lokal, jaga warga lokal, tokoh karang taruna, staf rumah sakit, yang akan segera memberikan informasi cepat apabila terjadi peristiwa penting. Kejar tayang dulu. Wartawan hanya diterjunkan apabila skala atau magnitude peristiwa membesar, yang membutuhkan liputan terencana. Berapa jumlah “pencari berita” yang direkrut untuk siaga, tentu tergantung lobi. Level kabupaten bisa 20 sampai 30 orang. Saya bayangkan paling tidak sepekan sekali media itu aka nada berita eksklusif.
Kalau media lokal secara rutin membuat berita yang “mengejutkan” media nasional maka dengan sendirinya nama media itu akan terangkat, dan beritanya akan juga segera dimuat platform lokal seperti Google atau Yahoo atau yang sedang popular Tiktok.
“Walaupun media lokal, nanti berita kalian akan naik ke tingkat dunia, kalau bermutu dan cepat. Kalau eksklusif dan yang pertama muncul,” kata saya. Dan pimpinan media itu pun manggut-manggut bersemangat.
Cerita ini terjadi pada tahun 2018-2019 ketika ada ide untuk mengikat platform global, yang seenaknya mengambil berita dari media di Tanah Air dengan gratis. Untuk media nasional, pada awalnya berita diambil mungkin tidak berarti tetapi karena di Australia, Jerman, bahkan Thailand Google sudah mau bekerja sama, berbagi keuntungan, akhirnya ide yang awalnya disebut sebagai publisher’s right disepakati. Dewan Pers pun membentuk Satuan Tugas atau Kelompok Kerja yang terdiri dari unsur Dewan Pers, konstituen, Forum Pemred, Kementerian Kominfo, dsb.
Media daerah, media kecil bisa jadi peserta sejauh karya jurnalistik mereka bermutu, layak diambil, dan khas, bukan seperti sekarang yang isinya kebanyakan press release polisi atau pemda, dan terkesan sekadar asal terbit. Karena kuncinya memang konten. Mereka ini karena akan sulit berhubungan dengan pihak platform global, tentu bagus kalau bergabung dan bersatu agar posisi tawarnya lebih kuat, terlepas dari apakah mereka sudah terverifikasi atau belum.
Apakah rupiah yang mereka peroleh nanti cukup untuk menghidupi? Belum tentu. Dan pasti akan kalah besar dalam jumlahnya dibandingkan dengan media-media besar. Tetapi kalau mereka menghasilkan good journalism, secara berkelanjutan, tentu saja peluangnya besar. Ini akan menambah daya hidup agar tidak mati. Agar mereka bisa menjalankan perannya.
Kontroversi yang mengemuka sekarang adalah soal peran Dewan Pers dan pihak-pihak yang merasa lebih berhak karena sudah banting tulang dalam merumuskan, terkait dengan badan pelaksana, apabila peraturan berjudul sementara “Tanggungjawab Platform Global dan Jurnalisme Berkualitas” ini. Sebenarnya jelas, ide itu dulu difasilitasi Dewan Pers, semua acara dan kegiatan dibiayai dari anggaran APBN Dewan Pers, baik honor, akomodasi, dan maupun biaya transportasi. Jadi semestinya apapaun hasilnya, itu haknya Dewan Pers, bukan hak pribadi dari orang-orang yang menjadi narasumber ataupun peserta diskusinya. Ya biarlah waktu yang akan menyelesaikan.
Dunia bergerak maju dan kita tidak bisa berkutat dengan cara pikir lama. Ancaman pers sekarang ini bukan dari pemerintah, justru lebih banyak dari pemilik media, pemilik modal, pengusaha, sebagaimana hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers. Apabila peraturan tentang Tanggungjawab Platform Global dan Jurnalisme Berkualitas menjadikan Dewan Pers sebagai pusat dari segala pelaksanaan dan penjabarannya, itu sudah menunjukkan independensi pers itu sendiri. Karena Dewan Pers adalah kita juga, pemiliknya adalah konstituen yang terdiri dari organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Don’t worry be happy.***
Ciputat 17 Februari 2022