Melulu belajar tanpa memperhatikan dinamika warga sekitar, sesusungguhnya bagi seorang mahasiswa – dimana pun ia kuliah – dapat dimaknai seperti menegakkan benang basah. Sia-sia ilmu yang diperoleh.
Mengapa?
Begini. Eloknya mahasiswa dan lingkungan masyarakatnya harus saling melengkapi. Kita ingat, zaman “baheula” hingga zaman “now”, perubahan pemerintahan terwujud karena mahasiswa dan masyarakatnya sama-sama memiliki tujuan sama.
Realitas itu, sungguh menggembirakan. Dan, nampak pada mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di Universitas Madinah. Kuliah berjalan namun tetap memperhatikan dinamika lingkungannya. Khususnya terkait dengan nasib anak bangsa yang bermukim di Arab Saudi.
Di Universitas Madinah, Arab Saudi, kini tercatat sekitar 1500 mahasiswa tengah belajar. Mahasiswa sebanyak itu di luar dari bagian program Dirjen Pendidikan Islam. Artinya, mereka belajar di kampus itu dengan cara mendaftar sendiri dan ada di antaranya memperoleh bea siswa.
Boleh jadi Kementerian Agama tak memiliki catatannya karena tak ada ikatan kerja sama antara kementerian itu dengan pihak manajemen kampus.
“Yang kita tahu, pemerintah punya kerja sama dengan Univeristas Kairo, Mesir. Dengan pihak kampus di sini tak ada,” ujar Bahrul Ilmi, mahasiswa dari Universitas Madinah.
Ilmi sudah setahun mengambil konsentrasi bidang fikih. Sebelumnya di Jakarta ia memperoleh gelar strata satu untuk sastra Arab. Nah, di Madinah, ia mendalami bidang fikih.
Di temani temannya, Andromeda yang tengah menunaikan ibadah umrah, Ilmi mengaku senang mengobrol dengan penulis di lantai atas Masjidil Haram, seusai sholat subuh (Sabtu, 15/4-2023).
Sekedar catatan, Andromeda yang bermukim di Jakarta kini tengah berumrah bersama orang tuanya, Prio Budi Santoso, mantan anggota DPR RI.
“Wah, senang nih, kita ngobrol seperti ini,” ungkap Ilmi yang disambut senyum Andromeda.
Banyak tahu
Andai mahasiswa di Arab Saudi dikerahkan untuk membantu pelaksanaan ibadah haji, bisa saja itu dapat dilakukan. Bahkan sangat mungkin dan menguntungkan pemerintah baik dari sisi biaya maupun sistem rekrutmennya.
Mahasiswa di sini lebih tahu tentang tata cara seluruh ritual ibadah haji. Bisa jadi pemandu karena tahu lingkungan kota Mekkah dan Madinah
Selama ini, untuk membantu pelaksanaan ibadah haji, Kementerian Agama merekrut mahasiswa yang tengah belajar di luar negeri.
Jelas saja, cara seperti itu membutuhkan biaya besar. Belum lagi ketiga tiba di Jeddah, harus dikumpulkan dan ikut pelatihan beberapa hari.
Menurut Ilmi, mahasiswa di Madinah sangat mumpuni di bidang itu. Hanya saja, untuk ikut jadi petugas haji, satu kendalanya.
“Yaitu, harus cuti kuliah. Bisa satu semester,” ungkapnya.
Pendapat itu diamini rekannya, Andromeda. Baiknya, kedepan, pemerintah harus lebih cermat agar mahasiswa yang dilibatkan sebagai tenaga petugas haji harus efektif pada setiap musim haji.
Derita TKI
Obrolan semakin terasa hangat. Pasalnya, penulis menyinggung para tenaga kerja terlantar dan bermukim di kolong jembatan.
Pecah tawa tak dapat dielakan. Bagi yang sudah paham tentang tenaga kerja Indonesia atau TKI terlantar di lokasi itu, pikiran negatif muncul.
Stigma negatifnya kuat melekat di benak. Sebab, dari mulut ke mulut, di kolong jembatan itulah banyak tenaga kerja wanita asal berbagai daerah di Tanah Air punya anak tanpa jelas identitas orangtuanya.
“Ketika mengurus paspor, akte kelahiran dan dokumen lainnya di KJRI Jeddah, imigrasi kesulitan,” ungkap Ilmi.
Kasus TKI melarikan diri dari majikan sering terjadi. Penyebabnya, gaji dipotong dan diperlakukan tak senonoh. Akibatnya, mereka lari tinggal kolong jembatan Kandahar.
Nah, di kolong jembatan itu pulalah bertemu para tenaga kerja lainnya dari berbagai negara. Bisa jadi “cinta kilat” melekat.
Sejatinya, majikan paling suka dengan tenaga kerja asing ilegal.
Beruntung jika majikannya baik, maka gaji TKI lumayan. Bila majikan “nakal”, maka pemerasan yang terjadi.
Majikan suka mempekerjakan TKI ilegal karena terbebas dari pajak yang diberlakukan pemerintah. “Itu saja alasannya,” ujar Ilmi penuh semangat.
Jumlah tenaga kerja Indonesia yang tidak memiliki identias diperkirakan mencapai 200 ribu. Mungkin lebih, karena mereka sudah kawin campur. Sementara anak-anak mereka lahir tanpa akte kelahiran.
Dokumen lain seperti paspor, misalnya, kebanyakan ditahan di pihak majikan. Kadang di tangan para kafil, orang yang ditunjuk pemerintah setempat dan bertanggung jawab terhadap tenaga kerja asing.
Pemerintah Arab Saudi menyadari betul bahwa di negeri itu banyak tenaga kerja asing ilegal. Bukan hanya dari Indonesia saja, dari negara lain pun banyak. Mereka datang mencari nafkah, tetapi ada pula alasannya ingin menunaikan ibadah haji.
Pemerintah setempat pernah mengeluarkan kebijakan pemutihan bagi tenaga kerja asing ilegal. Tapi hal itu sangat tak memuaskan, karena jumlahnya dibatasi.
Pernah pula diberlakukan deportasi dan dipulangkan menggunakan satu pesawat. Lagi-lagi, tak menyelesaikan persoalan karena pengurusan dokumen bagi anak yang lehir tanpa jelas orangtuanya.
Ilmi dan Andromeda melihat bahwa semua itu harus ada upaya dari pemerintah. Salah satunya menghadirkan Atase Agama di KJRI Arab Saudi.
Nikah perlu penghulu. Dicatat. Itu tugas negara dan Atase Agama bertanggungjawab atas dokumen pernikahan di negeri ini.
Obrolan makin seru, ketika disinggung perlunya mahasiswa Arab Saudi memprakasai berdirinya lembaga Atase Agama di Arab Saudi.
Supaya jelas, nasab anak para pekerja. (Edi Supriatna Syafei, wartawan senior)