Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) buka suara mengenai Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang resmi menerima pinangan Prabowo Subianto sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres).
Suara PDIP ini mulai terdengar usai Gibran mendaftarkan diri bersama Prabowo sebagai bakal pasangan calon untuk berkontestasi pada Pilpres 2024 ke KPU, kemarin, Rabu (25/10/2023).
Momen pendaftaran Gibran dan Prabowo ke KPU ini seiringan dengan rapat rutin Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang selalu digelar pada Rabu tiap pekannya.
Tak biasanya, rapat kemarin dihadiri lengkap oleh struktur pengusung Ganjar-Mahfud, mulai dari ketua umum partai politik pendukung, termasuk Megawati Soekarnoputri hingga pengurus TPN.
Tampak hadir pula mantan Sekjen PDI-P sekaligus Sekretaris Kabinet Pramono Anung hingga Ketua DPP PDI-P Puan Maharani.
Calon wakil presiden yang diusung, Mahfud MD juga ikut hadir, sedangkan Ganjar Pranowo masih berada di Lampung.
Gibran disebut sempat pamitan mau jadi cawapres
Puan Maharani menyatakan, partainya sudah menerima Gibran menjadi cawapres Prabowo. Hal ini karena Gibran juga sudah berpamitan dengan Puan. Namun, pamitan itu bukan untuk keluar dari PDI-P, melainkan hanya sinyal untuk menjadi cawapres dari pihak lain.
“Sudah ketemu, ngobrol ngobrol dan banyak hal yang kita bicarakan dan ya sudah enggak masalah. Mas Gibran pamit, ingin menjadi cawapres dari Mas Prabowo,” kata Puan ditemui di Gedung High End, Jakarta Pusat, Rabu sore.
Puan tak memerinci kapan dan di mana dirinya bertemu Gibran. Akan tetapi, ia sebelumnya sempat mengumbar sudah bertemu Gibran, pada Jumat pekan lalu. Dalam pertemuan itu, PDI-P juga belum bisa mengambil sikap terkait nasib Gibran ke depannya usai menjadi cawapres Prabowo.
“Ya sudah, sudah jadi calon wapres dari bersama dengan Mas Prabowo,” imbuh dia. Gibran disebut masih PDI-P Puan menilai Gibran masih merupakan kader PDI-P. Sebab, sejauh ini, dia belum mendengar keinginan Gibran untuk pamit keluar dari PDI-P. Saat pertemuan terakhir, Gibran juga disebut tidak mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) PDI-P.
“Enggak ada, enggak ada mengembalikan KTA, enggak ada lain-lain, hanya pamit untuk menjadi cawapres Mas Prabowo,” ujarnya.
Ketua DPR RI ini menambahkan, karena Gibran sudah menjadi calon wakil Presiden Prabowo, maka keanggotaannya di struktur Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud sebagai juru bicara atau pun juru kampanye nasional, menjadi tidak memungkinkan.
Ketika ditegaskan lagi dengan pertanyaan apakah Gibran masih kader PDI-P usai mendaftarkan jadi cawapres, Puan tak menjawab tegas.
“Kalau gitu saya nanya lagi nanti (ke) Mas Gibran,” imbuh eks Menko PMK ini.
Pengamat nilai Gibran tak akan dipecat Melihat sikap PDI-P, pengamat politik Jannus TH Siahaan memperkirakan, tidak akan ada pemecatan terhadap Gibran setelah menerima pinangan Prabowo.
Jika hal itu dilakukan oleh PDI-P maka dinilai bisa menutup peluang partai itu masuk kembali ke lingkar kekuasaan, jika pasangan Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024.
“Boleh jadi pemecatan terang-terangan juga berpeluang menutup pintu bagi PDI-P untuk tetap berada di dalam pemerintahan jika Prabowo-Gibran memenangkan pemilihan Presiden 2024,” kata Jannus saat dihubungi pada Selasa (24/10/2023).
“Jadi dengan tetap mempertahankan status Gibran sebagai kader, jika Gibran berhasil masuk Istana, statusnya adalah sebagai kader PDI-P,” sambung Jannus.
Dia memperkirakan, jika PDI-P langsung memecat Gibran seperti yang dilakukan terhadap Budiman Sudjatmiko justru akan memberikan pembenaran terhadap isu keretakan hubungan antara Megawati dan Presiden Jokowi.
Di sisi lain, jika PDI-P memecat Gibran justru bisa menyulut reaksi masyarakat buat mempertanyakan keberadaan PDI-P di dalam pemerintahan dan keberadaan menteri-menteri asal PDI-P di kabinet pemerintahan Jokowi. Persoalan lainnya, kata Jannus, jika PDI-P memecat Gibran saat ini maka hal itu sama saja memicu konflik terbuka antara Megawati dan Presiden Jokowi. Jika hal itu terjadi, posisi PDI-P secara politik dianggap semakin rentan terpojok.
“Pasalnya, Presiden Jokowi bisa saja menggunakan kekuasaan dan wewenangnya sebagai presiden untuk melakukan berbagai tekanan kepada PDI-P dan kader-kader PDI-P sendiri, seperti fakta yang dialami oleh Partai Nasdem,” papar Jannus. (ds/sumber Kompas.com)