Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melakukan pelanggaran etik apa pun dalam memproses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Hal itu dikemukakan Yusril saat menanggapi laporan Demas Brian Sicaksono, PH Hariyanto, dan Rumondang Damanik kepada Dewan Kehormatan Pemilu (DKPP) yang persidangannya dimulai pada Jumat (22/12/2023).
Untuk diketahui, dalam laporan tersebut, para pelapor mendalilkan bahwa Terlapor, yakni Komisioner KPU, membiarkan Gibran mengikuti proses tahapan pencalonan dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum. Terlapor juga dinilai sewenang-wenang menetapkan Gibran sebagai Cawapres yang mendampingi Calon Presiden (Capres) Prabowo.
Padahal, menurut pelapor, Komisioner KPU mengetahui bahwa pada saat proses pencalonan, batas usia pasangan capres adalah 40 tahun. KPU baru mengubah peraturan itu setelah proses pencalonan selesai.
Pelapor menyatakan, tindakan Terlapor bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang secara imperatif diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a, Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggaraaan Pemiliu (DKPP) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu.
Adapun beleid tersebut memberikan kewajiban etik kepada komisioner KPU untuk melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, Peraturan KPU (PKPU) sendiri mengatur secara tegas bahwa syarat usia minimal capres dan cawapres adalah minimal 40 tahun. Karena peraturan yang bersifat tegas itu belum diubah dan KPU tetap memproses pencalonan Gibran yang belum berusia 40 tahun, maka para Pelapor mendalilkan bahwa Komisioner KPU telah melakukan pelanggaran etik.
Para pelapor pun memohon kepada DKPP untuk menjatuhkan sanksi etik berupa pemberhentian Terlapor sebagai Komisioner KPU. Yusril yang juga pakar hukum tata negara dan filsafat hukum itu menilai, persoalan mendasar untuk DKPP menilai ada atau tidaknya pelanggaran etik atas norma Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP tersebut adalah cari cara menafsirkan kata “secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan”.
“Kalau ‘secara tegas’ ditafsirkan secara limitatif pada PKPU, dalil tersebut seolah nampak benar adanya. Peraturan KPU secara tegas menyebutkan bahwa pendaftaran cawapres bisa diproses jika telah berusia 40 tahun ke atas. Jika proses tetap dilanjutkan, para Komisioner KPU bisa dikenakan sanksi hukum administrasi, selain dijatuhi sanksi etik,” ujar Yusril dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Minggu (24/12/2023).
Namun, menurut Yusril, tafsir atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU. Pasalnya, di atas PKPU masih ada Peraturan Pemerintah PP, Undang-Undang (UU), dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Yusril melanjutkan, langkah KPU memproses pencalonan Gibran bukanlah suatu pembiaran yang merupakan tindakan pasif, melainkan suatu tindakan aktif. Para komisioner KPU itu, katanya, bertindak demikian didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2024 yang telah mengubah ketentuan Pasal 117 UU Pemilu.
“Usia capres dan cawapres telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi (MK) boleh berusia di bawah 40 tahun jika calon tersebut pernah dan/atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui Pemilu, termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),” imbuhnya.
Menurutnya, putusan MK itu telah berdasarkan Pasal 24C UUD 45 yang menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan berlaku serta merta sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Dengan adanya Putusan MK tersebut, kata Yusril, norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah sejak tanggal itu tanpa harus menunggu Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengubah UU Pemilu. Baca juga: Hari Ini DKPP Periksa Komisioner KPU soal Gibran Jadi Cawapres Yusril membernarkan bahwa KPU memang belum dapat mengubah peraturannya sendiri karena terbentur dengan jadwal tahapan Pemilu yang harus dipatuhi.
Selain itu, perubahan PKPU memerlukan konsultasi dengan DPR. Sedangkan, ketika keputusan MK tersebut dikeluarkan, DPR sedang masa reses.
“Dalam situasi seperti itu, KPU tidak punya pilihan kecuali melaksanakan Putusan MK dan mengabaikan PKPU yang dibuatnya sendiri. Putusan MK mempunyai kedudukan yang setara dengan UU sehingga kedudukannya lebih tinggi dari PKPU,” papar Yusril.
Dalam konteks seperti itu, KPU memilih untuk memilih untuk menaati Putusan MK yang kedudukannya lebih tinggi dari PKPU. Menurut Yusril, jika KPU menaati peraturannya sendiri yang belum diubah dan mengabaikan Putusan MK, KPU justru bertindak melanggar prinsip kepastian hukum sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 serta mengacaukan tahapan-tahapan pelaksanaan Pemilu.
Bagi Yusril, tindakan seperti itu justru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik dan bisa ditjatuhi sanksi pemecatan oleh DKPP. Maka dari itu, Yusril berkeyakinan bahwa DKPP akan menolak laporan Demas Brian Wicaksono, Imam Munandar, dan Rumondang Damanik karena tidak beralasan hukum dan etik sama sekali.
“KPU telah melaksanakan proses pencalonan Gibran berdasarkan Putusan MK dan itu telah sesuai dengan prinsip kepastian hukum. Seluruh komusioner KPU tidak melakukan pelanggaran etik apa pun sebagaimana didalilkan oleh para Pelapor,” ujarnya. Yusril juga menegaskan bahwa Tim Pembela Prahowo-Gibran tidak akan maju sebagai pihak dalam perkara etik yang sedang diperiksa DKPP itu. “Kami maju sebagai Tergugat Intervensi dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perihal yang hampir sama dengan apa yang sedang diperiksa oleh DKPP,” imbuhnya.
Namun, menurut Yusril, Prabowo dan Gibran tidak akan menjadi pihak dalam perkara etik itu. Demikian pula dengan tim pembela yang ditunjuk pasangan calon (paslon) tersebut. Yusril menambahkan bahwa perkara etik beda dengan perkara hukum. Menurutnya, perkara etik mengadili pelanggaran etik yang diduga dikakukan oleh Komisioner KPU sebagai pribadi-pribadi. Oleh karena itu, sanksi yang dijatuhkan hanya mengenai orang yang diadili dan tidak berimplikasi kepada pihak lain.
“Beda dengan perkara hukum yang mengadili pelanggaran hukum dan bisa berimplikasi kepada pihak lain yang tidak diadili. Lagi pulaPeraturan DKPP Nomor 2/2017 tidak membuka peluang pihak ketiga untuk masuk ke dalam proses pemeriksaan perkara pelanggaran etik,” ucapnya. (ds/sumber Kompas.com)