MIMBAR-RAKYAT.com (Jakarta) – Manusia selalu salah faham, begitu ayat Allah disebutkan, maka yang tergambar hanya teks Al-Quran, padahal Allah menciptakan ayat bukan semata huruf tetapi juga merupakan alam bahkan diri manusia itu sendiri.
“Ayat adalah tanda dan tanda adalah sarana yang dianggap representasi dari kehadiran sesuatu. Allah menciptakan tanda tentang keberadaan diriNya bukan hanya melalui Al Quran. Alam semesta dan diri kita pun adalah bagian dari tanda atau ayatNya Allah subhanahu wata ‘ala,” kata H. Rapei. S.Sos.I di Jakarta, Rabu.
Ia mengungkapkan hal itu dalam khutbah shalat gerhana matahari di Masjid Al Istiqomah yang terletak di kawasan Jalan Percetakan Negara I Jakarta Pusat pada Rabu 9 Maret 2016.
Shalat mensyukuri fenomena alam yang jarang terjadi itu, diimami juga oleh H Rapei, diikuti jamaah pria dan wanita yang memenuhi ruang ibadah Al Istiqomah yang masih dalam tahap pembangunan itu.
H. Rapei yang juga ketua Yayasan Masjid Al Istiqomah sebelum memimpin shalat, menjelaskan terlebih dahulu mengenai tata cara melaksanakan shalat gerhana matahari – karena shalat gerhana berbeda sedikit dengan shalat wajib – kemudian setelah shalat dilanjutkan dengan khotbah, makan bersama serta menerima sodaqoh infak dari para jamaah.
Ustad Rapei dalam khotbahnya mengajak jamaah bertafakkur untuk sesaat memikirkan tanda-tanda alam yang ditunjukkan Allah SWT kepada makhluk ciptaanNya, melalui fenomena alam gerhana matahari yang jarang terjadi.
Rapei menyitir surah Fushalat ayat 53 yang berbunyi, “Kami (Allah) akan memperlihatkan kepada mereka tanda (ayat) kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”


Ia melanjutkan, kemudian muncul istilah ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat qauliyah berupa ayat Al Quran yang bisa kita baca dan ucapkan, sementara ayat kauniyah berupa realitas ciptaan di luar itu, seperti penciptaan manusia dan hewan, pergantian siang dan malam, serta fenomena alam lainnya.
“Termasuk segenap hal yang ada dalam diri manusia, tentang metabolism tubuh, emosi, pikiran, perasaan dan lainnya. Ayat atau tanda yang disebut terakhir itu bisa dibawa jika dan hanya jika kita merenungkan dan menghayatinya secara mendalam,” kata ustad yang juga ketua masjid Al Istiqomah itu.
Begitu tingginya keagungan Allah SWT melalui tanda-tanda alam yang ditunjukkannya, sehingga Rapei amat menyayangkan bila gerhana matahari dimaknai dengan tujuan lain, seperti main gaplek semalam suntuk, turnamen ini dan itu memperebutkan piala tertentu dan berbagai hal lainnya.
“Coba kita lihat di internet, begitu banyak orang menandai fenomena alam yang luar biasa itu, hanya dengan melakukan hal-hal sepele, bukan dengan bersujud syukur memikirkan kebesaran Allah yang menciptakan alam semesta ini,” katanya.
Ia menyatakan ketakjubannya dengan fenomena alam itu. Gerhana matahari terjadi ketika piringan matahari ditutup oleh piringan bulan. Jika bulan hanya menutup sebagian, maka disebut gerhana matahari sebagian. Jika seluruh piringan bulan menutupi matahari disebut gerhana matahari total.
“Nah, meskipun ukuran diameter matahari sekitar 400 kali lebih besar dari diameter bulan, bayangan bulan mampu menghalangi cahaya matahari sepenuhnya, karena bulan lebih dekat dibanding matahari. Bulan berjarak rata-rata 384.400 kilometer dari bumi sedangkan matahari jaraknya 149.680.000 kilometer. Suhanalloh, luar biasa dengan fenomena alam yang terjadi ini,” katanya.
Ustad Rapei yang juga bertugas di Masjid ARH Universitas Indonesia di Jalan Salemba Raya, mengimbau dengan terjadinya gerhana matahari itu, selayaknya menjadi momentum bagi manusia untuk merenungkan kedahsyatan kekuasaan Penguasa alam raya ini, juga momentum seorang hamba untuk mengagungkan TuhanNya.
Baca Juga : http://shalat-gerhana-sejak-zaman-rasululloh-saw/
“Mari kita gunakan kesempatan langka ini untuk bermuhasabah, mengintrospeksi diri sendiri. Sudahkan shalat, doa, takbir dan sedekah kita berada di jalan yang benar?,” katanya, mengajak para jamaah untuk memutar ulang rekaman takaran perilaku keimanan masing-masing selama ini. (arl)