Prospek ekonomi Indonesia pada tahun 2018 lebih baik dan stabil. Ini adalah pendapat pihak pemerintah, para menteri hingga presiden. Pengamat ekonomi pun ada berpendapat sama, begitu juga para pelaku ekonomi. Setidaknya itu adalah harapan. Namun mereka umumnya menyadari, untuk menjadikan roda ekonomi stabil berbagai kemungkinan tantangan harus diperhitungkan. Salah satunya adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan digelar tahun 2018 ini.
Pilkada serentak 2018 yang puncaknya adalah pemungutan suara pada 27 Juni 2018 bisa jadi pemicu. Positifnya dapat menjadi penggerak majunya perekonomian Indonesia. Sebaliknya, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, memanasnya suhu nasional pada tahun politik 2018, dapat menjadi pemukul bagi lajunya ekonomi nasional. Karena itu sangat beralasan pemerintah berharap pelaksanaan pilkada serentak berjalan kondusif, sehingga bisa menjadi lokomotif perekonomian nasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam beberapa kesempatan mencuatkan rasa optimistisnya. Begitu juga dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam memasuki tahun politik 2018 ini, keduanya berpendapat itu dapat menjadi mesin perekonomian bagi Indonesia. Apa yang diprediksi, atau sebutlah harapan, tentunya tidak mengada-ada. Bayangkan pada tahun 2018 ini ada 171 pilkada serentak di sejumlah daerah. Tahuan 2019 bahkan akan digelar pemilihan presiden (pilpres). Jelas kegiatan itu dapat memicu lajunya perekonomian nasional. Tentunya jika pilkada-pilkada tersebut tidak menibulkan ekses negatif.
Aspek lain yang dapat mendorong melajunya perekonomian nasional tahun ini menyangkut banyak hal. Jusuf Kalla pernah menyebut, lompatan kenaikan harga batu bara dan kelapa sawit, yang merosot beberapa tahun lalu, dapat menggairahkan pasar ekspor sekaligus menaikkan penerimaan pajak dari dua sektor itu.Tentunya terdapat sejumlah faktor lain yang bisa menjadi pendorong.
Nah, perhitungan positifnya perekonomian nasional di tahun 2018 ini tidak akan terjadi tanpa ada upaya. Pilkada serentak adalah salah satu penentu. Suksesnya perhelatan bangsa itu menjadi pendorong. Namun jika pemilihan kepala daerah dimaksud menimbulkan banyak persoalan, jelas pilkada akan dapat menjadi batu sandungan.
Memang, pelaksanaan pesta demokrasi itu tidak sepentasnya membuat kita pesimis. Namun bukan salah bila semua pihak, terlebih pemerintah dengan aparat keamanan dan penegak hukumnya mengatisipasi. Jangan biarkan pilkada serentak menimbulkan ketidak stabilan, melahirkan kekacauan akibat ambisi orang-orang yang hanya ingin menang sendiri. Pelaksanaan pilkada harus dijaga, agar tidak menimbulkan ekses buruk yang tidak diharapkan.
Mengutip ucapan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, terkait pilkada semua harus berjalan secara wajar. Baik itu tahapan kampanye, serta tahapan-tahapan lainnya. Harapan Menko Polhukum itu perlu didukung. Kita tentunya tak ingin ada “pembonceng-pembonceng” yang memanfaatkan pilkada untuk kepentingan pribadi dan kroninya tanpa peduli perbuatan mereka menimbulkan benturan di tengah masyarakat.
Pilkada bukan satu-satunya yang perlu dijaga agar berlangsung aman. Untuk menjadikan harapan jadi kenyataan, menjadikan perekonomian nasional berkembang dan stabil, banyak faktor lain yang menentukan. Kepastian hukum, kualitas pelayanan umum, keamanan, masasalah pendidikan dan lainnya memiliki andil.
Koruptor harus mendapat penanganan serius, pemerintahan, yudikatif, dan legislatif harus bersih dari para pencoleng. Bila hal itu bisa dilakukan, dapat diharapkan perekonomian nasional maju pesat. Jangan ada lagi proyek negara yang menjadi sasaran “tikus-tikus got”, memperkaya diri dan keluarga dengan uang haram.***