Selama ini Dewan Pers melakukan edukasi, diseminasi, sosialiasi ke seluruh masyarakat pers untuk mematuhi dan menjalankan aturan-aturan terkait pers yang berlaku.
Dewan Pers yang eksistensinya disebutkan di Pasal 15 Undang-Undang No.40 tentang Pers tahun 1999 adalah satu-satunya Undang-Undang di Republik Indonesia yang diatur tidak memiliki turunan berupa Peraturan Pemerintah, Keppres, Keputusan Menteri, atau apapun, karena belajar dari Orde Baru. Undang-Undangnya bagus, tetapi Menteri Penerangan dapat seenak perutnya membuat aturan yang justru “melawan” undang-undang untuk kepentingan rezim.
Oleh karena itu masyarakat pers, dan difasilitasi Dewan Pers, membuat peraturan dari dan untuk pers itu sendiri. Swa regulasi. Karena dibuat sendiri, tentu saja pers harus menjalankannya dengan penuh kesadaran. Menaati apa yang diatur, karena pemerintah tidak lagi campur tangan.
Ada banyak peraturan Dewan Pers yang menjadi landasan operasional pers, mengatur, membatasi, yang karena dibuat sendiri, dianggap tidak menjadi beban untuk dijalankan.
Ambil contoh tentang Peraturan Dewan Pers No. 3/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik. Media manapun di Indonesia ini, termasuk afiliasi media di luar negeri, tunduk pada KEJ ini. Media nasional seperti Tempo, Kompas, Media Indonesia, Metro TV, detik.com, kalau diadukan masyarakat dan dipanggil untuk mediasi oleh Dewan Pers, akan datang, menjalani proses, dan menjalankan keputusan yang dibuat dalam sidang. Tidak ada yang membangkang, karena mereka menghargai Peraturan Dewan Pers yang ikut mereka buat sendiri. Entah melalui organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers tempat awak media itu bergabung.
Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan No.1/Peraturan-DP/II/2010 yang lalu terakhir diperbaiki menjadi Peraturan No.01/Peraturan-DP/X/2018, dipatuhi wartawan di seluruh Indonesia. Wartawan yang aktif di lapangan, mereka yang mengelola di meja redaksi, apalagi Pemimpin Redaksi dan Penanggungjawab Redaksi, semua bersertifikat kompetensi. Ribuan orang berlomba-lomba mengikuti uji kompetensi, rela membayar jutaan rupiah, demi memiliki sertifikat kompetensi. Jatah sertifikasi sebanyak 1750 orang pertahun yang dibiayai negara melalui Dewan Pers, tidak cukup menampungnya.
Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers No 3/Peraturan-DP/X/2019, sebagai perbaikan dari Peraturan No. 4/Peraturan/III/2008, dipatuhi oleh perusahaan pers yang ingin medianya terverifiksi meski awalnya ada sebagian kecil yang enggan. Sebab dengan memiliki sertifikat Terverifikasi Faktual, media tersebut diakui menjalankan semua aturan pers terkait penyelenggaraan media, yaitu pengelolanya wartawan kompeten, kesejahteraan dan perlindungan wartawan dijamin, mematuhi kode etik jurnalistik, yang sangat penting ketika mengikat kerjasama dengan lembaga pemerintah dan swasta. Setahu saya tidak ada media mainstream yang enggan diverifikasi.
***
Bukan hanya masyarakat pers, media ataupun wartawan, yang menghargai peraturan di atas, tetapi juga masyarakat umum, publik, karena aturan tersebut menjadi tonggak, landasan untuk berinteraksi dengan pers. Ada beberapa Peraturan Gubernur, seperti di Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, ada beberapa peraturan Bupati, Walikota, yang menjadikan Peraturan Dewan Pers sebagai landasan kemitraan dengan media massa.
Masyakarat yang mengadukan pemberitaan yang dianggap merugikan pihaknya pun, ikut taat pada Peraturan Dewan Pers No. 03/Peraturan-DP/VII/2017, sehingga menjalankan prosedur yang ada. Sehingga nanti pengaduannya diperiksa dan dicarikan solusinya oleh Dewan Pers. Mereka tidak menggeruduk atau membakar kantor perusahaan pers, karena sudah ada aturan tertulis, yang membuat penyelesaikan dapat dilakukan secara elegan.
Nah, kalau pemerintah, parlemen, masyarakat pers, publik, menaati peraturan Dewan Pers, mengapa malah anggota Dewan Pers membangkang, dan melanggar Peraturan Dewan Pers? Yang saya maksud di sini adalah Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IX/2016 tentang Statuta Dewan Pers.
Pasal 18 Statuta Dewan Pers yang ditetapkan pada tanggal 8 September 2016 dan ditandatangani Ketua Dewan Pers, Yoseph Adi Prasetyo, sebagai yang berbunyi:
Apabila Ketua Dewan Pers berhenti sebagai anggota Dewan Pers, maka Wakil Ketua Dewan Pers otomatis menjadi Ketua Dewan Pers baru. Untuk mengisi posisi Wakil Ketua Dewan Pers diadakan pemilihan Wakil Ketua Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Statuta Dewan Pers ini.
Sampai hari ini, sejak wafatnya Prof Azyumardi Azra pada tanggal 18 September 2022, tidak ada Ketua Dewan Pers, malah yang ada PLT yang tidak jelas dari mana asal muasalnya. Padahal seharusnya sudah jelas aturannya dan harus ditaati para anggota Dewan Pers. Otomatis artinya dengan sendirinya, tidak perlu lagi proses apapun, langsung ditetapkan.
Yang terdengar malah, para Anggota Dewan Pers memutuskan untuk mengubah aturan yang masih berlaku, dan menyusun ulang pasal sesuai selera.
Para anggota Dewan Pers periode 2022-2025 harus sadar bahwa langkah mereka mengubah statuta sudaha melabrak aturan. Mereka dapat dianggap membangkang dan karena tidak lagi menjalankan statute yang ada, maka eksistensi mereka sendiri lalu patur dipertanyakan, sebab sejak serah terima jabatan dengan anggota Dewan Pers periode 2019-2022, landasan kegiatan dan operasional mereka adalah Statuta Dewan Pers sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IX/2016. Kalau status mereka tidak lagi jelas, lalu apa dasarnya mereka membuat Statuta Dewan Pers baru?
Tentu tidak sah. Dan produk apapun nanti yang ditindaklanjuti dari Statuta baru, yang dirancang untuk merombak total tata kelola Dewan Pers yang sudah dilaksakan dengan baik sejak berdirinya Dewan Pers setelah UU No.40/1999 tentang Pers diberlakukan, tidak akan sah. Dicatat, tidak sah.
***
Pleno Dewan Pers juga harus segera mengisi kekosongan anggota akibat berpulangnya Prof Azyumardi Azra. Statuta Dewan Pers juga dengan jelas mengatur pengisian keanggotaan baru untuk menggantikan anggota yang berhalangan tetap. Hal itu ada di Pasal 7 Statuta yang berbunyi:
Untuk menggantikan Anggota Dewan Pers yang berhenti, diambil dari nama calon anggota yang berasal dari unsur yang sama dari urutan berikutnya sesuai ketetapan Badan Pekerja pada periode tersebut.
Apabila tidak ada lagi anggota pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) penggantinya diambil dari unsur yang sama berdasarkan keputusan Rapat Pleno Dewan Pers. Calon anggota pengganti diajukan ke Presiden Republik Indonesia untuk ditetapkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia sebagai Anggota Dewan Pers yang baru.
Maka mereka yang berhak menjadi anggota baru adalah urutan berikutnya, yakn 4, 5, dan 6, dari calon anggota yang waktu itu tidak terpilih karena kalah suara. Tidak boleh mendadak ada orang baru di luar tiga orang yang sudah ditetapkan oleh Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers.
Sekali lagi sebagai orang pernah duduk dua periode di Dewan Pers, saya sungguh berharap agar Anggota Dewan Pers 2022-2025 agar taat produk hukum dari Dewan Pers. Sejarah akan mencatat pembangkangan yang dilakukan, apalagi karena masukan dari konstituen, yang tidak ada urusan dengan statuta, karena itu sudah berlaku.
Apabila konstituen Dewan Pers memiliki ambisi untuk mengubah Statuta Dewan Pers, silakan meminta ke Anggota Dewan Pers yang duduk sebagai wakil mereka, bukan mengintervensi langsung ke sidang pleno. Wacana penambahan anggota Dewan Pers, yang jumlahnya kini sudah lebih banyak dari komisioner KPI dan KIP, sah saja. Begitu pula keinginan untuk memasukkan tokoh masyarakat yang dianggap bonafide, silakan saja. Tetapi jalankan dulu aturan yang masih berlaku, agar tidak ada cacat hukum ke depan.
Wallahu alam bishawab.
Ciputat, 7 Desember 2022.