MIMBAR-RAKYAT.Com (Jakarta) – Indonesia dan Swiss telah menandatangani perjanjian bantuan hukum timbal balik, atau dikenal dengan mutual legal assistance. Terdapat 39 pasal dalam perjanjian tersebut yang mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.
Pembahasan hingga bermuara tanda tangan perjanjian tersebut tidak dilakukan singkat. Ada dua kali putaran perundingan, yakni di Bali dan di Bern, Swiss.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menilai penandatanganan perjanjian MLA menunjukan indikasi banyak aset ‘kotor’ warga negara Indonesia (WNI) yang tersimpan di Swiss.
“Itu salah satu tujuannya (penandatanganan perjanjian MLA) karena kita tahu Swiss menjadi negara yang paling aman untuk menyimpan aset dari hasil kejahatan karena ketatnya sistem perbankan mereka, sehingga ini perlu didorong adanya kerjasama hukum,” kata Oce, Selasa (5/2) malam.
Saking ketatnya sistem perbankan negara pengekspor cokelat terbesar itu, Oce menduga nilai aset warga negara Indonesia yang tersimpan di sana sangat besar. Oleh sebab itu, imbuhnya, penandatanganan MLA menjadi jalan pembuka bagi pemerintah menarik aset khususnya yang terindikasi diperoleh dari tindak kejahatan.
Nantinya setelah MLA ditandatangani, kata Oce, pemerintah harus menyiapkan teknis hukum perkara jika ingin menarik aset para terduga pelaku tindak pidana korupsi.
“Disiapkan perkara hukumnya, didakwakan, setelah ada putusan pengadilan itu menjadi dasar kita mendapat akses perbankan WNI yang dianggap melakukan kejahatan,” tandasnya.
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengamini adanya penandatanganan perjanjian MLA menjadi angin segar bagi aparat penegak hukum mengejar aset yang dianggap berasal dari hasil kejahatan.
Bukan hanya menarik aset, Agus menuturkan, perjanjian MLA sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Permintaan Bantuan Timbal Balik di antaranya membantu proses hukum mencari barang bukti, atau menghadirkan saksi.
“Jadi MLA tidak hanya sekedar menarik aset saja, tapi juga bagaimana kita mendapat akses mencari barang bukti, menghadirkan saksi. Itu keuntungan lainnya,” kata Agus.
Diketahui, Senin (4/2), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menandatangani perjanjian MLA dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss.
Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
Menteri Yasonna menyatakan, perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud).
“Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya,” ujar Menkumham dalam siaran pers, Selasa (5/2).
Atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini.
Perjanjian MLA RI-Swiss merupakan perjanjian MLA yang ke-10 yang ditandatangani Pemerintah RI (Asean, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran), dan bagi Swiss adalah perjanjian MLA yang ke-14 dengan negara non-Eropa. (M/d)