Tentara melakukan perkosaan secara brutal terhadap wanita dan gadis sebagai senjata perang setidaknya di 16 desa. Pembantaian yang dilakukan telah menghilangkan nyawa ribuan orang yang disiksa, dengan diikat dan dieksekusi atau ditembak mati saat melarikan diri. Militer mengutamakan menargetkan orang tua dan anak-anak.
Mimbar-Rakyat.com – Amnesty Internasional merilis laporan pada Rabu (27/6) tentang rincian bukti baru terkait kekejaman yang menimpa penduduk Rohingya Myanmar, serta mengungapkan nama-nama 13 komandan militer utama yang dikatakan kelompok HAM harus dituntut atas kejahatan mereka terhadap kemanusiaan.
Laporan itu berjudul “We Will Destroy Everything.” Amnesty mengatakan kata-kasa itu sama dengan yang diucapkan seorang komandan militer dalam rekaman panggilan telepon yang diperoleh oleh kelompk penyidik, dan menyimpulkan tentang pola pikir tentara Myanmar dalam berurusan dengan Muslim Rohingya. Mereksa bertekad menghancurkan apapun berkaitan dengan Rohingya.
Menurut laporan Arab News, sekitar 700.000 warga Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh sejak Agustus lalu untuk menyelamarkan diri dari apa yang PBB dan pejabat AS sebut lari dari kampanye “pembersihan etnis” oleh pemerintah Myanmar.
Amnesty mengatakan tim investigasinya menghabiskan sembilan bulan mengumpulkan bukti perlakuan brutal terhadap Rohingya dalam tindakan keras yang dimulai pada Agustus, setelah kelompok radikal Rohingya menyerang pos-pos pasukan keamanan Myanmar di negara bagian Rakhine barat negara itu.
Laporan itu menyebutkan tim Amnesti mewawancarai ratusan korban dan mengumpulkan bukti baru mengerikan dari metode pembunuhan yang digunakan untuk mengusir Rohingya keluar dari Myanmar. Foto dan klip video, serta analisis ahli forensik dan senjata, digunakan untuk meningkatkan informasi.
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay tidak tersedia untuk komentar Rabu.
Amnesty menyebutkan, bukti-bukti melibatkan panglima militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, dan 12 orang lainnya dalam 11 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional. Disebutkan bahwa 12 atsu minimal 9 dari bawahan dan tiga petugas polisi perbatasan – adalah “orang-orang dengan darah di tangan mereka.” Amnesty mendesak agar mereka diadili oleh pengadilan internasional.
“Ledakan kekerasan – termasuk pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, pembakaran dan kelaparan paksa – yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar di desa-desa di utara Rakhine State bukanlah tindakan tentara nakal (menyalahi perintah),” kata Matthew Wells, seorang peneliti krisis Amnesti yang menghabiskan beberapa minggu di perbatasan Myanmar dengan Bangladesh.
Dalam laporan itu disebutkan; “Ada banyak bukti bahwa ini adalah bagian dari serangan sistematis yang sangat diatur pada populasi Rohingya.”
Komando senior Myanmar mengerahkan pasukan tempur dengan reputasi sebagai unit militer yang paling brutal, lapor Amnesty.
Wells mengatakan, beberapa ratus desa-desa Rohingya dibakar dan orang-orang disiksa, diperkosa dan kelaparan. Beberapa pria dan anak laki-laki digantung terbalik dan kemudian dipukul sampai mati. Dia mengatakan rumah untuk kelompok etnis lain di Myanmar sekarang sedang dibangun di desa-desa yang hancur, beberapa di antaranya berada di bawah jalan baru.
Tentara melakukan perkosaan secara brutal terhadap wanita dan gadis sebagai senjata perang setidaknya di 16 desa. Kenyataan itu menurut Amnesty, diketahui setelah mewawancarai 11 orang yang diperkosa. Kelompok itu mengatakan citra satelit yang diperolehnya menunjukkan kebakaran yang terjadi untuk mengkonsumsi seluruh desa, dengan orang-orang yang membakar di dalam rumah mereka.
Laporan itu mengatakan pembantaian yang dilakukan telah menghilangkan nyawa ribuan orang yang disiksa, dengan diikat dan dieksekusi atau ditembak mati saat melarikan diri. Militer mengutamakan menargetkan orang tua dan anak-anak.
Laporan setebal 200 halaman itu juga memberikan informasi rinci tentang Arakan Rohingya Salvation Army, kelompok Rohingya bersenjata yang serangannya memicu tindakan keras oleh Myanmar. Dikatakan bahwa para pejuang yang ditahan sering disiksa untuk mendapatkan informasi, menggunakan waterboarding atau alat kelamin mereka dibakar.
Seorang petani memberi tahu Amnesty bahwa dia berdiri dengan tangan terikat di belakang kepalanya ketika seorang penjaga polisi perbatasan menarik pakaian sarungnya, “dan menaruh lilin di bawah penis saya.” Atasan prajurit itu memerintahkan petani untuk “mengatakan kebenaran atau Anda akan mati.”
Wells juga menyatakan “kekecewaan ekstrim” di Aung San Suu Kyi, pemimpin politik de facto pemenang Hadiah Nobel Myanmar, yang tidak memiliki kontrol langsung terhadap militer.***(Sumber Arab News/janet)