Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Vonis bebas yang diberikan pengadilan terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi bukan kali pertama terjadi. Terbaru, hakim agung Gazalba Saleh yang divonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung.
Dalam kasus ini, jaksa menuntut Gazalba dengan hukuman pidana 11 tahun penjara. Sebab, Gazalba diyakini terlibat secara bersama-sama untuk mempengaruhi putusan kasasi pidana Ketua Umum KSP Intidana Budiman Gandi Suparman.
Namun, dalam putusannya majelis hakim menyatakan alat bukti untuk menjerat Gazalba tidak kuat, sehingga vonis bebas diberikan. KPK lantas berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menduga ada banyak faktor di balik vonis bebas yang diberikan oleh majelis hakim kepada Gazalba.
“Banyak faktor tetapi yang dominan itu nampaknya faktor solidaritas korps. Bisa jadi KPK sudah berusaha dengan pembuktiannya, tetapi masih dianggap lemah,” kata dia saat dihubungi, Kamis (3/8).
Abdul juga menyinggung soal faktor X di balik putusan hakim tersebut. Faktor X inilah yang menurutnya paling dominan di antara faktor lain atau pertimbangan lainnya.
“Saya kira ini lebih dominan ‘faktor X’nya, (faktor X ini) hakim mengadili hakim,” ucap Abdul.
Terpisah, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman menyebut KPK mesti mengambil pelajaran dalam kasus ini.
Terlebih, Gazalba juga terjerat dua perkara lain yang masih ditangani KPK, yakni dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Nah apa yang harus diambil pelajaran oleh KPK adalah soal aspek pembuktian, maksudnya bagaimana agar dakwaannya itu bisa terbukti dengan menghadirkan alat bukti yang kuat jadi tidak bisa sekedar berbasis kepada perkiraan, harus ada alat bukti yang sangat kuat menunjukkan bahwa telah terjadi tindak pidana,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha menilai KPK perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh. Khususnya, terkait dakwaan terhadap Gazalba dalam kasus dugaan penerimaan suap ini.
“Apakah ada kelemahan dan kesalahan yang dilakukan pada proses dakwaan atau tidak, jika tidak, KPK wajib untuk banding atas putusan bebas ini,” katanya.
Riwayat vonis bebas koruptor
Di tahun 2011 lalu, Pengadilan Tipikor Bandung pernah menjatuhkan vonis bebas kepada wali kota Bekasi Mochtar Mohammad dalam kasus penyuapan anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar.
KPK lantas mengajukan kasasi. MA lalu mengoreksi putusan pengadilan. MA menyatakan Mochtar terbukti melakukan korupsi dan divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah uang pengganti Rp639 juta subsider 6 bulan kurungan.
Lalu pada tahun 2017, Bupati Kabupaten Rokan Hulu Suparman juga divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Pekanbaru dalam kasus tindak pidana korupsi pembahasan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Perubahan provinsi Riau 2014 dan APBD 2015.
Lewat proses kasasi MA kemudian mengoreksi putusan itu dan Suparman divonis enam tahun penjara dan dengan Rp200 juta subsider enam bulan penjara.
Selanjutnya di tahun 2019, eks Dirut PLN Sofyan Basir juga divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam perkara pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Kemudian pada tahun 2021, bos PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM), Samin Tan divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tipikior Jakarta Pusat. Ia dinilai tak terbukti memberi suap Rp5 miliar kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih agar membantu mengurus masalah izin anak usaha PT BLEM.
KPK harus perbaiki diri
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman menganggap KPK sudah mulai menunjukkan sisi kelemahannya sejak berada di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Buktinya, kata dia, KPK sudah jarang menyentuh aparat penegak hukum.
“Saat kepemimpinan Firli Bahuri itu memang KPK hampir tidak pernah menyentuh aparat penegak hukum, apalagi yang dari kepolisian dan dari kejaksaan, nah baru masuk ini yang di MA,” kata Zaenur.
Menurutnya, KPK saat ini lebih mementingkan sinergisitas, ketimbang bekerja secara profesional dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Mengutamakan sinergisitas, bahasa mereka ya, yang saya juga tidak tahu itu di KBBI juga enggak ada itu sinergisitas, dibandingkan profesionalitas penegakan hukum yang justru harusnya menjadikan aparat penegak hukum itu sebagai prioritas utama penegakan hukum KPK,” tutur dia.
Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha menyampaikan bahwa KPK memang sedang melemah. Dia berangkat dari berbagai kasus yang dialami beberapa waktu belakangan.
Mulai dari permasalahan di kalangan internal, pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan, kasus korupsi di internal KPK, permasalahan di rutan KPK, dan lain sebagainya.
“Mau tidak mau fakta atas kondisi ini pasti memperlemah KPK baik secara kelembagaan maupun secara kepegawaian yang bekerja di lapangan,” kata dia. (ds/sumber CNNIndonesia.com)