Idul fitri semakin dekat, hampir semua anak di TPA tempat Faiza mengaji membicarakan baju lebaran yang dibelikan orangtua mereka. Mereka semua girang, kecuali Faiza yang hanya termenung, kecewa karena tidak dibelikan baju baru untuk lebaran.
“Tok, tok, tok”
Terdengar suara pintu diketuk. Umi yang sedang mencuci piring di dapur pun berjalan menuju pintu, membukanya. Faiza, gadis berusia 8 tahun, baru saja kembali dari TPA. Ia masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam kepada Umi.
Kedua matanya sembab dan merah, pipinya basah, wajahnya murung, rupanya ia sedang menangis tersedu. Ia berjalan ke kamar dengan lesu, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Umi menghampirinya, hati Umi dipenuhi rasa khawatir dan heran.
“Faiza, kenapa kamu menangis?” tanya Umi, suaranya lembut.
Faiza tidak menjawab, ia terus menangis.
“Ceritakan saja ke Umi,” pinta Umi, memeluk putrinya.
Faiza mencoba melepaskan diri dan menjauh dari pelukan Umi. Ia tampak marah.
“Umi, mengapa aku tidak dibelikan baju lebaran?!!” gerutu Faiza dengan nada membentak dan raut muka kesal.
Umi tersentak mendengar bentakan Faiza, belum pernah ia mendengar Faiza bicara sekasar ini.
“Astagfirullahal adzhim, istighfar Nak. Kamu tidak boleh membentak Umi, itu dosa besar. Bicara saja baik-baik maka akan Umi dengarkan,” sergah Umi, sedikit terkejut.
“Aku kesal, Umi. Mengapa aku tidak dibelikan baju lebaran sedangkan Mbak Hayu dibelikan? Itu tidak adil!!! Aku merasa malu terhadap teman-temanku di TPA, mereka semua dapat baju lebaran, hanya aku yang tidak punya!” seru Faiza dengan kasar, merasa iri terhadap teman-teman di TPA dan kakaknya, Mbak Hayu.
Umi menghela napas. Sebetulnya ia geram, rasanya ingin memarahi Faiza, tetapi ia menahan emosinya dengan kesabaran karena ia begitu menyayangi Faiza.
“Kamu harus mengerti keadaan keluarga kita, Nak. Kita ini bukan keluarga mampu seperti teman-temanmu di TPA. Semenjak Abah meninggal, Umi bekerja seorang diri demi menghidupi kamu dan Mbak Hayu. Gaji Umi tidak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah. Tahun lalu kamu sudah diberi baju Lebaran, jadi tahun ini giliran kakakmu,” jelas Umi perlahan.
Faiza bergeming, kepalanya tertunduk, bibirnya cemberut. Ia masih kesal, tak kunjung memahami penjelasan Umi. Dalam hatinya, ia bersikeras menginginkan baju lebaran seperti yang teman-temannya dapatkan.
“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar… Allahu akbar wa lillahilham”
Hari kemenangan itu pun tiba. Takbir berkumandang dari setiap menara masjid di seluruh penjuru kota. Ketupat, opor ayam, dan sambal krecek tersedia di dapur setiap rumah. Selepas sholat Id, orang-orang saling mengunjungi rumah tetangga untuk bersilaturahmi, bermaaf-maafan, dan bercengkrama; begitu pula keluarga Faiza yang bersiap-siap hendak berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan sanak saudara.
Faiza menyambut Idul Fitri dengan sukaria, tak sabar berjumpa tetangga dan saudara-saudara. Ia kelihatan manis mengenakan baju lebaran yang akhirnya ia dapatkan dari Umi. Baju itu berupa gaun terusan lengan panjang dan kerudung warna oranye yang anggun dan cantik.
“Umi, Mbak Hayu… Ayo lekas kita berangkat!” ajak Faiza dengan penuh semangat setelah mengagumi baju baru yang ia pakai di depan cermin.
Pakaian yang dikenakan Umi dan Mbak Hayu hari ini bukanlah pakaian istimewa. Umi mengenakan baju gamis coklat dan jilbab hitam yang biasa ia kenakan sehari-hari, sementara Mbak Hayu tidak memakai baju lebarannya melainkan kaus lengan panjang, rok panjang, dan jilbab yang sangat sederhana yang ia pakai.
Faiza memperhatikan penampilan Mbak Hayu dengan dahi berkerut, sedikit terheran dan meremehkan. Mengapa Mbak Hayu tidak memakai baju barunya di hari lebaran ini?
“Mbak Hayu, Mbak kenapa tidak pakai baju lebaran? Kok malah baju lusuh begitu yang Mbak pakai? Apa tidak malu pada tetangga yang memakai baju bagus-bagus?” celetuk Faiza tiba-tiba dengan angkuh.
Mbak Hayu terpaku, kecewa mendengar kata-kata Faiza yang sangat menghina itu. Tak pernah ia sangka adiknya yang ia sayangi berani mengejeknya. Walaupun merasa tersinggung, ia lebih memilih diam daripada berkomentar.
Umi yang juga mendengar ejekan itu, tidak tinggal diam. Ia mendekati Faiza, menjelaskan yang telah terjadi dan menyampaikan nasihat.
“Ucapanmu sangat tidak sopan, sama saja kamu menghina kakakmu,” ujar Umi, nada suaranya tegas dan serius. “Setelah kamu mendesak Umi membelikan baju lebaran, Umi ceritakan itu pada Mbak Hayu, lalu Mbak Hayu menjual baju lebarannya yang sangat ia sukai ke pedagang di pasar, uangnya untuk membelikan baju baru buatmu.”
Mendengar penjelasan Umi, Faiza tertegun. Hatinya tergetar. Ia meyesal telah mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan kakaknya, seharusnya ia berterima kasih kepada Mbak Hayu yang rela menjual baju lebarannya demi memenuhi keinginan Faiza.
“Mbak, maafkan aku karena sudah mengatakan kata-kata yang tidak baik pada Mbak,” sesal Faiza, tatapannya mengarah ke bawah, merasa bersalah.
Mbak Hayu yang semula tampak kecewa pun kembali tersenyum.
“Tidak apa-apa Faiza, asalkan jangan bicara seperti itu lagi, itu sangat tidak sopan dan berdosa,” ujar Mbak Hayu sambil mengusap kepala adiknya.
Faiza memeluk Umi dan Mbak Hayu, “Maafkan aku juga karena menuntut dibelikan baju lebaran, padahal seharusnya aku mengerti bahwa Umi tidak punya uang untuk itu. Seharusnya aku tidak egois.”
Ketiganya saling berpelukan erat hingga membuat Umi terharu. Sekarang Faiza paham bahwa menuntut orangtua membelikan sesuatu bukanlah hal yang baik karena tidak hanya diri kita yang harus kita pikirkan, melainkan kita juga harus mengerti keadaan orangtua kita.
-oOo-
(Cerpen: Hanifah Rahadianty Kusmana /cerpenmu.com – Facebook: Hanifah Rahadianty Kusmana)