Pujangga , ahli matematika dan ilmu falaq Persia (sekarang Iran) Omar Khayyam(1048-1131) pernah mengingatkan manusia agar sangat berhati-hati ketika menulis sesuatu (dan tentu saja ketika mengatakan sesuatu yang kemudian dicatat/ditulis, seperti ucapan seseorang yang sedang berpidato atau menyampaikan ceramah/taushiyah, yang lantas disebarluaskan).
Dalam sajak mashurnya “The Rubaiyat of Omar Khayyam “ (yang diterjemahkan oleh Edward Fitzgerald) Omar Khayyam antara lain menulis:
The Moving Finger writes; and, having writ,
Moves on: nor all thy Piety nor Wit
Shall lure it back to cancel half a Line,
Nor all thy Tears wash out a Word of it.
(Jari yang bergerak menukilkan; dan setelah menulis
Kemudian berlalu: semua kesalehanmu begitu pula kecerdasanmu
Tiada akan mampu mengimbaunya kembali atau menghapuskan bahkan setengah baris
Begitu juga semua air matamu tidak akan berdaya menghilangkan bahkan sepatah kata pun.)
Dalam budaya kita peringatan ini berbentuk wanti-wanti yang lebih menyeramkan:
“Mulut kamu harimau kamu mengerekah batu kepala kamu!”
Selama menjadi presiden R.I. Bung Karno memang acap berpidato, dan ucapan-ucapannya di depan massa rakyat itu dicatat demi sejarah.
Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno menghardik lawan-lawan Indonesia dengan ucapan ini:
“Kita bangsa besar, kita bukan “bangsa tempe”, kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak… Tradisi Bangsa lndonesia bukan “tradisi tempe”. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok.” (Soekarno, dalam Pidato ultah hari kemerdekaan tanggal 17 agustus 1963.)
Jelas dalam pidatonya itu penggunaan perumpamaan atau tamsil “tempe” dimaksudkan oleh Bung Karno sebagai sesuatu yang mengecilkan, merendahkan, bahkan menghina. Namun kenyataannya kini sungguh sangat berbeda, karena tempe dianggap sebagai salah satu jenis makanan terpuji yang sangat besar khasiatnya.
Kata seorang pelawak, yang membuat tempe sama sehatnya seperti yang membuat minuman anggur: sama-sama harus mengangkat dan menurunkana kedua kaki mereka secara berulang-ulang (menginjak-injak) ketika mengolah kedelai untuk tempe dan buah anggur untuk minuman yang banyak digemari oleh orang di Barat, terutamanya.
Dalam berbagai kajian kesehatan tempe (tempeh) disebut “incredibly good” for you, dan setidaknya ada tujuh khasiat dari tempe:
Contains Probiotics. The consumption of fermented, probiotic foods has many benefits. …
Reduces Cholesterol. (Mengurangi kolesterol).
Increases Bone Density. (Menambah kekuatan tulang)
Reduces Menopausal Symtoms. (Mengurangi gejala menopos).
Provides Muscle-Building Protein. (Memasok protein pembina otot).
Contains Diabetes-Fighting Manganese. (Mengandung mangganis anti diabetes).
Treats Cancer and Inflammatory Diseases.(Mengobati kanker dan pembengkakan).
Seingat penulis pernah ada sebuah buku setebal lebih dari dua ratus halaman yang ditulis seorang ahli gizi Amerika mengenai khasiat tempe.
Sayang di Indonesia sendiri, atau di kalangan bangsa Indonesia tempe, sebagaimana halnya dengan jagung, dianggap sebagai lambang kemiskinan, hingga sering timbul ucapan penuh belas kasihan atau mungkin juga celaan, bahwa si fulan “kasihan sekarang makan tempe/jagung”, karena dianggap tidak lagi sanggup makan nasi dan gulai ayam.
Agaknya disebut “bangsa tempe” mungkin lebih terhormat ketimbang dibilang “bangsa babu”.
Seorang penulis Hong Kong, Chip Tsao, dalam kolomnya di majalah HK Magazine, menyebut warga Filipina sebagai “bangsa babu” (ia tidak menggunakan istilah yang lebih terhormat, seperti Pembantu Rumah Tangga alias Domestic Helpers, melainkan servants).
Cemoohan ini dilontarkannya ketika Filipina angkat suara sehubungan dengan klaim negara itu terhadap sebagian dari Kepulauan Spratly yang juga diklaim oleh sejumlah negara lain, termasuk Tiongkok
“Jangan sok jago lu,” kata Chip Tsao yang menambahkan “Lu kan bangsa babu”.
Yang dimaksudkannya adalah para TKW Filipina yang banyak di antaranya bekerja sebagai PRT di Hong Kong dan banyak negara lainnya, seperti Singapura, Malaysia dan Timur Tengah.
Memang dalam sejarahnya Filipina kurang terbukti suka atau berani unjuk otot.
Sebelum Amerika menyerbu Filipina dalam tahun 1898, bangsa berbahasa Tagalok itu diperintah oleh hanya lima ribu orang Spanyol, empat ribu di antaranya pastor (bukan tentara).
Di Hindia Timur (Indonesia), 37-juta rakyatnya dibelenggu oleh 16-ribu serdadu Belanda totok dan 26-ribu tentara lokal yang berdinas dalam kemiliteran Belanda penjajah.
Alhasil Filipina memang mencerminkan suatu “kelembutan” kalau tidak hendak disebut kelemahan.
Sekarang saja Presiden Rodrigo Duterte, yang terpilih tahun 2016 untuk hanya satu masa jabatan selama 6 tahun, pernah angkat tangan dan mengaku tidak sanggup untuk menyelesaikan masa jabatannya sampai tahun 2022. Ia mengaku akan pensiun tahun 2020. Kita tunggu saja “tanggal mainnya”.
Masih mendingan Presiden Joko Widowo, yang biar pun “kerempeng” (ini istilah Megawati Sukarnoputri : biar dia kerempeng tapi dia Banteng), namun tetap tegar dan berhasil merebut masa jabatan kedua dalam pilpres 2019. Benar Jokowi pernah tidak menyelesaikan masa-masa jabatannya sebagai Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta, namun itu karena dia mengejar jabatan yang lebih tinggi – sebagai Walkot ia mengincar jabatan Gubernur dan ketika sebagai Gubernur ia tergiur oleh jabatan Presiden – bukan karena beliau letih atau tidak sanggup meneruskan.
Namun dalam hal “cari duit”, terutama di luar negeri, para tenaga kerja Filipina, diakui oleh bahkan mantan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo, jauh lebih hebat dan gesit.
Dikatakannya, para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri sanggup mengirim uang kembali ke Indonesia “hanya” sebanyak 8-miliar dolar (AS) setahun, sementara para pekerja Filipina mampu mengirim kembali sampai 28-miliar dolar setahun.
Jadi jangan anggap enteng sama “bangsa babu”.
Ada sebuah plaza di Singapura yang selalu ramai dengan para tenaga kerja Filipina. Kebanyakan mereka mendatangi agen-agen remitansi untuk mengirim uang ke sanak keluarga di Filipina, bukan khusus untuk belanja atau masuk restoran (di plaza ini ada warung Indonesia yang menghidangkan antara lain ayam penyet).
Sebenarnya kita pun sebagai bangsa Indonesia pernah dihina oleh seseorang dari Barat – tidak pasti apakah dari Belanda atau Jerman – yang menyebut bangsa Indonesia sebagai “a nation of coolies and a coolie among nations”. (Bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa).
Tetapi bukankah seorang kuli yang jujur jauh lebih baik dari seorang pamong praja yang korup atau komprador/kolobrator penjajah yang zalim?
Pujangga abad ke-18 Inggeris, Alexander Pope, pernah mengingatkan bahwa “honour and shame from no condition rise. Act well your part: there all the honour lies.” (Tidak ada kehormatan dan aib, yang penting adalah melaksanakan tugas dengan baik; di situlah semua kehormatan anda terletak).
Bangsa Inggeris bangga dengan pengakuan bahwa mereka bersemangat “bull dog” – anjing khas Inggeris yang tampangnya bukan saja sangat jelek melainkan juga menyeramkan. Konon seekor anjing jenis bull dog yang begitu kecil mampu mengalahkan seekor banteng yang sekian kali lebih besar dari dirinya. Bak kata orang kita, “kecil-kecil cabai rawit”.
Bagaimnana dengan julukan “bangsa tempe”?
Pimpinan Forum Tempe Indonesia baru-baru ini mengatakan:
“Kita harus bersyukur bahwa tempe baru saja diterima dan ditetapkan Indonesia sebagai warisan budaya nasional pada Oktober 2017 sehingga siap untuk maju ke UNESCO pada 2021 untuk mendapat pengakuan.”
Jangan anggap enteng sama tempe, Bung!
Wallahu a’lam. (Nuim Khaiyath, mantan wartawan/penyiar radio Inggris dan Australia, kini bermukim di Melboure)