Bermuka Dua
Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus
Munaf tiba-tiba saja merasa ada yang aneh. Kepalanya, di bagian belakang, bergerak-gerak. Kemudian seperti ada yang tumbuh. Untuk memastikan apa yang terjadi dia mengangkat tangan dan merabakan telapak tangannya ke kepala bagian belakangnya.
Dia kaget bukan kepalang. Munaf merasakan di kepala bagian belakangnya tak ada lagi rambut, berubah total membentuk wajah baru. Ada mata, ada hidung, ada kumis, ada mulut.
“Duh, kok saya bermuka dua?”
Dia berlari menuju toilet. Di depan cermin di ruang kamar kecil itu dia berkaca. Wajahnya masih seperti dulu, tenang, dengan kening mulai berlipat-lipat tanda ketuaan, dan terkesan lelah. Itulah wajah aslinya.
Lalu bagaimana dengan wajah kedua, atau wajah barunya? Munaf coba memutar kepala. Anehnya, kepalanya bisa diputar 180 derajat, dan kini kepala bagian belakang berada di bagian depan. Wajah barunya itu lebih muda, penuh senyum, optimistis, tak ada kerut di kening, bugar.
Munaf senang juga melihat wajah keduanya itu.
“Tapi apa kata orang kalau mereka tahu saya bermuka dua. Bagaimana ini,” katanya berbisik.
Dia mulai panik. Kepalanya kembali diputar, muka lamanya kembali berada di depan. Dia coba menegakkan kerah baju untuk menutup muka bagian belakang, tapi tak tetutup semua. Untung rambut di puncak kepala agak panjang, sehigga bisa jadi penutup.
“Ah, ternyata bisa diumpetin. Mudah-mudahan tak ada yang tahu,” kata hatinya.
Anehnya, dari dua wajah itu hanya wajah bagian depan saja yang berfungsi. Sementara muka di belakang otomatis tertidur.
Semula dia ingin pergi ke dokter.
“Tapi dokter apa. Apa mungkin ada dokter spesialis menangani manusia bermuka dua, wajah tumbuh? Lalu apa mungkin wajah baru ini bisa dihilangkan?,” hatinya bertanya-tanya.
Tengah berpikir keras-ketika memasuki ruang kerja, beberapa saat menjelang berpapasan dengan atasannya, kepala kantor-tiba-tiba saja kepalanya berputar sendiri. Kini wajah barunya yang berada di depan.
“Dari mana saja you? Saya berkali-kali menghubungi telepon di meja kerja you, tapi tak diangkat,” kata bosnya ketus.
“Oh, maaf Pak. Saya tadi di perpustakaan. Saya menyusun pembelaan untuk Bapak. Saya amat optimistis Bapak akan lolos dari jeratan yang disiapkan saingan Bapak,” katanya.
Munaf kaget. Wajah baru itu ternyata pintar bicara, ahli berkilah, membela diri. Dia makin heran, kenapa jadi begini?
“Kenapa wajah kedua ini tiba-tiba saja bisa mengambil alih.”
Meski begitu dia lega, selamat dari semprotan bos, Kepala Kantor Kas Kota, yang akhir-akhir ini uring-uringan karena tersangkut kasus skandal pembobolan keuangan negara.
“Kalau begitu buktikan Anda betul-betul loyal. Siapkan pembelaan secara maksimal. Tugas utama Anda lainnya adalah menghadapi nyamuk-nyamuk pers, para wartawan yang usil-usil itu,” kata Dion, sang bos.
“Baik Pak. Siap, semua akan beres. Jangan khawatir, semua akan saya amankan. Tenang saja Bos.”
Munaf kembali kaget mendengar jawaban yang keluar dari wajah keduanya. Bila dulu dia hanya bicara satu dua, menjawab sekenanya, kini nyerocos, tak ada sungkannya.
* * *
“Apa yang ingin Anda ketahui tentang Pak Dion? Saya siap membantu keingintahuan Anda semua,” katanya ketika berada di halaman kantor, saat dicegat para wartawan.
“Apa benar Pak Dion tidak melaksanakan perintah Pak wakil walikota, tidak mau memanggil pemadam kebaran ketika kantor kas kota ini kebakaran?,” tanya seorang wartawan.
“Ah itu kan wakil walikotanya saja yang nggak ada kerjaan. Kok lapor ke pihak pemadam kebakaran harus diatur-atur segala,” jawan Munaf.
“Apa betul saat kebakaran Pak Dion justru membobol kantor kas, menguras habis uang di kas kota. Dia mengambil kesempatan dalam kesempitan, kemudian berbagi dengan kepala bagian keuangan, para atasan, dan koleganya?”
“Itu hanya karangan. Kok duit kas kota hilang yang disalahkan Pak Dion. Seharusnya yang disalahkan bagian keuangan, orang-orang yang menjaga tempat penyimpanan uang itu. Lagi pula kantornya kan kebakaran, ya semua terbakar, termasuk uang yang ada di kantor kas.”
“Kalau begitu Pak Dion bersih?”
“Ya, Pak Dion difitnah. Dia kan berasal dari keluarga terhormat. Terkaya di desanya. Anak pensiunan pegawai negeri. Dia jujur, tak mungkin menjarah uang negara,” kata Munaf semangat.
“Nggak ada lagi yang mau bertanya?,” tanyanya.
Tak sampai satu jam, keterangan Munaf sudah keluar di berbagai media online dan televisi.
Karuan saja berita-berita yang mencuat membuat Dion terperanjat. Kali ini kaget karena senang. Dia langsung menghubungi telepon genggam Munaf. “Anda betul-betul ahli dalam menangani masalah. Saya ternyata salah perkiraan tentang Anda.”
Dion yakin besok pagi berbagai koran juga akan menurunkan berita dengan judul mencolok, “Dion Ternyata di Fitnah”, seperti kebanyakan judul di media online sore ini.
“Ah Bapak terlalu memuji. Apa yang telah saya lakukan, semua sesuai pengarahan Bapak.”
“Loh, loh. Anda jangan terlalu merendah. Apa yang Anda lakukan luar biasa. Semua berita berbalik menguntungkan saya. Terimakasih, terimakasih.”
“Apa yang telah saya lakukan? Saya langsung pulang begitu jam kerja selesai, begitu Bapak meninggalkan kantor.”
“Apa Anda tidak baca berita-berita online, atau mendengar berita di televisi sore ini? Semua memuji saya karena keterangan Anda. Wah, Anda jadi bintang hari ini. Terimakasih, sampai jumpa. Pokoknya bereslah, Anda terus pertahankan kinerja baik ini. Besok datang ke ruangan saya. Saya siapkan uang tunai, karena jika lewat transfer bahaya buat saya dan Anda.”
Munaf bingung apa yang telah dia lakukan. Begitu menonton televisi dia kaget sendiri, tampak dalam warta berita dirinya dikerubuti wartawan. Dia memberi keterangan soal Dion. Warta berita tentang keterangannya itu disiarkan beberapa stasiun televisi, berulang-ulang.
“Oh. Ini rupanya pekerjaan wajah baru saya.” Dia baru sadar, karena beberapa saat menjelang tiba di kediamannya tanpa disadarinya kepalanya berputar, dan dia kembali menjadi pribadi asli dengan wajah lama. Munaf tak ingat semua perbuatan wajah barunya, karena ternyata semua ucapan dan tindakan wajah baru tidak terekam dalam otaknya. Semuanya terlupakan ketika kembali ke wajah lama.
* * *
Munaf dengan wajah baru berubah 180 derajad. Dia tidak hanya lancar bicara, membela bosnya Dion, tetapi juga mampu mengambil hati beberapa pengkritik, pengamat, dan beberapa tokoh masyarakat di kota itu. Entah bagaimana caranya, apa kiatnya, yang pasti semua orang yang dihubunginya berbalik membela Dion. Padahal sebelumnya mereka getol minta aparat keamanan menangkap dan memenjarakan Dion.
Anggota Tim Pencari Kebenaran Bobolnya Kas Kota pun dibuatnya saling serang. Munaf, sosok yang tadinya terkesan pemalu, hanya pelengkap di perusahaan tempatnya bekerja, kini jadi ujung tombak. Tidak saja jadi kepercayaan utama Dion-sebagai staf khusus sekaligus staf ahli-tetapi juga menjadi harapan banyak orang. Sahabat orang-orang yang kebagian jatah hasil jarahan Dion.
Sebenarnya hati kecil Munaf, setiap dia kembali ke wajah lama, menyatakan Dion bersalah, karena dia sendiri ada di lokasi ketika kantor kas kota terbakar. Sebelum ruang penyimpanan uang terbakar, dia melihat Dion memerintahkan beberapa karyawan dan satpam memindahkan uang kas ke mobilnya, kemudian dia juga tahu uang itu dibagi-bagikan Dion kepada pejabat lain dan koleganya.
Tapi Munaf tak pernah kuasa mengungkapnya.
Setiap ditanya wartawan, juga baru-baru ini oleh tim pencari kebenaran, dia selalu dikuasai muka keduanya. Setiap memberi keterangan dan memberi kesaksian, tanpa disadari lawan bicaranya, kepala Munaf berputar sangat cepat, dan wajah keduanya mengambil alih perannya.
“Biang keroknya itu justru api. Kenapa api membakar kantor kas kota. Kalau tak ada kebakaran pasti uang kas tidak raib, nggak terbakar. Jadi jangan Pak Dion yang disalahkan,” katanya ketika ditanya tim pencari kebenaran.
“Pak Dion dan kepala keuangan seharusnya jadi pahlawan, karena musibah kebakaran hanya menghanguskan tempat penyimpanan uang saja. Bagian lain utuh.”
“Soal penolakan Pak Dion atas perintah wakil walikota agar segera memanggil pemadam kebakaran itu bagaimana?,” tanya salah satu anggota pencari kebenaran.
“Ah itu kan hanya soal prosedur saja. Buktinya Pak Dion menunjukkan bagian mana yang harus dipadamkan ketika petugas kebakaran datang.”
Meski ucapan dan alasan yang dikemukakannya kerap dianggap tidak etis, tidak beralasan, tak berdasarkan fakta dan aturan, bahkan sering ngawur, Munaf tak peduli.
Ketika Dion menanyakan apakah caranya itu tidak berbahaya, bisa berbalik menjadi senjata makan tuan, dengan entengnya Munaf membantahnya.
“Toh beberapa anggota tim pencari kebenaran sudah dikendalikan atasan Bapak. Anggota tim itu tak kalah ngawurnya setiap tim minta kesaksikan pada saksi-saksi dan ahli,” kata Munaf.
“Bila tim, penegak hukum, dan masyarakat makin bingung, kredibilitas Bapak semakin aman. Tidak sia-sia Bapak punya anak buah, sekaligus tim ahli seperti saya. Saya ini juru pengalih perhatian terbaik di kota ini. Jadi santai saja Pak. Ada Munaf,” katanya kepada Dion.
Setiap dikuasai wajah keduanya, Munaf berubah agresif, baik dalam sikap maupun perbuatan. Dengan wajah baru dia sering pergi ke cafe, tempat-tempat pijat plus, serta tempat-tempat plesiran di kota itu. Dia tak khawatir rahasianya terbongkar, karena orang-orang yang melayani di tempat-tempat itu juga bermuka dua. Bila kembali ke wajah lama, dia lupa semua perbuatan itu.
Setiap tampil dengan wajah keduanya, Munaf bisa melihat tidak hanya dia yang bermuka dua di kota itu, tapi banyak lainnya. Munaf juga kerap melihat di layar televisi, dalam pertemuan penting di Jakarta-rapat para penentu kebijakan di pemerintahan, rapat-rapat petinggi di kementrian, dan rapat di gedung dewan-ternyata diantara pesertanya ada juga yang bermuka dua. Bahkan ada yang memiliki kuping lebih dari sepasang, dan berkepala dua, sehingga yang bersangkutan kerap mempertaruhkan kuping atau kepalanya untuk membela seseorang. Ada pula yang memiliki lidah panjang, menjilat apa saja. Bahkan ada yang bertingkah tengil, setiap omongannya kacau, selalu menyakiti lawan bicaranya.
Bagi Munaf makin banyak orang-orang bermuka dua, orang-orang kacau-bicara suka-suka, dianggap arogan, asal ngomong, dan bikin orang kesal, ngawur-itu akan menguntungkan orang-orang seperti Dion. Dia tahu, itu dibutuhkankan Dion-Dion lainnya, para pejabat yang korup.
Namun setiap pulang, setelah dia kembali ke wajah lama, Munaf jadi bingung. Dia sering cemas, karena hubungan rumah tangganya menjadi kacau, terutama dengan istrinya.
Masalahnya setiap istrinya minta jatah. Dia selalu menolak. Bukan karena lagi tidak mood, tapi khwatir kedoknya terbongkar. Persoalannya, setiap melaksanakan tanggung jawab yang satu itu, istrinya kerap memegang kepala bagian belakangnya. Bila itu yang terjadi, rumah tangganya akan geger, istrinya akan shock. Padahal Munaf sendiri sering tak mampu menahan desakan dari dalam.***
Mampang, awal Januari 2010, tjunti@yahoo.com
Ilustrasi: Repro www.islampos.com