Thursday, November 21, 2024
Home > Featured > Bulan di atas Guci, Puisi A.R. Loebis

Bulan di atas Guci, Puisi A.R. Loebis

Bulan di atas Guci. (depositfoto)

 Malam ini di Pegandengan Bumi Jawa

Kutelan butir-butir kehidupan itu

Bersama dua bulir awan di cawan basah

Berasal dari petak tengah

Melewati derit jembatan

Penghubung tebing ngarai menganga

Sebelumnya tengadah dan sujud

mengupas langkah

Temeram malam

Dalam seduhan cairan warna

Di balik senyum rembulan

Merekah di peraduan beralaskan syair suci

 

Bulan di atas Guci

Mengajak menari

Tak usah khawatir

Menari tak selalu dengan tangan dan kaki

Bisa juga dengan hati

Bahkan tanpa gerak dapat lebih gemulai

Karena langkah dalam makrifat

tertata tanpa beranjak dari injak aku ku

 

Bulan di atas Guci

Malam ini tiga penari tua

tersentuh mengikuti alun senandung cinta

Yang semburat dari nadi sukma

Menari di bawah bayang sinar rembulan

yang memantul dari denyut jiwa

mereka kini seolah dialiri setrum lakon mbiyen

mereka bergerak menari kasat mata

pentas itu milik mereka

jadi lakon sekaligus dalangnya

di pentas mereka itu

tampak dari balik layar

atau mungkin dalam layar

seorang wanita melenggok

rambutnya bergerai berombak

dari tepi panggung menuju tengah pentas

geraknya semampai lengannya melambai

pinggulnya bergetar seperti penari serimpi

dari kejauhan mengalun petik dawai

eh..layar memperjelas, dia tidak lagi muda

rambutnya memutih buku jarinya berkerut

tapi gerakan jemarinya lihai sekali

jentiknya berkelak kelok

seperti sedang melukis di ruang hampa

sesekalii menghentak seperti jangka

dengan tumpuan di sikunya

kerut di jemari dan lengannya seperti hilang

akibat gemulai dan jentik hentak yang dimainkannya

ah..tiga penari tua tadi terpana

sesaat mereka mematung terpesona

sayang, penari gemulai itu berada di balik layar

atau jangan-jangan di dalam jahitan atau lipatan layar

sehingga tak tampak bentuk asliya

layar mengaburkan fisiknya

padahal suara kendang mulai bertalu

dentamnya mendayu, iramanya sahdu

dari balik sinar rembulan

yang sesekali redup

saat ada benda melintas menutup pandang mata

mungkin kelelawar keluar sarang atau masuk kandang

karena ia salah satu pemilik malam

Sang Pencipta mengatur ritme hidupnya

 

Bulan di atas Guci

Cahayanya semakin tinggi

Tiga penari tua seolah tak sabar menanti

Lengan ketiganya lambat laun mengembang

Bergerak perlahan mengikuti sepoi angin

Sinar bulan pecah di ubun mereka yang beruban

Kelak-kelok pergelangan dan sikut mereka gemulai

Sesekali patah-patah seolah sedang marah

Tak lama kemudian menguncup

Menoreh makna dan menyirat arti

Mereka transenden menyikapi penari wanita tadi

Yang menghilang entah sudah dimana

Jemari mereka menusuk balon angkara murka

Yang betgelantungan di sekitar wujud mereka

Semua berpecahan kecuali kidam baqa

Ketiga penari tua iti terus menari

Mencoba memberi arti

Ada itu tiada dan tiada itu ada

Ah, bulan semakin tinggi

Semburat cahayanya

Seperti cat perak memoles alam

 

Bulan di atas Guci

Aku terlena di Pegandengan

Menerawang hingga subuh

menoleh ke empat penjuru angin

teman-teman bergelimpanga

mereka nyenyak di tepi perapian

tak seorang pun melihat ada pentas tari

ya..menari tak selamanya pakai tangan dan kaki

ada yang menari dengan hati

dan akan tampak

bila memandangnya juga dengan hati.

 

Bulan di atas Guci

Datanglah sesekali

Membasuh jasad dan hati

Ketika purnama mampir di tempat ini

Saat Guci dibasuh cahaya rembulan

Melihat tarian hati dengan mata hati

Duh Gusti..tak ada yang bisa kami sombongkan

Kecuali rasa syukur tak terpadamkan.

oOo

Guci, 17102024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru