Malam ini di Pegandengan Bumi Jawa
Kutelan butir-butir kehidupan itu
Bersama dua bulir awan di cawan basah
Berasal dari petak tengah
Melewati derit jembatan
Penghubung tebing ngarai menganga
Sebelumnya tengadah dan sujud
mengupas langkah
Temeram malam
Dalam seduhan cairan warna
Di balik senyum rembulan
Merekah di peraduan beralaskan syair suci
Bulan di atas Guci
Mengajak menari
Tak usah khawatir
Menari tak selalu dengan tangan dan kaki
Bisa juga dengan hati
Bahkan tanpa gerak dapat lebih gemulai
Karena langkah dalam makrifat
tertata tanpa beranjak dari injak aku ku
Bulan di atas Guci
Malam ini tiga penari tua
tersentuh mengikuti alun senandung cinta
Yang semburat dari nadi sukma
Menari di bawah bayang sinar rembulan
yang memantul dari denyut jiwa
mereka kini seolah dialiri setrum lakon mbiyen
mereka bergerak menari kasat mata
pentas itu milik mereka
jadi lakon sekaligus dalangnya
di pentas mereka itu
tampak dari balik layar
atau mungkin dalam layar
seorang wanita melenggok
rambutnya bergerai berombak
dari tepi panggung menuju tengah pentas
geraknya semampai lengannya melambai
pinggulnya bergetar seperti penari serimpi
dari kejauhan mengalun petik dawai
eh..layar memperjelas, dia tidak lagi muda
rambutnya memutih buku jarinya berkerut
tapi gerakan jemarinya lihai sekali
jentiknya berkelak kelok
seperti sedang melukis di ruang hampa
sesekalii menghentak seperti jangka
dengan tumpuan di sikunya
kerut di jemari dan lengannya seperti hilang
akibat gemulai dan jentik hentak yang dimainkannya
ah..tiga penari tua tadi terpana
sesaat mereka mematung terpesona
sayang, penari gemulai itu berada di balik layar
atau jangan-jangan di dalam jahitan atau lipatan layar
sehingga tak tampak bentuk asliya
layar mengaburkan fisiknya
padahal suara kendang mulai bertalu
dentamnya mendayu, iramanya sahdu
dari balik sinar rembulan
yang sesekali redup
saat ada benda melintas menutup pandang mata
mungkin kelelawar keluar sarang atau masuk kandang
karena ia salah satu pemilik malam
Sang Pencipta mengatur ritme hidupnya
Bulan di atas Guci
Cahayanya semakin tinggi
Tiga penari tua seolah tak sabar menanti
Lengan ketiganya lambat laun mengembang
Bergerak perlahan mengikuti sepoi angin
Sinar bulan pecah di ubun mereka yang beruban
Kelak-kelok pergelangan dan sikut mereka gemulai
Sesekali patah-patah seolah sedang marah
Tak lama kemudian menguncup
Menoreh makna dan menyirat arti
Mereka transenden menyikapi penari wanita tadi
Yang menghilang entah sudah dimana
Jemari mereka menusuk balon angkara murka
Yang betgelantungan di sekitar wujud mereka
Semua berpecahan kecuali kidam baqa
Ketiga penari tua iti terus menari
Mencoba memberi arti
Ada itu tiada dan tiada itu ada
Ah, bulan semakin tinggi
Semburat cahayanya
Seperti cat perak memoles alam
Bulan di atas Guci
Aku terlena di Pegandengan
Menerawang hingga subuh
menoleh ke empat penjuru angin
teman-teman bergelimpanga
mereka nyenyak di tepi perapian
tak seorang pun melihat ada pentas tari
ya..menari tak selamanya pakai tangan dan kaki
ada yang menari dengan hati
dan akan tampak
bila memandangnya juga dengan hati.
Bulan di atas Guci
Datanglah sesekali
Membasuh jasad dan hati
Ketika purnama mampir di tempat ini
Saat Guci dibasuh cahaya rembulan
Melihat tarian hati dengan mata hati
Duh Gusti..tak ada yang bisa kami sombongkan
Kecuali rasa syukur tak terpadamkan.
oOo
Guci, 17102024.