Thursday, December 12, 2024
Home > Berita > Bumi Semakin Panas, Ancaman Krisis Pangan Bukan Isapan Jempol

Bumi Semakin Panas, Ancaman Krisis Pangan Bukan Isapan Jempol

Cuaca makin panas. (Foto: File BMKG)

Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol. Kencangnya laju perubahan iklim berdampak pada ketahanan pangan nasional akibat hasil panen menurun hingga gagal tanam.

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, seperti dikutip dari bmkg.go.id.  Dia menyebut; “Suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat celsius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi,” ungkap Dwikorita dalam Focus Group Discussion (FGD) Perhimpunan Agronomi Indonesia di Jakarta, Kamis (6/7).

Dwikorita mengatakan, bencana kelaparan sebagaimana yang diprediksi organisasi pangan dunia FAO akan terjadi di tahun 2050 adalah ancaman nyata. Situasi ini bukan hanya menjadi ancaman bagi Indonesia atau terbatas negara-negara berkembang saja. Melainkan seluruh negara-negara dunia menghadapi ancaman yang sama jika tidak ada langkah kongkrit untuk mengatasi krisis iklim.

“Tahun 2050 mendatang jumlah penduduk dunia diperkirakan menembus angka 10 miliar. Jika ketahanan pangan negara-negara di dunia lemah, maka akan terjadi bencana kelaparan akibat jumlah produksi pangan yang terus menurun sebagai dampak dari perubahan iklim,” imbuhnya.

Dwikorita menuturkan, tidak sedikit yang beranggapan bahwa ancaman perubahan iklim dan krisis pangan belum terlalu terlihat di Indonesia, karena ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis Indonesia yang memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.

Namun, kata dia, jika situasi iklim global saat ini tidak direspon secara serius maka Indonesia bisa terlambat untuk mengantisipasi bencana kelaparan pada tahun 2050. Ketahanan pangan nasional Indonesia, lanjut Dwikorita, dihadapkan pada tantangan besar berupa kenaikan populasi penduduk di tengah produksi pangan yang cenderung stagnan.

Ketahanan Iklim

Dwikorita juga mengatakan bahwa jika tidak ada intervensi kebijakan, potensi kerugian ekonomi di Indonesia (2020-2024) mencapai angka Rp544 triliun akibat dampak perubahan iklim. Maka dari itu, kebijakan ketahanan iklim menjadi salah satu prioritas yang dinilai mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar Rp281,9 triliun hingga tahun 2024 mendatang.

“Dalam RPJMN, BMKG diberikan mandat untuk mendukung peningkatan kualitas lingkungan hidup dan peningkatan ketahanan bencana dan iklim. Hal ini sangat penting karena berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana diperkirakan mencapai rata-rata Rp22,8 triliun per tahunnya,” ujarnya.

Dwikorita menegaskan, BMKG terus melakukan berbagai lompatan sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tidak hanya di sisi teknologi, namun juga di sisi sumber daya manusia (SDM) yang terus diupgrade sesuai tuntutan dan kebutuhan yang semakin kompleks.

Data dan informasi yang dikeluarkan BMKG tidak hanya dibutuhkan untuk urusan penanggulangan bencana alam saja, namun juga kesehatan, konstruksi, energi pertambangan, pertanian kehutanan, tata ruang, industri, pariwisata, transportasi, pertahanan keamanan, sumber daya air, hingga kelautan perikanan.

“Khusus di sektor pertanian, BMKG terus melakukan penguatan literasi iklim dan cuaca kepada para petani dan penyuluh pertanian sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sekolah lapang iklim (SLI) terus digelar di seluruh penjuru Indonesia dengan menyasar berbagai komoditas unggulan pertanian,” tuturnya.

Dwikorita menambahkan, informasi kondisi iklim terkini dari BMKG telah digunakan sebagai salah satu referensi atau bahan pertimbangan pengambilan keputusan serta rekomendasi dalam sistem pemantauan ketahanan pangan nasional. Data dan informasi tersebut berupa anomali iklim global, monitoring kondisi iklim, dan prediksi iklim.

“Informasi tersebut dapat dijadikan referensi awal untuk menentukan status ketahanan pangan nasional. Apakah berada pada kategori aman, waspada, siaga, atau awas,” katanya.***(edy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru