SUDAH hampir setengah abad sejak Piso Surit pada tahun 1960 dan Turang pada tahun 1958, baru tahun ini muncul satu film kisah cinta remaja dengan latar belakang etnik Karo. Diangkat dari novel karya Muhamad Tempel Tarigan dengan judul yang sama film Jandi La Surong (Janji yang Tak Terwujud) ditangani sutradara Ori Samloko, dengan dua aktor utama Femila Sinukaban dan Arjuna Ginting.
Setting film ini adalah sebuah kampung bernama Tiga Nderket yang secara administratif berada di Kecamatan Payung, terletak di tepi Gunung Sinabung. Karena disebut sebagai kisah hidup si penulis maka ceritanya terjadi di sekitar tahun 1970-an ketika gelombang pemuda-pemudi Karo pergi ke Jawa untuk meneruskan kuliah, dengan kota favorit Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta.
Eksodus yang menghasilkan cerita pilu, putusnya jalinan cinta dua remaja yang semula memadu kasih dan ingin berujung pada perkawinan. Bagi mereka yang berusia 50 tahun ke atas, suasana yang tergambar di film ini akan membawa kenangan ke masa lalu, khususnya mereka yang merantau. Ke Jawa. Khususnya lagi mereka yang kemudian menemukan jodohnya di negeri orang.
****
Film ini bercerita tentang tokoh laki-laki bernama Tempel, yang disebut juga dengan panggilan Mama Tigan yang menandakan dia bermarga Tarigan. Sementara perempuan hanya disebut Nande Ribu yang mengindikasikan dia bermarga Singarimbun atau bisa juga Bangun. Saat hendak berangkat ke Jakarta, Tempel berjanji ketika selesai nanti dia akan kembali dan menikahi si pacar. Tetapi baru tiga tahun ternyata dia sudah punya pacar baru dan membuat sang kekasih patah hati. Janji tidak menjadi kenyataan.
Empat puluh tahun kemudian saat menghadiri suatu acara pernikahan kerabat mereka bertemu lagi. CLBK begitulah kata orang sekarang, Cinta Lama Bersemi Kembali. Tetapi karena masing-masing sudah memiliki pasangan mereka hanya bisa mengenang, cinta di masa remaja yang penuh dengan keindahan. Tidak jodoh, cinta tetapi tidak bisa memiliki pujaan hati.
Cerita film memang sederhana sekali sesuai judulnya yaitu Janji yang Tidak Terjadi. Cinta seorang anak sekolah dasar sampai dengan masa remaja, yang ketika bersambut malahan kemudian dia yang meninggalkannya. Itu sebabnya ada rasa bersalah di hati Tempel.
Setting budaya Karo ditunjukkan dengan adanya adegan ertutur yaitu berkenalan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarmanusia Karo. Setiap manusia Karo saat lahir akan memiliki posisi sesuai dengan marga bapaknya, bapak dan ibu dari bapaknya, kemudian marga ibunya serta bapak dan ibu dari ibunya. Posisi ini menentukan julukannya dalam suatu pertemuan, sebagai Kalimbubu, Anak Beru, Sukut, misalnya. Jodoh juga terikat, meskipun ada mekanisme untuk penyesuaian misalnya karena jatuh cinta bukan pada seorang impal.
Lalu ada adegan menari muda-mudi yang biasa dilakuakn di berbagai acara adat, ataupun acara muda-mudi. Juga ada upacara memberi semangat anak yang akan pergi merantau dengan memandikan si anak dengan air ramuan dan doa-doa. Sebagai latar ada properti rumah adat Karo, serta bunyi serunai yang mengiring adegan demi adegan. Lalu budaya tidur di “jambur” oleh anak laki-laki di kampung. Dan kebiasaan menganyam tikar, juga kampil tempat sirih, bagi ibu rumah tangga untuk menghabiskan waktu.
Sebenarnya ada budaya menarik yang luput, yaitu biasanya seorang pemudi yang menyukai seorang pemuda, akan memberikan sarung sebagai pengikat cinta. Tidak ada adegannya, yang ada adalah memberi uis (kain tenun) sebagai pengingat ketika akan berpisah.
Properti kendaraan landrover sebagai kendaraan dari desa ke kota (Kaban Jahe, ibukota Kabupaten) terasa mengganggu karena kurang sesuai usianya dengan kondisi tahun 1970an. Begitu pula suasana terminal dan pasar, yang hanya divisualkan dalam bentuk kursi dari kayu di sekitar dan di bawah pohon mangga.
Suasana Tanah Karo Simalem, dataran tinggi yang subur, penuh sawah dan pepohonan juga kurang tercermin dalam film ini. Akan lebih indah apa bila ada penggambaran jauh dan dari atas saat mengilustrasikan adegan sepasang remaja yang sedang memadu kasih, selain wajah dekat dan suasana sekeliling saja. Mereka yang sudah lama tidak pulang kampung pasti merasa kurang puas..
****
Alur film ini datar dan praktis tidak ada konflik, meskipun akhirnya kedua remaja tidak jadi menikah. Ada saat dimana si gadis yang tinggal di kampung didekati seeorang pemuda, tetapi potensi konflik tidak dikembangkan. Begitu pula saat Tempel ditaksir rekan kampusnya, selesai begitu saja. Adanya konflik tajam tentu akan membuat alur cerita makin menarik dan mengaduk-aduk emosi.
Latar keluarga kedua tokoh utama juga tidak digambarkan dengan lengkap, sosok ayah dan ibu Tempel hanya sekilas, bahkan tidak ada gambaran keluarga Nande Ribu, sehingga kita tidak tahu siapa dia, kecuali dua teman sebaya dan tinggal di kampung Kutambaru. Bahkan juga tidak kita tahu siapa keluarga inti Tempel dan Nande Ribu ketika kemudian keduanya sudah berkeluarga.
Bisa jadi ini disengaja karena menyangkut “true story” untuk tidak menyinggung mereka yang masih ada. Sebetulnya diberi “fiksi” sedikit sehingga sutradara bebas mewarnai tokoh-tokoh utama akan membuat cerita film ini lebih hidup, berwarna, dan menarik. Khususnya bagi penonton umum yang ingin menyaksikan film kisah cinta yang berakhir dengan kegagalan.
**** (Hendry Ch Bangun, wartawan)