Oleh: Hendry Ch Bangun
Suasana ruang tunggu rumah sakit pagi itu ramai. Pasien dan keluarganya menunggu tidak jauh dari pintu bernomor, mulai dari nomor satu sampai belasan. Setelah diperiksa ada yang keluar membawa botol untuk diperiksa air seninya, ada pula yang ke bawah mengantar ke laboratorium, ada pula yang segera ke kasir.
Rumah sakit di Jalan Macalister, Pulau Pinang, Malaysia, ini tidak pernah sepi, kecuali tentu saja di hari libur. Dan pasiennya hampir separuh lebih orang Indonesia. Mayoritas dari Sumatra, entah itu Medan dan sekitarnya, atau Padang, Palembang. Tidak sedikit pula datang dari Surabaya, Bali, atau Jakarta, seperti dirinya yang hari ini berkunjung.
Dia datang untuk sekadar general check up, memeriksa seluruh fungsi tubuh di usia 60 tahun. Sebenarnya dapat melakukan itu di Tanah Air tetapi karena ada saran dari beberapa sahabatnya, Rudy pergi juga ke negeri jiran.
“Dokternya jujur dan objektif, tidak seperti di Jakarta yang belum apa-apa sudah menyarankan periksa ini-itu supaya peralatan rumah sakit yang dibeli dengan mahal, digunakan, kita bayar, jadi cepat lunas,” kata satu temannya.
“Dokternya enak diajak ngomong. Kita tanya apa saja dia mau jawab, nggak terburu-buru seperti pernah saya alami di kawasan Bintaro. Soal obat juga bebas, tidak memaksakan, mau pakai lama boleh tetapi dia beri catatan. Terus kalau kasih resep, silakan beli di Jakarta, gak harus di apotek rumah sakit itu,” tambah temannya yang lain.
“Kalau saya, susternya ramah dan membantu. Kita seperti menjadi tamu yang dihormati. Kalau kita bingung, dia segera menjelaskan, jadinya enak,” kata tema yang satu lagi.
Industrialisasi rumah sakit yang membuat kesan rumah sakit di Indonesia mata duitan, dokternya selalu buru-buru, tidak manusiawi, hanya berpihak pada yang punya duit, sering dibantah pejabat kementerian kesehatan dan kalangan dokter. Tapi bahwa ada ribuan orang yang pergi berobat tiap bulan ke Singapura dan Malaysia, membuktikan besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap rumah sakit kita.
Ke Pulau Pinang, atau populer dengan Penang, penerbangan langsung dari Medan, Jakarta, banyak sekali. Jadi dalam sehari bisa mengangkut seribu orang, belum lagi yang transit di Kuala Lumpur. Dan umumnya mereka datang untuk berobat, meski ada juga yang bertamasya.
Duduk di antara pasien, Rudy bercakap-cakap dengan beberapa orang yang juga menunggu.
“Aku cuma ngecek aja ke sini, untuk mengetahui kondisi badanku,” kata seorang nenek berusia 65 tahun asal Medan yang datang ditemani cucunya. “Suamiku kena Hepatitis C, bolak balik selama dua tahun, sudah sembuh,” dia menambahkan.
Dia bercerita semua tempat wisata seperti Bukit Bendera, jembatan menyeberang ke Malaysia daratan, benteng tua, sudah dia datangi, biasanya setelah konsultasi dokter. Kalau berkunjung dia biasanya tinggal di kawasan Pasar Tikus, di mana banyak tempat penginapan seperti rumah disewakan bagi pengunjung manca negara.
***
Rudy kembali sore hari untuk membicarakan hasil pemeriksaaan laboratorium yang dia jalani tadi pagi. Selain diperiksa air seni dan darahnya, beberapa fungsi organ tubuhnya diperiksa dengan tes, yang antre tidak begitu banyak seperti tadi pagi.
“ Bapak Rudy sehat secara umum. Ada diabetes, bisa diatasi dengan meminum obat rutin. Saya menyarankan minum obat ini,” kata Dokter Subramaniam. sambil menuliskan sebuah nama obat paten, yang walaupun diminum terus ampasnya tidak akan mengendap di ginjal. Dijelaskan, tekanan darahnya normal untuk usianya, 80-130, begitu pula denyut jantung tidak ada masalah.
“Teruskan berolahraga rutin supaya kondisinya tetap baik.”
Dia merasa lega. Sejak awal dia merasa tidak akan ada masalah karena selama ini pun kalau diperiksa di general check-up di kantornya, rutin diadakan setiap dua tahun, tidak ada masalah kesehatan berarti. Kebiasannya berjalan kaki pada pagi hari, menggunakan transportasi umum supaya banyak bergerak, dan menjaga makan dengan banyak mengkonsumsi sayur dan buah, memberi efek pada kesehatan. Apalagi dia sudah berhenti merokok selama kurang lebih 15 tahun, tidak ada lagi jejaknya di paru-paru.
“Aku mau makan Nasi Kandar hari ini,” katnya dalam hati.
Rudy termasuk suka makanan India yang banyak bertebaran di kawasan tempat menginap. Dalam jarak 500 meter saja ada beberapa restoran dengan masakan India di kiri kanan jalan.
Di Restoran Pelita di Jalan Macalister dia masuk memesan makanan khas dengan bau rempah-rempah yang tajam. Minumnya tentu teh tarik, dengan es, yang terasa nikmati walau kadang terasa terlalu manis.
Sambil menyantap daging kambing, telur bulat, terong, dan menyeruput teh dinginnya, Rudy mensyukuri nikmat sehat yang masih didapatnya. Dia mengingat lagi teman-teman seusia yang sudah mendahului, kawan sesama wartawan yang sudah berpulang karena penyakit tertentu, atau yang keadaan kesehatannya kurang baik karena banyak bergadang, banyak merokok, dan tidak pernah berolahraga walau itu bidang liputannya.
Dia ingat perkataan seorang jutawan yang gila olahraga, kekayaan terpenting adalah tubuh sehat. Sekaya apapun kita kalau makan tidak lagi enak, melihat tidak lagi terang, berjalan tidak lagi normal, dan setiap saat mengelukan sakit yang menyerang, uang tidak ada lagi gunanya.
Seperti pasien-pasien yang ditemuinya di rumah sakit, yang sudah duduk di kursi roda, yang bergerak harus dibantu bahkan sejak naik ke pesawat untuk menuju Penang, uang yang dikumpulkan, akhirnya berakhir untuk membiayai perawatan di rumah sakit. Uang bergelimang yang dicari dengan susah payah seperti tidak lagi bisa dinikmati.
Dia lalu mengingat surat yang sering dibacakan pada saat salat berjamaah di masjidnya,” Nikmat apalagi yang kau ingkari.***