“Ada sesuatu yang ingin kukatakan”
“Aku sudah tahu”
“Dari siapa Enggit tahu?”
“Dari setiap bunga yang ada di sekeliling rumah ini”
***
Siang itu angin semilir setelah beberapa saat sebelumnya hujan tak begitu lebat berebut turun menyiram bumi. Kami sengaja agak ngebut membelah jalan di kota itu, karena ingin cepat sampai tujuan, dan tentu saja karena tidak ada kemacetan lalu lintas.
Tujuan kami ke Jalan Sukarno Hatta di Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka. Ada bangunan di situ, kerap dikunjungi orang, terutama wisatawan dari luar kota.
Kami sudah tiba. Di lahan cukup luas itu ada bangunan lama dan sebelum mencapainya kita melewati halaman luas berumput. Ada jalan lebar, tapi bukan untuk jalan kendaraan, karena semua alat angkut harus parkit di pelataran depan sebelum memasuki gerbang.
Di bagian depan, ada tulisan besar: Rumah Kediaman Bung Karno, Waktu Pengasingan di Bengkulu, 1938 – 1942.
Ya, di rumah ini lah Bung Karno mengutarakan keinginannya kepada Ibu Inggit Gunarsih, bahwa ia ingin punya anak kandung dan sebelum Bung Karno berbicara lebih panjang, terjadi lah dialog di atas, yang membuka cerita yang sedang Anda baca ini.
“Dari setiap bunga yang ada di sekeliling rumah ini,” kata Inggit yang biasa dipanggil Enggit, tentu saja perasaannya berkecamuk saat itu. Perasaan seorang wanita, ketika sang suami mengatakan ingin menikah lagi. Apalagi dengan alasan ingin punya anak.
“Terangkan dari siapa Enggit tahu,” kata Bung Karno dalam dialog mereka.
“Tidak perlu Enggit jelaskan. Yang penting apakah benar orangnya itu Fatmah, ?”.
“Ya benar Fatmawati, ” ujar Soekarno, menarik nafas panjang.
“Ya aku mau mempunyai anak. Anakku sendiri, keturunanku. Apakah Enggit izinkan Kus (Bung Karno) kawin dengannya,?”
“Astaghfirullah, mana mungkin. Ceraikan aku dulu baru Kus bisa kawin dengannya,” kata Inggit, seperti tertera dalam tulisan Cindy Adams.
Aku melangkah memasuki bangunan tua itu, setelah melepas sepatu, kemudian mengisi buku tamu. Aku pun memulai perjalanan lamunan sejarah dengan menuntas pandang ke seluruh ruang.
Ada ranjang besi, buku-buku mayoritas berbahasa Belanda. Ada pula baju seragam grup Tonil Minte Carlo asuhan Soekarno semasa di Bengkulu. Banyak foto Putra Sang Fajar itu bersama keluarga, menghias hampir seluruh ruangan. Paling mencengangkan, ada sepeda tua yang dahulu kala dipakai Bung Karno. Sekarang kita bisa duduk di belakangnya, seolah dibonceng Si Bung yang bertopi lebar.
Berdasar info, rumah itu dulu milik seorang pedagang Tionghoa bernama Lion Bwe Seng, yang disewa Belanda untuk tempat Soekarno selama diasingkan di Bengkulu. Soekarno menempati rumah itu sepanjang 1938 hingga 1942.
Pada 14 Februari 1938, Bung Karno bersama keluarga dibuang Pemerintah Kolonial Belanda ke Bengkulu. Di kota terasing itu – ketika itu – Soekarno ditemani istrinya Inggit Garnasih dan dua anak angkatnya, Ratna Djuami dan Kartini, dengan seorang pembantunya bernama Riwu.
Di kota kabupaten ini lah, di rumah pembuangan ini lah, cinta Soekarno berlabuh, tumbuh dan bersemi (Fatmawati Sukarno, The First Lady, tulisan Arifin Suryo Nugroho, 2010).
Begini kira-kira kisahnya:
Ayah kandung Fatmawati, Hassan Din – keturunan keenam dari Kerajaan Putrii Bunga Melur itu, berkunjung ke kediaman Bung Karno, yang saat itu dikenal sebagai salah seorang tokoh pergerakan yang disegani. Hassan Din dan istrinya Siti Chadijah, juga merupakan aktivis pergerakan nasional.
Hassan Din juga ingin mengajak Soekarno yang berpendidikan tinggi agar mau mengajar di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Hassan Din yang kala itu berprofesi sebagai pedagang sayur akhirnya bertandang ke rumah Bung Karno di Bengkulu.
Waktu pun berlalu sampai terjadi pertemuan mereka yang kedua, disertai Chadijah dan anak mereka Fatmawati.
Berdesir darah Soekarno, terpana pandangannya, menyaksikan Fatmawati yang cantik jelita, yang berdiri di hadapannya mengenakan baju kurung merah hati dan kerudung kuning dengan hiasan bordir.
Bung Karno langsung jatuh hati pada pandangan pertama, kendati Fatmawati baru berusia sama dengan anak angkatnya, Ratna Djuami. Karena harus melanjutkan sekolah dan mendapat didikan langsung dari Soekarno, pada Agustus 1938 Fatmawati mulai tinggal di kediaman Soekarno, sekamar dengan Ratna Djuami.
Jiwa muda Soekarno tetap bergelora dan ia memiliki perhatian khusus terhadap Fatmawati. “Aku senang dengan Fatmawati. Kuajari dia bermain bulutangkis. Kuajak berjalan-jalan di sepanjang pantai pesisir Bante Pandjang,” kata Bung Karno seperti diungkap Cindy.
Fatma memutuskan pindah ke rumah sang nenek yang tak jauh dari kediaman Soekarno.
Suatu ketika, anak Wedana Bengkulu menyatakan keinginannya untuk mempersunting Fatma.
Nah, kalau kisah ini merupakan cerita pendek atau novel, maka alur cerita mulai secara perlahan memasuki klimaks. Pemuda itu merupakan teman sekolah Fatma. Tapi Soekarno lah yang mengajari Fatma berbahasa Inggris, baik mengucapkan maupun menuliskannya.
Soekarno dan Fatma pun kerap bercanda ria sembari menyemai bunga. Fatma hobi dengan tanaman, kerap diajak Soekarno menata pot-pot bunga di depan rumah maupun di halaman belakang. Wuih, dada keduanya bergetar, iramanya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Benih-benih cinta keduanya semakin bersemi.
Hassan Din menyarankan agar Fatmawati meminta nasihat kepada Soekarno, bagaimana sebaiknya menghadapi lamaran pemuda itu. Apalagi Soekarno pun kebetulan akrab dengan Wedana Bengkulu alias orangtua pemuda tersebut.
Singkat cerita, Fatma pun dengan malu-malu minta nasihat pada Bung Karno.
Hal dramatis terjadi seketika. Soekarno menatap Fatma tajam-tajam, kemudian menundukkan kepala dan akhirnya angkat bicara. Tapi bukan nasihat yang keluar dari mulut Soekarno melainkan pernyataan cinta kepada gadis itu.
“Begini Fat sebenarnya aku sudah jatuh cinta padamu pertama kali aku bertemu denganmu waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali. Saat itu kau terlalu muda untuk menerima pernyataan cintaku. Nah sekarang inilah aku menyatakan cinta padamu Fat, ” katanya.
Bung Karno (arl)
Fatma terkesima, ia membisu seribu bahasa. Ia butuh waktu untuk menjawabnya, karena menolak atau menerima permintaan Soekarno sangat sulit bagi Fatmawati. Ia sadar, Soekarno telah beristri dan menjadi pantangan terbesar bagi Fatma jika harus menyakiti hati sesama kaumnya.
Fatmawati segera menceritakan pernyataan cinta Soekarno kepada ayah dan ibunya. Dara cantik ini bertekad jika pinangan Soekarno diterima, Fatma tidak mau jika harus berpoligami.
“Aku baru akan menyetujui apabila Bung Karno bercerai baik-baik dengan Ibu Inggit. Aku tidak dapat menerima poligami. Aku tak akan dimadu,” kata Fatmawati, (Arifin Suryo Nugroho, 2010).
Dalam kecamuk perang ketika itu, surat cinta Soekarno bertubi-tubi menyerang Fatma, termasuk ketika Soekarno akan meninggalkan Bengkulu menuju Padang, sampai akhirnya ia dibawa ke Jakarta.
Isi salah satu surat itu berbunyi, “..bersabarlah. Aku benar-benar mencintaimu. Kulihat dari pancaran sinar matamu, kau juga bersedia menjadi istriku. Bagi dua insan yang saling mencintai, kesabaran ibarat embun kerinduan sekaligus menjadi bukti kematangan iman kita”.
Walau amat sibuk dalam aktivitas pergerakan nasional, namun Bung Karno tetap
teingat dengan wanita dambaannya itu. Ketika ia tinggal di Pegangsaan Timur 56, keretakan rumah tangga dengan Inggit seakan melebar. Soekarno menceraikan dan memulangkan Inggit Garnasih ke Bandung karena tak mau dimadu.
Setelah melalui proses perjalanan cinta yang berliku selama empat tahun, Soekarno menikah dengan putri Hassan Din itu pada 1 Juni 1943, saat Fatmawati berusia 20 tahun dan Bung Karno 42 tahun.
Ketika meninggalkan bangunan di Jalan Sukarno Hatta Bengkulu itu, aku berbalik badan. Kupandangi halaman dan bagunannya dari kejauhan. Kisah dramatis sekaligus romantisme tiga anak manusia itu terjadi di situ: Bung Karno, Ibu Inggit dan Ibu Fatmawati.
Saya, rekan Djunaedi Tjunti Agus dan Nanang dari sekretariat PWI Pusat – diantar dan ditemani Ketua PWI Bengkulu Zacky Anthoni – meninggalkan rumah bersejarah itu.
Aku masih memalingkan wajah beberapa kali ke belakang, melihat bangunan “pembuangan” tempat cinta berlabuh – yang semakin mengecil kami tinggalkan -, hingga kami menghilang di tikungan jalan.
Di telingaku masih terngiang kata-kata hiperbola Ibu Inggit, yang kira-kira berbunyi : ..bunga-bunga di sekitar sini memberi kabar ada cinta bersemi di rumah ini..” (ar loebis)