Aku mencintaimu meski belum sempurna. Tetapi aku mencintaimu melebihi cintaku kepada yang lain. Hanya untukmu.
Kujalankan apa yang aku mampu. Kulakukan kewajibanku sekuat tenaga sepanjang waktu meski kadang tidak tepat waktu. Kukerjakan hal-hal yang mesti, hanya untukmu, bukan untuk meminta imbalan ataupun hasrat yang lain.
“Ingat ya. Bukan salat kita, bukan puasa kita, bukan haji kita, bukan sedekah kita, bukan tahajud kita, bukan zikir kita, yang kelak akan membawa kita ke surga. Tetapi rahmat Allah. Dan rahmat Allah itu kadang-kadang diberikan karena kita mengerjakan suatu hal yang menyenangkan dia, seperti memuliakan anak yatim, memberi makan tetangga yang miskin, menolong orang yang sangat membutuhkan, dan sebagainya, dan sebagainya, ” kalimat katib Jumat itu masih terngiang-ngiang telinga Hasan.
Sebagai orang yang pernah menjadi manajer sumber daya manusia di suatu perusahaan, Hasan merasa kalimat itu tidak cocok meskipun maksudnya benar. “Seharusnya dia menggunakan kalimat positif, agar tidak ada salah interpretasi,” katanya dalam hati. “Jadi mesti dimulai dengan mengatakan, selain melakukan yang bersifat kewajiban kepada Allah, kita tetap harus melakukan apa yang disukai Allah, yakni memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi sesama manusia dan alam semesta.” Tapi ya sudahlah. Barangkali, cara Ustad itu untuk menarik perhatian jamaah yang ikut salah Jumat, agar tersentuh.
Bagi orang yang berpikiran luas, berwawasan, tentu faham bahwa maksud Ustad itu memberi motivasi agar kita tidak hanya melakukan hal-hal yang bersikap wajib dan merasa terjamin bahwa itu cukup sebagai tiket ke surga. Tetapi melakukan hal-hal yang manusiawi, membantu sesama karena kita hidup di dunia nyata, dan kalau mampu harus ikut turun tangan, dan terus memupuk jiwa kemanusiaan. Hubungan sesama manusia, selain hubungan dengan Sang Pencipta.
Hanya saja bagi awam, ceramah itu seolah-oleh mengatakan, untuk apa melakukan kewajiban syariat kalau nanti itu tidak berarti apa-apa di hadapan Allah Subhana Wataala. Lebih baik fokus pada hal-hal duniawi saja. Kalau ada paku di jalan, singkirkan. Kalau ada anak kucing yang mengeong-ngeong kelaparan, diberi makan. Kalau jumpa tetangga, senyum. Ikut membersihkan saluran, ikut gotong royong, bermurah hati pada pengemis, dsb.
Dalam anggapan Hasan, menjalankan perintah agama merupakan dasar, wajib, harus dilakukan sebelum kemudian bergerak untuk bersikap sebaik-baiknya sesama manusia. Bahkan terkadang seperti pernah dia dengar dari ceramah Prof Quraish Shihab, kemanusiaan itu harus diletakkan di depan keagamaan. “Kalau ada tetangga yang kelaparan, Anda wajib menolongnya terlebih dahulu dibandingkan pergi Umroh,” katanya.
Dia lalu ingat bagaimana dalam salah satu cerita menantu Nabi Muhammad SAW, Ali bin abi Thalib, sampai hampir terlambat salat subuh, karena dia tidak ingin melewati nenek-nenek orang Yahudi yang berjalan di depannya karena menghargai orang tua.
***
Hasan sendiri merasa hidupnya jauh dari sempurna. Sebagai suami kadang dia masih suka marah dan bereaksi berlebihan apabila ada sesuatu yang kurang sreg dengan tindakan istrinya. Dia sering kesal apabila anak-anaknya tidak disipilin waktu, main game berlebihan, bangun tidur terlambat, termasuk telat salat ketika di rumah. Sebagai warga dia pun kerap malas bergaul karena merasa nanti pembicaraan malah menjurus pada gossip tetangga, membatasi datang ke pertemuan untuk hal yang bersifat penting saja.
Ingin dia menjalankan kewajiban sebagai umat beragama dengan taat dan sesuai aturan, tetapi kadang masih jauh dari apa-apa ketentuan yang ditulis di buku agama. Hasan berpegang kadang pada apa yang cocok dengan suara batinnya, malah suka yang sesuai seleranya.
“Berwudhu itu harus benar. Mula-mula basuh muka dengan kedua tangan, nah ibu jarinya membersihkan telinga, membasuh siku jangan terbalik harus dimulai dari tangan lalu ke siku…”
“Berdiri pada saat salah berjamaah, kakinya harus direnggangkan, kalau bisa menyentuh kaki Jemaah yang ada di sisi kiri dan kanan.”
“Sujud itu baru benar kalau tujuh tulang yang ada di tubuh kita menyentuh alas salat. Yaitu dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua jari kaki.”
Hasan coba mengikuti apa yang didengarnya dengan mencari referensi di buku ataupun artikel-artikel dari internet, karena ingin salatnya sempurna. Tetapi terkadang dalam mempraktikkan dia lupa apa yang telah dipelajari itu. Lagi pula kalau salat berjamaah di masjid, dia pun kerap melihat orang melakuan dengan caranya sendiri.
“Nanti yang dihitung itu sujudmu. Sujud adalah bentuk kepasrahan kepada Allah Swt, kita ini hanyalah makhlukNya yang bukan apa-apa dibandingkan dengann kekuasaan Sang Pencipta. Kamu bersujud, menunjukkan ketidak apa-apaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, itulah sikap yang benar, itu yang disukai Allah Swt,” dia dengar dari suatu ceramah.
Dia merasa setuju dengan pandangan ahli agama itu, karena pernah menonton di YouTube tentang seorang mualaf yang tadinya menekuni agama lain sebelum masuk Islam.
“Allah itu yang menciptakan seluruh Alam. Dia menciptakan kita. Menghamparkan bumi untuk tempat hidup, memberikan air hujan untuk menumbuhkan tanaman, menjadikan laut untuk kita layari dan manfaatkan isinya, menjadikan hutan dan gunung untuk kita nikmati. Apakah tidak patut kita bersujud ke bumi sebagai bentuk syukur dan terima kasih. Bukan hanya sekadar menundukkan badan. Itu tidak cukup, malah seperti arogan,” katanya.
Ada banyak sudut pandang dan cara menyampaikan betapa manusia ini hanyalah seperti butiran debu yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan eksistensi Tuhan Sang Pencipta. Tetapi yang penting adalah kesadaran itu sendiri, agar tidak sombong dan merasa apa yang didapatnya entah itu jabatan, kedudukan, status, kekayaan berlimpah, anak yang cerdas, dan pesona dunia lainnya, adalah karena kemampuan diri sendiri. Selalu ada campur tangan Yang Maha Kuasa dalam setiap usaha manusia, jadi jangan lupa bersyukur.
***
Berkaca pada dirinya sendiri, Hasan merasa bahwa mengerjakan kewajiban adalah bentuk dari rasa terima kasih kepadaNya. Menengok kembali masa kecilnya di kampung tinggal bersama nenek dan kakek, dia merasa takjub dengan apa yang didapatnya dalam kehidupan setelah tumbuh dewasa dan berkeluarga. Meskipun tidak kaya, hidupnya berkecukupan, mampu memberi pendidikan kepada anak-anaknya. Memiliki tempat tinggal yang memadai.
Dia bekerja di perusahaan yang baik, memiliki keluarga yang anak-anaknya berpendidikan baik dan kuliah di perguruan tinggi ternama. Dia memiliki rumah, kendaraan, dan gaji yang cukup. Tinggal di komplek yang diisi oleh warga yang relatif juga terdidik, memiliki ada yang baik, dan saling membantu.
Di pekerjaan adab bekerja dijalani penuh kekeluargaan. Saling membantu, bekerja sama, selalu mencari sifat baik dari kolega kerja, nilai-nilai perusahaan memungkin dia maju karena senior banyak menolong dan memberi pengetahuan yang dia harapkan. Praktis tidak ada persaingan tidak sehat, tidak ada saling sikut, apalagi fitnah, yang membuatnya senang bekerja selama 34 tahun sampai pensiun di usia 60 tahun. Temannya rata-rata orang baik, menunjukkan perilaku yang dapat diteladani, dan menginspirasi untuk dicontoh.
Badannya juga relatif sehat karena berusaha menjaganya sejak pertengahan usia, meskipun di saat muda kadang masih suka bergadang dan merokok. Tidak ada penyakit berarti dan mungkin karena pikiran yang mencoba terus positif, dia jarang stress, kecuali kalau melihat kondisi yang menurut Hasan tidak normal, kadang dia mendadak marah.
“Nikmat apa lagi yang engkau dustakan,” kata Hasan dalam hatinya mengingat surat Ar Rahman.
Itulah sebabnya dia terus bersyukur, mengucapkan rasa terima kasihnya dengan menjalankan kewajiban sebaik mungkin, dan menjalin hubungan sesama manusia sebaik-baiknya, dengan mencoba untuk terus memberi manfaat. Tidak mengecilkan hati mereka yang terpinggirkan, dan berusaha meringankan beban, menolong, membantu sesuai kemampuannya.
Hasan tahu, masih banyak kekurangannya. Dia tahu belum mampu menjalankan syariat sebagaimana yang sering dianjurkan mereka yang ahli dan mendalami agama. Baginya yang penting adalah berusaha dan terus berusaha.
“Cintaku mungkin tidak sempurna ya Allah. Tetapi aku mencintaiMu. Atas semua yang telah Engkau berikan. Berjuta-juta nikmat, rahmat, dan rezekiMu. Semua yang kulakukan tidak akan dapat membalas kebaikanMu, sampai Engkau memanggilku. Tapi terimalah apa adanya yang dapat aku berikan dengan setulus hati,” katanya sehabis salat tahajud, dengan mata yang basah. Dan dia merasa lega sudah mencurahkan isi hatinya.
Terdengar suara mengaji dari masjid di kejauhan. Panggilan membangunkan orang-orang yang tidur, mungkin karena kelelahan menjalani hidup yang berat, atau baru saja memejamkan mata karena baru pulang bekerja.
Ada banyak cara hidup manusia. Dan Hasan tidak ingin merasa paling taat atau benar. Dia hanya ingin bersyukur masih dapat menjalankan khittahnya sebagai manusia. Masih diberi waktu untuk berbakti kepada Sang Pencipta maupun sesama.
***
Ciputat, 22 Desember 2022