Dalam suasana libur Lebaran 2022 ini dan menyaksikan kemacetan luar biasa arus mudik, tiba-tiba saya teringat buku berjudul “Permasalahan Abad XXI: Sebuah Agenda (Kumpulan Karangan)”.
Buku setebal 202 halaman ini disunting Said Tuhuleley dan diberi pengantar oleh Dr. M. Amien Rais. Tentu saja tulisan para ahli dalam buku yang cetakan pertamanya Mei 1993 itu sangat penting dan menarik.
Salah satu tulisan yang masih sangat relevan untuk Indonesia saat ini adalah karya Dr. Soedjatmoko. Mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo yang sudah almarhum ini berjudul “Manusia Indonesia Menjelang Abad Ke-21 dan Persiapannya”.
Makalah ini semula akan disampaikan almarhum dalam kuliah umum di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) 21 Desember 1989. Tetapi beberapa jam sebelum makalah itu disajikan, Dr. Soedjatmoko meninggal dunia. Dengan demikian berbagai pemikiran almarhum dalam makalahnya seakan merupakan pesan terakhir yang layak disimak.
Mengawali makalahnya, almarhum yang merupakan salah satu intelektual terkemuka di negeri kita itu menulis begini, “Pada waktu akhir-akhir ini sudah diselenggarakan berbagai usaha untuk memikirkan masalah-masalah yang akan kita hadapi dalam pembangunan 25 tahun kedua, sesudah Pelita V sekarang ini.” Kalau dianalisis, kalimat “pembangunan 25 tahun kedua sesudah Pelita V sekarang ini”, ya kurang lebihnya adalah dewasa ini, tahun 2022 dan beberapa tahun berikutnya.
Mari kita simak alinea berikut dari tulisan almarhum tersebut, “Di dalam kuliah ini saya bermaksud menunjukkan bahwa tahap 25 tahun yang akan datang ini akan merupakan suatu masa penuh tantangan baru sama sekali, yang perlu dihadapi bangsa Indonesia. Maka usaha pembangunan kita nanti juga tidak dapat dianggap sebagai kelanjutan belaka dari garis-garis usaha yang telah kita lakukan dalam periode 5 Pelita pertama. Tahap kedua itu merupakan masa diskontinu, tak bersinambungan, yang memerlukan orientasi baru dan garis-garis kebijakan yang untuk sebagian penting baru juga. Dan semuanya itu tentu akan mempunyai dampak atas sifat dan sistem pendidikan kita.”
Jika dilihat dari masa kekinian, tentu saja istilah atau akronim Pelita sudah tidak revelan. Tetapi layak diyakini bahwa apa yang dipaparkan Dr. Soedjatmoko itu masih sangat relevan, dan kenyataannya kata pembangunan juga masih sering digunakan.
Beragam masalah
Dari segi kependudukan, Dr. Soedjatmoko saat itu menyebutkan, pada 2020 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 250 juta. Tanpa perubahan dalam pola distribusi penduduk, hal itu berarti bahwa jumlah penduduk Pulau Jawa saja pada waktu itu (2020) akan sama dengan jumlah penduduk di seluruh Indonesia sekarang ini (maksudnya 1989). Padahal kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang paling tinggi di Indonesia, –dan sudah terhitung di antara yang paling tinggi di dunia— sekarang pun sudah lebih dari 755 orang / km persegi, yaitu angka untuk tahun 1985.
Angka itu 250 juta (tahun 2020) yang disebutkan oleh Dr. Soedjatmoko itu mendekati kebenaran karena pada 2022 ini penduduk Indonesia lebih kurang sudah 270,3 juta dan separuh lebih di antaranya (153,54 juta) tinggal di Pulau Jawa. Kepadatan penduduk Pulau Jawa saat ini (menurut data Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Juni 2021) sudah mencapai 1.220 jiwa / km persegi (Banten), 16.937 jiwa/km persegi (DKI Jakarta), 1.345 jiwa / km persegi (Jawa Barat), 1.135 jiwa / km persegi (Jawa Tengah), 1.173 jiwa/km persegi (Yogyakarta), 858 jiwa / km persegi (Jawa Timur).
Dr. Soedjatmoko memproyeksikan penduduk Indonesia pada 2050 diharapkan akan menjadi stabil kurang lebih 350 juta. “Implikasi-implikasi keadaan itu sulit untuk dibayangkan semua, akan tetapi jelas akan berdampak atas semua aspek kehidupan manusia Indonesia,” kata almarhum.
Dampak dari besarnya jumlah penduduk Indonesia itu, menurut almarhum, maka muncul masalah sengketa tanah. Keperluan tanah untuk pertanian, industri dan permukiman, termasuk untuk keperluan rekreasinya, sudah bertabrakan terus, dan bakal meningkat frekuensi dan skalanya.
Swasembaga pangan yang pernah dicapai dan boleh dibanggakan, tidak dapat diharapkan akan dapat dipertahankan hanya dengan jalan ekstensifikasi dan intensifikasi pengadaan pangan. “Revolusi hijau kedua yang akan kita perlukan untuk menjamin pengadaan pangan kita, jelas harus bersifat suatu revolusi bioteknologi,” ujar diplomat yang akrab dipanggil Bung Koko itu.
Lagi pula belum tentu Pulau Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan dapat terus menjadi gudang beras untuk seluruh Indonesia. Kemungkinan besar ialah bahwa penanaman padi dan tebu akan harus dialihkan dari Pulau Jawa ke tempat-tempat lain di Indonesia karena Pulau Jawa lebih diperlukan untuk mengembangkan holtikultura dan menyelenggarakan industrialisasi daerah pedesaan.
Industrialisasi pedesaan itu, –berbeda dengan pandangan-pandangan lama tentang rural development—akan harus meliputi pembinaan sistem-sistem produksi terpencar yang menggunakan teknologi madya dan tinggi berdasarkan struktur-struktur sosial yang ada, baik di bidang pertanian maupun di bidang manufaktur yang lepas dari pertanian.
Menurut Bung Koko, sudah jelas bahwa masalah keadilan sosial makin lama makin menjadi masalah yang merisaukan. Betul, wajah kemiskinan di Indonesia sudah banyak berubah, namun kesenjangan antara golongan kaya dan miskin telah menjadi lebih besar.
Di samping itu proses akumulasi dan pemusatan modal sekarang berjalan dengan lebih deras, sehingga menimbulkan perbedaan tingkat hidup material yang mencolok ditambah dengan ketimpangan kekuatan ekonomi dan politik. Perlu disadari bahwa ada batas-batas kemampuan atau kesediaan masyarakat untuk menerima ketidakadilan. Keadaan itu yang paling jelas di Amerika Tengah sekarang ini (maksudnya tahun 1989), telah menelorkan istilah “social sustainability”. “Kita pun di Indonesia perlu memperhatikan batas-batas itu dan harus terus menjaga agar batas-batas itu tidak diterobos,” pesan Bang Koko.
Problem lainnya, menurut almarhum, adalah di bidang ketenagakerjaan, pemanasan bumi, dan dampak pesatnya perkembangan teknologi. Kemajuan teknologi ini juga mempunyai dampak lain. Karena dampak langsung teknologi atas kemampuan bersaing internasional suatu bangsa, maka yang dinamakan “comparative advantage” (keunggulan komparatif) suatu negara terhadap negara-negara lain berubah terus menerus.
Ciri dan kemampuan manusia Indonesia
Dengan latar belakang keadaan dan beragam persoalan global dan nasional itu, menurut Dr. Sedjatmoko, kita perlu menjawab pertanyaan, sifat-sifat dan kemampuan semacam apa yang harus dimiliki manusia Indonesia di masa mendatang? Diakuinya bahwa saat itu tidak mungkin memberi jawaban yang lengkap, tetapi sudah jelas ada beberapa ciri dan kemampuan yang diperlukan.
Pertama, manusia Indonesia harus serba-tahu, “well informed”. Dia harus menyadari bahwa proses belajar tidak akan pernah selesai; bahwa kita harus mampu memasuki era “life-long learning” di dalam dunia yang berubah terus menerus secara sangat pesat. Life-long learning itu akan membikin dia mampu memegang 2 atau 3 karier berturut-turut semasa hidup
Kedua, di samping itu dia akan harus mencernakan informasi yang banyak sekali, dan mampu mencernakannya secara tuntas. Hal itu memerlukan selain kemampun analisis yang tajam, juga kemampun besar untuk berpikir secara integratif dan konseptual. Hal ini juga akan memungkinkan dia untuk bereaksi cepat, dengan “response-time” pendek, suatu hal yang sangat perlu di dalam dunia yang terus berubah dan sangat kompetitif ini.
Ketiga, keadaan yang tidak menentu itu, juga meminta dari manusia Indonesia kemampuan untk menalar secara rasional, sehingga reaksinya tidak diliputi ketakutan dan tidak rasional. Kemantapan watak itu sering bersumber kepada iman atau kepercayaan yang kuat. Tetapi yang terpenting barangkali ialah kemampuan untuk bersikap kreatif terhadap tantangan baru, bersama dengan suatu kemampuan untuk mengantisipasi perkembangan dan berinovasi.
Keempat, manusia Indonesia juga memerlukan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, solidaritas nasional dan yang meliputi umat manusia seluruhnya, termasuk golongan-golongan yang lemah dan miskin dan generasi-generasi yang akan datang.
Kelima, dia juga harus peka terhadap batas-batas toleransi masyarakat terhadap perubahan sosial dan ketidakadilan.
Keenam, di samping itu dia harus memiliki harga diri dan kepercayaan diri pada diri sendiri, berdasarkan iman yang kuat. Hal ini akan memungkinkan kesanggupan untuk mandiri, untuk berprakarsa, berusaha sendiri dan bersaing; tetapi hal itu juga memungkinkan dia untuk berorganisasi dan bekerja sama dengan orang atau pihak lain baik di tingkat nasional maupun internasional, lepas dari perbedaan kebudayaan, ras atau agama.
Ketujuh, dia juga harus sanggup mengidentifikasi dimensi-dimensi moral dan etis dalam perubahan-perubahan sosial atau dalam pilihan teknologi; dan dia harus sanggup menalar secara moral (moral reasoning atau ijtihad) dan memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkapkan relevansinya untuk masalah dan perkembangan-perkembangan baru. *** (Penulis adalah wartawan senior)