Mimbar-Rakyat.Com (Jakarta) – Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Agustiawan tidak memenuhi panggilan, guna diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada tahun 2009.
“Dia sakit,” kata Direktur Penyidikan pada Pidana Khusus Kejaksaan Agung Warih Sadono memberi alasan atas ketidak-hadiran Karen, di Kejagung, Kamis (23/8) malam.
Namun kuat dugaan mangkirnya Karen karena khawatir dirinya akan ditahan. Bisa jadi, dia mengacu kepada pengalaman anak buahnya, Bayu Kristanto yang langsung ditahan di Rutan Kejagung usai diperiksa, pada Rabu (8/8) lalu.
Menurut Warih, pihaknya telah menerima surat izin sakit dari pihak Karen,tapj Warih enggan menyebutkan sakit yang diderita Karen.
“Saya tidak tahu sakitnya apa. Isinya, sakit dan belum bisa penihi panggilan tim penyidik,” jelas Warih.
Dia menjanjikan pihaknya akan menjadwal ulang pemeriksaan dan diperkirakan pekan depan sudah dapat dilakukan pemerilsaan.
“Pekan depan, yang bersangkutan sudah pulih dan kita jadwalkan lagi untuk diperiksa,” tukasnya.
Sesuai ketentuan perundangan, jika hingga panggulan kedua tetap mangkir tanpa alasan yang jelas, maka Kejagung dapat melakukan upaya paksa guna menghadirkan yang bersangkutan.
“Ini ketentuan perundangan,” tegas Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman secada terpisah.
Sebelum ini, dalam proses penyelidikan Karen sudah dua kali mendatangai Gedung Bundar Kejagung. Namum, dia selalu menghindar hingga tidak pernah dapat meminta keterangan satu kata pun. Dia dijadikan tersangka, baru 22 Maret 2018.
ATAS PERINTAH KAREN
Sebelum ini, Rabu (8/8) Kejagung telah menahan Mantan Pejabat Pertamina, yakni Bayu Kristanto dalam kapasitas Manager Merger & Acquisition pada Dirrktorat Hulu PT Pertamina.
Bahkan, Bayu yang dijadikan tersangka, 23 Januari 2018 sesuai surat Nomor: TAP-06/F.2/Fd.1/01/2018 menuding dirinya sebagai korban ulah Karen. “Saya hanya korban perbuatan Karen,” sebut Bayu.
Karen dijadikan tersangka, sejak 22 Maret bersama Chief Legal Councel and Compliamce Pertamina Genades Panjaitan dan Direktur Keuangan Frederik Siahaan. Ketiga tersangka baru dikenakan status pencegahan ke luar negeri sejak penyelidikan dan telah diperpanjang.
Kasus berawal , 2009, di mana Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10% terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai US$31 juta.
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari.
Praktiknta, Blok BMG hanya dapat bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Praktik ini bisa terjadi, karena diduga adapenyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris.
Akibat tindakan tidal profesional ini, negara dirugikan sebesar sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar. (ahi/dir)