Tuesday, April 01, 2025
Home > Cerita > Dari diskusi Forum Meja Panjang – Saling isi antara sastra dan jurnalistik, Catatan A.R. Loebis

Dari diskusi Forum Meja Panjang – Saling isi antara sastra dan jurnalistik, Catatan A.R. Loebis

Diskusi Meja Panjang di TIM. Pembicara Hendry Ch Bangun, Yusuf Susilo Hartono dan Mustafa Ismail. (arl)

Diskusi Meja Panjang ini diadakan di lantai lima Gedung Ali Sadikin, PDS HB Jassin, TIM Cikini, Jakarta, merupakan acara rutin setiap Jumat dan pada 27/10/23 mencuatkan tema menarik: Peran Sastra pada Jurnalistik dan Peran Jurnalistik Pada Sastra.

Apalagi yang berbicara merupakan pelakonnya (sastra dan media) yaitu Hendry Ch Bangun penulis puisi dan cerpen yang kini menjabat ketua umum PWI Pusat, didampingi Yusuf Susilo Hartono (wartawan, perupa, sastrawan) dan Mustafa Ismail (wartawan, sastrawan), ditambah moderator penyuka seni Rita Sri Hastuti yang saat ini sebagai salah seorang pengurus PWI Pusat.

Usai ketiga nara sumber berbicara, suasana hidup dalam dialog, apalagi floor diisi para tokoh seni dan sastra serta para mahasiswa dari berbagai jurusan. Ruangan menjadi arena olah pikir dan pengalaman serta saluran rambah cakrawala ilmu yang selama ini   terpendam dalam perpustakaan di kepala.

Hendry Ch Bangun yang didapuk sebagai pembicara pertama memberi gambaran secara umum bahwa semua wartawan bisa menulis berita tapi tidak semua wartawan dapat menulis cerita atau fiksi.

Hendry mengaitkan sastra dan jurnalistik lewat tokoh yang dikenal luas di kalangan tulis menulis, yaitu Ernest Hemingway (1899-1961, Mochtar Lubis (1922-204) dan Rosihan Anwar (1922-2011).

“Ketika ia sakit dan dirawat, ia naksir perawatnya dan ia mampu menuliskan rasa sukanya kepada perawat dalam cerita fiksi menarik,” kata Hendry,  ketika bertutur tentang sastrawan Amerika, Hemingway.

“Hemingway seolah hidup di antara reportase dan novel serta cerpen. Kisah-kisah yang dialaminya pada PD1 dan PD2 itu terjalin pada berbagai karyanya, sampai ia mendapatkan hadiah Pulitzer pada 1953 untuk novelnya yang fenomenal The Old Man and The Sea,” kata Hendry, yang sudah menerbitkan beberapa buku puisi dan jurnalistik.

Tentang Mochtar Lubis, Hendry melanjutkan, merupakan seorang pengamat sosial luar biasa dan mampu mengangkat pengalaman dan apa yang dilihatnya dalam reportase menarik, kemudian menuliskannya dalam bentuk cerita pendek dan novel yang tak kalah menariknya.

“Ketika ia masuk penjara karena kritiknya yang tajam terhadap pemerintah, ia tetap menulis dan menulis, umumnya berdasar fakta yang dilihat dan dirasakannya, ” ujar Hendry mengomentari Mochtar Lubis seraya menekankan betapa kuatnya hubungan antara fakta (jurnalistik) dan fiksi (sastra) pada setiap era yang dilalui para penulisnya.

Dengan meliput langsung berbagai hal termasuk perang, tambah Hendry, Mochtar menemukan inti paling dalam untuk penulisan fiksi dan Mochtar – yang pernah menolak penghargaan Magsaysay – itu pernah menyatakan bahwa inti karakter sastra itu adalah nurani.

Ini artinya, fakta dan fiksi itu saling terkait dan saling berperan, sama-sama berangkat dari nurani untuk mencari kebenaran, walau apa pun konsekuensinya.

Nah, H. Rosihan Anwar adalah tokoh pers, sastrawan, sejarawan, budayawan, yang amat aktif dan produktif menulis, termasuk menulis puisi.

“Walau pun bukan wartawan perang tetapi Rosihan Anwar sebagai wartawan tiga zaman ikut perjalanan dari Jakarta ke Yogya dan menyaksikan akibat perang begitu banyak ketidakpastian. Banyak orang masuk rumah sakit jiwa dan ia menuliskannya dalam esai-esainya,” tutur Hendry.

Seperti halnya Mochtar Lubis, Rosihan Anwar yang ikut membidani berdirinya PWI pada 1946, menulis dengan Nurani. Walau menerima banyak penghargaan termasuk Bintang Mahaputera III, tetapi ia tetap gigih mengkritisi roda pemerintahan yang tidak lazim bahkan hingga korannya Pedoman ditutup.

Berbagai karya sastra yang ditulisnya, merupakan ejawentah dari mencari kebenaran yang berpihak pada rakyat, sebagai pengamatan keseharian yang disaksikan dan dilaporkannya di saat menjalankan tugas sebagai wartawan.

”Reportase itu menjadi ilham dalam menuliskan karya fiksi yang pada dasarnya adalah mencari dan menuntut kebenaran dalam kehidupan sehari-hari,” kata Hendry.

Diskusi Meja Panjang di TIM, Jakarta/ (arl)

Realitas antarjaman

Yusuf Susilo Hartono  sebagai pembicara kedua mengawali sesinya dengan tiga pertanyaan, yaitu apakah realitas bahasa Indonesia hari ini, sama persis  dengan ci ta-cita Kongres Sumpah Pemuda ke-2 waktu itu (1928) dan apakah realitas “penderitaan” bahasa-bahasa daerah sebagai bahasa ibu di Indonesia saat ini, sesuai dengan bayangan pada waktu itu?

Pertanyaan berikutnya,  antara sastra Indonesia dan jurnalisme Indonesia, modal awalnya sama, yakni bahasa Indonesia, hasil Sumpah Pemuda. Lalu bagaimana dengan bahasa-bahasa daerah yang telah hidup berabad-abad sebelumnya di berbagai pelosok nusantara, dalam hubungannya dengan jurnalisme (di) Indonesia?

Kemudian pertanyaan ketiga, Bagaimana praktik saling mempengaruhi dan memperkaya antara sastra Indonesia dan Jurnalisme (di) Indonesia, di era diversifikasi dan konvergensi  masa kini.

Dari telusur historis yang dilakukannya,  Yusuf menarik kesimpulan, jurnalisme memiliki tanggung jawab sosial untuk memberdayakan masyrakat dengan memberikan informasi yang benar dan relevan . “Ini adalah inti dari pelayanan publik yang dilakukan oleh jurnalis,” katanya.

Ia mengingatkan, saat bersaing dengan berbagai media dan pendekatan baru, penting bagi sastra dan jurnalisme untuk menjaga prinsip masing-masing, karena terjadi reaiitas antarjaman. “Keduanya dapat saling melengkapi dan memberikan makna yang berharga dalam informasi dan ekspresi kreatif,” kata Yusuf yang sudah menerbitkan beberapa buku Kumpulan puisi dalam Bahasa Indonesia dan Jawa.

Sastra hari ini

Mustafa Ismail, wartawan dan sastrawan dari grup Tempo ini menyoroti masalah kekinian antara jurnalistik dan sastra, menyinggung personal yang terlibat di dalamnya.

Ia mengatakan di masa lalu orang berlomba-lomba menulis dengan baik agar dapat di muat di media besar – media target yang menjadi tujuan semua penulis.

“Dulu media mempengaruhi perkembangan sastra. Sekarang tidak ada lagi kurator yang bisa membuat orang menulis dengan baik. Harus dicari orng peduli pada sastra di media online agar sastra tumbuh secara kualitas bukan kuantitas,” kata Mustafa, kelahiran Aceh pada 25 Agustus 1971, yang menerbitkan beragam buku termasuk Kumpulan puisi tunggalnya Tarian Cermin.

Mustafa lebih jauh menekankan, saat ini banyak orang menulis karya sastra di medsos hanya berupa hiburan bukan lagi menunjukkan semangat tinggi. “Kritikus sastra sedang tidak ada. Yang ada kritik pesanan, atau menulis untuk tugas kuliah di kampus,” katanya,

“Banyak penulis sekarang tapi tidak cemerlang..ada juga sih Sebagian.  Padahal media berperan melahirkan penulis sastra. Karena penulis umumnya lahir dari media ketimbang panggung festival seni  sastra itu sendiri,” ungkapnya.

Dari diskusi ini, terlihat adanya jalinan benang merah hubungan antara jurnalistik dan sastra, kapan pun dan di mana pun, dilihat dari telaah karya para penulis sementara pada kedua karya berupa fakta dan fiksi itu didasari dari sumber yang bernama nurani.

Pada era diversifikasi-konvergensi yang dengan cepat mengubah dunia serta karakter manusia, inter-relasi antara sastra dan jurnalistik bisa jadi mengalami pergeseran nilai dan  untuk itu, perjalanan waktu yang akan menentukan.  (ooo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru