MIMBAR-RAKYAT,com (Jakarta) – Sepuluh kali ikut Piala Dunia Sepakbola, siapa bisa ? Ada. Dia adalah wartawan olahraga dari Jepang, namanya Hiroshi Kagawa.
Ketika Johan Cruyff memimpin tim Belanda berlaga lawan Jerman yang dikapteni Frans Backenbauer dalam balutan seragam putih di Olympiastadium Muenchen tahun 1974, itu adalah kali pertama Kagawa meliput Piala Dunia Sepakbola. Dan sejak itu sampai 2014 ia terus hadir kecuali pada tahun 2014, karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan.
Saat itu (1974) olehraga sepakbola di Jepang masih menenmpati urutan kesekian.Masih kalah dengan Rugby, bisbol, dan yang lain. Taetapi Kagawa yakin, bangsanya membutuhkan sepakbola untuk mengangkat harkatnya di mata dunia. Ia gigih meliput sepabola sebagaui cara untuk mermasyarakatkan olahraga ini membangun bangsanya.
Wajahnya keriput. Semua rambutnya sudah memutih. Namun, matanya masih bersemangat menyaksikan pertandingan di balik kacamata yang tebal. Pemikirannya kemudian dituangkan dengan pensil di sebuah kertas.
Demikian gambaran kegiatan Hiroshi Kagawa yang merupakan wartawan asal Jepang saat meliput Piala Dunia 2014. Dengan usia 89 tahun, ia menjadi wartawan tertua di Brasil.
Piala Dunia 1974 merupakan turnamen pertama bagi Kagawa sebagai jurnalis. Dia sudah sembilan kali berturut-turut meliput Piala Dunia. Dia sempat absen Piala Dunia 2010 karena kesehatannya yang memburuk. Namun, dia kembali untuk meliput Piala Dunia 2014 yang merupakan turnamen yang ke-10 baginya.
Pria kelahiran Kobe tahun 1942 tersebut sempat menjadi pemain dan sempat masuk dinas militer pada 1944, jelang berakhirnya Perang Dunia II. Kagawa bahkan sudah dilatih menerbangkan pesawat “bunuh diri” sebagai pilot Kamikaze. “Saya beruntung bisa melarikan diri,” katanya.
Setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Kagawa kembali berkecimpung dalam sepak bola. Ia yakin sepak bola bisa menyembuhkan Jepang yang sudah hancur.
“Sepak bola adalah sesuatu positif dan bisa membantu Jepang. Saya ingin Jepang menjadi bagian dari dunia yang lebih besar dengan sepak bola,” akunya.
Kagawa menemui kendala untuk mewujudkan keinginannya. Pascaperang, Jepang didominasi oleh bisbol yang diimpor oleh Amerika.
“Peminat sepak bola sangat sedikit kalah dengan bisbol, dan bahkan rugby. Kami orang Jepang dianggap terlalu kate untul bermain sepak bola.,” tutur Kagawa yang kemudian menulis untuk koran Sankei Shimbun di Osaka, sebelum menjadi managing editor Sankei Sports.
Dia memulai perjalanannya, pertama di Asia, dan kemudian ke luar negeri untuk “mengejar” sepakbola. Saat tiba di Jerman Barat pada 1974, itu adalah puncak dari perjalannya dan awal dari perjalanannya.
Sepak bola Jepang kemudian berkembang berkat berita-berita epabla yang makion gencar. Dia menjadi saksi saat Jepang lolos pada Piala Dunia 1998. “Kebanggan saya lebih besar daripada yang Anda bayangkan,” kenangnya.
Wartawan tua yang saat ini sebagai freelance telah melihat negaranya sebagai kebanggan Asia. Memproduksi super star dunia seperti Hidetoshi Nakata, yang sejenius Kazu Miura. Kagawa akhirnya bisa melihat Jepang menjadi bagian dari dunia sepak bola.
Meski Jepang terancam gagal lolos ke 16 besar Piala Dunia 2014. Kagawa cukup puas, Jepang telah menjadi masyarakat dunia berkat sepakbola. The Old Journalis never die. Wartawan tua itu tidak pernah mati semangatnya. (Ais)