MIMBAR-RAKYAT.Com (Jakarta) – Setelah diancam akan dilakukan upaya paksa, Mantan Dirut Pertamina (Persero) Karen Galaila Agustiawan memenuhi panggilan tim penyidik.
Namun usai pemeriksaan, tersangka kasus akuisisi ROC Oil Ltd (Australia) oleh Pertamina (Persero) ini tidak ditahan, seperti dua anak buahnya yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama.
Kedua anak buah Karen, adalah Mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederick Siahaan (FS), Kamis (30/8) sore sekitar pukul 04. 00 WIB dan Bayu Kristanto (Mantan Manager Merger dan Investasi (MNA) Direktorat Hulu PT Pertamina, Rabu (8/8).
“Benar, yang bersangkutan telah diperiksa tadi (di Gedung Bundar),” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman, di Gedung Bundar, Kejagung, Rabu (12/9).
Tentang belum ditahannya tersangka, Adi menyatakan Karen diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi dan bukan sebagai tersangka. “Saksi,” ujarnya membenarkan pertanyaan wartawan.
Sebelum ini, Direktur Penyidikan pada Pidana Khusus Warih Sadono sempat memberikan ancaman upaya paksa, jika pada panggilan ketiga Karen tidak memenuhinya. Dua kali panggilan, dua kali pula Karen mangkir.
SEMPAT DIANCAM
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai hal itu sebagai akal-akalan agar Karen tidak ditahan, seperti dua tersangka lainnya.
“Kejagung tidak boleh pilih kasih. Masak, sesama tersangka perlakuan berbeda. Padahal, Karen dua kali mangkir dari panggilan tim penyidik,” tukas Boyamin.
Selain ketiga tersangka, masih ada satu tersangka lain yang belum ditahan, yakni Genades Pandjaitan (Chief Legal Council a?d Compliance Pertamina), yang dijadikan tersangka bersama Karen dan Frederik, 22 Maret. Sedangkan Bayu, 23 Januari 2018.
TIDAK PROFESIONAL
Kasus berawal, 2009 saar Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) mengakuisisi saham sebesar 10% terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project ditandatangani, 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai US$31 juta.
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari.
Ternyata Blok BMG hanya dapat bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara cq Pertamina sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar. (ahi/d)