Mimbar-Rakyat.com (Sapporo, Jepang) – Eliud Kipchoge dari Kenya menjadi lambang sportifitas yang sempurna saat dia meraih emas Olimpiade Tokyo 2020, dalam lomba marathon yang melelahkan di Sapporo, Jepang, Minggu (8/8).
Eliud Kipchoge memperlihatkan masterclass dalam berlari untuk mempertahankan gelar Olimpiade dalam maraton putra di Olimpiade Tokyo 2020 tersebut. Pelari yang berlomba di Olimpiade keempatnya, melintasi garis finis di Taman Sapporo Odori dalam waktu dua jam delapan menit dan 38 detik.
Waktu yang diukirnya lebih cepat dari yang ia lakukan untuk memenangkan emas Olimpiade di Rio pada 2016. “Ini sangat berarti bagi saya, terutama saat ini,” kata Kipchoge saat memenangkan emas Olimpiade keduanya itu, seperti dikutip dari olympics.com/tokyo-2020.
“Tahun lalu sangat berat, (Olympic Games Tokyo 2020) ditunda. Saya senang panitia lokal yang membuat perlombaan ini terjadi. Ini adalah tanda yang menunjukkan kepada dunia bahwa kita sedang menuju ke arah yang benar – kita berada di transisi yang tepat ke kehidupan normal,” katanya.
“Saya dapat mengucapkan selamat kepada mereka karena mereka membuat Olimpiade ini terjadi,” katanya lagi.
Kipchoge, peraih perunggu di Athena pada 2004 dan perak di Beijing 2008 di nomor 5000m. Dia sudah memiliki satu set medali berkat emas maratonnya di Rio.
Tambahan untuk koleksinya ini adalah medali kelima Kenya dalam maraton Olimpiade putra sejak Olimpiade di Beijing pada 2008.
Dengan kemenangan ini, Kipchoge bergabung dengan kelompok pelari terpilih yang telah berhasil mempertahankan gelar maraton Olimpiade. Yang lainnya adalah Abebe Bikila dari Ethiopia (1960 dan 1964) dan Waldemar Cierpinski dari Jerman Timur (1976 dan 1980).
“Saya pikir saya telah memenuhi warisan dengan memenangkan maraton untuk kedua kalinya, back-to-back,” tambah Kipchoge. “Saya berharap sekarang dapat membantu menginspirasi generasi berikutnya.”
Peraih medali perak untuk marathon putra ini adalah Abdi Nageeye dari Belanda dan peraih medali perunggu Bashir Abdi dari Belgia.
Favorit Berguguran
Sang juara bertahan unggul satu menit 20 detik atas finisher terdekat berikutnya. Kipchoge adalah margin kemenangan terbesar dalam maraton Olimpiade sejak 1972 ketika Frank Shorter dari AS mengalahkan Karel Lismont dari Belgia di kandang dengan selisih dua menit dan 12 detik di Munich.
Perebutan medali perak dan perunggu berakhir dengan sprint finish. Abdi Nageeye dari Belanda mengungguli rekan latihannya, Bashir Abdi dari Belgia dan Lawrence Cherono dari Kenya untuk merebut perak dalam waktu 2:09:58.
Bashir Abdi selesai dua detik kemudian di 2:10:00, untuk perunggu. Cherono, pemenang maraton Boston dan Chicago pada 2019, terpaut dua detik di urutan keempat.
“Saya menyukainya. Saya tidak ingin menyebutkan nama tetapi banyak orang yang meragukan. Mereka tidak pernah percaya pada saya. Saya selalu percaya pada diri saya sendiri,” kata Nageeye.
“Saya adalah seorang pengembara, saya mengemasi tas saya dan berlatih di Prancis, Amerika, Ethiopia, Kenya.
“Orang-orang berpikir saya melakukan terlalu banyak hal (dengan pelatihan), tetapi saya terus percaya pada diri saya sendiri. Untuk berdiri di podium dengan (mantan rekan latihan) Eliud Kipchoge, yang terhebat sepanjang masa – kami masih berteman baik. Sungguh menakjubkan.”
Seratus lima pelari memulai lomba di Sapporo yang panas dan lembab mennyiksa, dan kondisi tersebut segera memakan korban, dengan banyak pelari papan atas dan favorit pra-lomba berguguran, gagal menyelesaikan lomba.
Stephen Kiprotich dari Uganda, juara London 2012 dan Ethiopia’ s Shura Kitata, juara London Marathon 2020, hanyalah dua dari pelari yang berjuang dalam kelembapan yang mundur pada 15 kilometer pertama.
Meski dalam kondisi yang melelahkan, Kipchoge, pemegang rekor dunia, tampak nyaman sepanjang pertandingan.
Dalam aksi yang mewujudkan semangat sportifitas terbaiknya, pelari Kenya ini meraup sejumla botol air dan es dari meja dan memberikannya kepada para pesaingnya di tahap awal lomba.
Dan di salah satu momen yang perlu diingat dari Olimpiade di Tokyo, Kipchoge hanya tertawa ketika berbenturan dengan Daniel Do Nascimento dari Brasil.
“Senyum itu adalah kebahagiaan,” kata Kipchoge, menjelaskan mengapa dia menyeringai selama lomba.
“Mereka bilang menikmati dunia ini berarti bahagia. Meskipun Anda senang, itu membantu Anda rileks dan menikmati lomba.”
Setelah mengalami kekalahan yang jarang terjadi di London Marathon pada tahun 2020, Kipchoge jelas seorang pria dalam misi dan tampaknya kembali ke performa terbaiknya. Pelari Kenya itu terus bergerak pada tanda 25km dan menambahkan doronga kecepatan untuk meregangkan kelompok pelari terdepan.
Kipchoge terus melaju dari kelompok pengejarnya, dan memiliki jarak lebih dari satu menit dengan tiga kilometer lagi sisa lomba. Saat mendekati garis akhir, Kipchoge terus membuat lomba terlihat mudah. Dia tersenyum dan melambai pada kerumunan kecil penonton yang berkumpul.
Dia bahkan menyempatkan diri untuk menyapa dan memberi selamat kepada rekan-rekan pelari maraton lainnya setelah dia melewati garis finish, lambang sportifitas luar biasa.***(edy)