Mimbar-Rakyat.com (Kuningan) – Menghadapi pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak Kabupaten Kuningan yang akan digelar pada 28 November 2021. Warga Blok Sukamulya Desa Cikupa, Kecamatan Darma, Meli Pemilia, mengatakan saat ini kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang saat ini sudah hilang.
“Itu adalah fakta. Pada setiap pemilihan di tingkat pusat hingga desa pun sama halnya. Tidak ada yang dianggap lebih “mendingan”. Semua yang berbau kontestasi politik tidak ada yang berbeda. Dimana ada pemilihan, di sana ada perjanjian. Bahkan untuk lingkup pemilihan kepala desa sekalipun,” tandasnya.
Menurutnya bisa jadi, tuntutan perjanjianya lebih serius, calon kepala desa yang merupakan tetangganya yang setiap hari bertegur sapa dan berbincang akrab, saat pemilihan bukanlah siapa – siapa. “Sosok dan kepribadian seolah tidak dikenalnya. Demi menjaga kepercayaan masyarakat dibuatlah perjanjian yang dikemas dengan istilah “kontrak politik,” tambahnya.
Dikatakan Melly, tak ada salahnya dengan strategi tawar menawar seperti itu, apalagi jika pemilih merasa lebih tenang, atau mungkin merasa yakin bahwa calon yang dipilihnya tidak akan melakukan sebuah kesalahan. “Hal itu dianggap sebagai sebuah solusi untuk menjaga kepercayaan. Pemilih bisa merasa lebih terjamin, juga merasa lebih modern, merasa lebih serius, atau bahkan merasa lebih kekinian. Terlebih jika janji yang ditawarkan teramat manis,” tambahnya.
Jika mau jujur, sambungnya, sebagai orang timur yang saling percaya, tentunya semua orang menginginkan calon pemimpin yg secara ikhlas dipilihnya agar dapat memenuhi ekspektasi yang sesuai dengan apa yang diharapkan. “Tanpa menjanjikan, ataupun dengan tuntutan. Bukankah pemimpin yang baik itu memberikan apa yang dibutuhkan rakyatnya, tanpa diminta sekalipun. Hanya barangkali saking banyaknya pemimpin terpilih yang amnesia maka disepakatilah keberadaan kontrak politik sebagai solusi atas penghianatan yg selama ini masyarakat terima,” tandasnya.
Melly menjelaskan salah satu alasan kenapa kontrak politik ini ditempuh adalah sebagai otokritik saja, tidak adanya kepercayaan pada calon eksekutif dan legislatif yg selama ini terpilih, termasuk diantaranya begitu rendahnya integritas para calon yg akan manggung, menjadi alasan dikuatkanya kontrak politik. “Soalnya, apalagi yg mereka tawarkan dan menggiurkan?,” tanyanya.
“Beberapa pandangan tentang efektifitas kontrak politik memang perlu dipertimbangkan. Tentu dengan perhitungan bahwa dengan kontrak politik mereka tidak akan menjalankan roda pemerintahan seenaknya. Akan tetapi sebagai bangsa indonesia yg selama ini menjunjung tinggi nilai – nilai nasionalisme, rasanya menjadi sebuah ironi jika kontrak politik ini menjadi satu-satunya cara mengikat kepercayaan masyarakat dalam pemilihan,” lanjut Melly.
Pihaknya merasa prihatin sebab saat ini sulitnya menemukan kader – kader bangsa yang pancasilais, lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.
“Jika kontrak politik ini sebagai upaya untuk meningkatkan kreatifitas berkarya seorang, maka perlu diberikan apresiasi. Akan tetapi jika hanya untuk meraih simpati dan dukungan sebanyak -banyaknya dari calon pemilih, maka resiko yang akan diterima melebihi dari sekedar gugatan atas kekecewaan,”ujarnya.
” Evaluasi ini tentu bukan saja untuk calon terpilih, akan tetapi bagi masyarakat pemilih yang ingin perubahan. Edukasi politik perlu diberikan bagi semuanya, agar pemilihan yg bermartabat bisa terwujud,” sambung Melly yang juga turut mendaftarkan diri sebagai calon kades Cikupa. (Dien)