Monday, September 16, 2024
Home > Cerita > Cerita Bale-Bale > Gelombang Makna (kehidupan tanpa koma), Oleh A.R. Loebis

Gelombang Makna (kehidupan tanpa koma), Oleh A.R. Loebis

Ilustrasi - Gelombang Makna/ (mr)

 Aku merasakan.

Angin mendesir perlahan daun bergoyang-goyang tubuhnya akar tunggal kokoh tancap di tanah kering kerontang sekali terasa siang ini. Siang ini panas terasa seakan ingin membakar kulit alam ageng dan jagat cilik yang hanya noktah tak tertangkap biji mata dari mana pun memandang karena seantero arah seperti tidak mau disaksikan pergerakan kiprahnya.

Pergerakan kiprahnya obyek hasil kerja mekanisme otak dan rasa kendati apakah ia punya otak atau rasa tapi ada gerak dari diam berkepanjangan dan goyangan kencang terus menerus yang membuat kiprahnya seperti subyek yang menetap di puncak bukit tinggi menjulang ke langit menembus awan berarak.

Awan berarak tak bertali tapi tak berarakan ke atas tanah karena keseimbangan dari pusat subyek bahkan ia tak jatuh walau pun arakan itu air yang dibakar matahari tapi tetap dingin di bawah ratusan derajat selsius seperti terlihat dan diumumkan saat menembusnya bersama besi berat yang dengan aneh dapat naik melesat dari kulit bumi.

Kulit bumi seperti bola dengan isi seperti menempel dengan air seperti lengket walau ia berputar sejak ada dari tiada berkepanjangan seperti awan tergantung satu dari ribuan bola yang bergantungan di alam yang tak bertepi. Alam yang tak bertepi rahasia yang tak terbongkar dari yang memiliki karena ada tirai abadi yang menutupi batas akal bahkan rasa dari makhluk yang memiliki kemampuan luar biasa dari alat sebesar bola kecil yang ada dalam kepala,

Bola kecil yang ada dalam kepala menciptakan segala guna pada gerak membangun gedung mencakar langit menembus atmosfer bumi mencari gerak pada ribuan bola yang bergantung di alam tak bertepi dalam usaha mencari makna di fana ini tapi dapat pula berbalik menusuk musnahkan gerak lain bahkan gerak sendiri.

Gerak sendiri dapat menjadi tangga ke ujung langit ke puncak  jangkauan rohani sekaligus dapat turun ke kedalaman inti gerakan yang duduk diam di alam tak berdasar.  Alam tak berdasar dan ujung langit ke puncak dapat menjadi tujuan dari pemikiran gerak yang mengusung harkat tapi juga bisa mengubur makna hakiki dari gerak.

Makna hakiki dari gerak titik ke titik pada otak pada rasa yang bersilaturahim dengan titik titik gerak lain otak lain rasa lain membuncahkan ikatan menyimpul alam mengunci gerakan sehingga gerakan itu sendiri adalah diam yang terus bergerak karena nyala keberadaan berada pada posisi menyadari tentang ujung jangkauan dan kedalaman inti tak berdasar yang menyertai kehidupan manusia.

Kehidupan manusia Sirulloh satunya roh dan alam empat bulan dalam kandungan pamitnya roh dan jasad ke kandung tanah bermulanya alam gerak ke alam diam kegelapan lorong panjang membuka pintu janji kehidupan subyek di puncak bukit menjulang ke ujung langit mengawali gerak baru seperti angin mendesir perlahan  daun bergoyang-goyang.

Ia merasakan.

Gelap dunia ini tapi aku melihat dan merasakan gerak. Dunia? Ya ini duniaku alamku yang akan kembali ke alam jenjang demi jenjang yang tak terlihat dengan mata tiap alam dengan ketajaman pandang apa pun.

Ketajaman pandang apa pun yang merasa hanya bunda semata wayang yang memiliki sayang menimang sejak dalam hingga luar kandung yang mengajar mengajak menjadi gerak makna abjad aksara seperti Jibril terhadap Adam yang hingga kini melesat kemampuan bola kecil dalam kepala karena menguasai berbagai bilangan.

Berbagai bilangan adalah titik titik angka angka huruf huruf semua dalam bentuk yang kutahu hanya dalam kandung tapi bisik menyebutkan tak akan kutahu keluar kandung dan masuk kandung lagi dengan tak tahu kandung kemarin apalagi kandung kandung alam alam lain yang akan ditapaki dalam proses keyakinan ilahiah.

Proses keyakinan ilahiah seperti kutahu dekap tangan kakiku seperti membungkuk dalam proses tumbuh jasmani gerakku dan kucium bau perut bunda dalam kembang rohku maha besar penciptaan ini ya Sirulloh yang datang berasal dari tiupan subyek yang duduk jauh di puncak bukit yang menjulang menusuk langit dan akan kembali lagi melalui tiupan sangkakala manakala gerak hari sudah usai saat gerak bertaburan seperti anak-anai dan gunung berkeping juga kembali ke asalnya.

Kembali ke asalnya ditimpa arak-arak awan yang jatuh berguguran berkejaran entah kemana ke alam tanpa dasar yang menunggu proses waktu siapa pun tak tahu.

Siapa pun tak tahu sejak roh masuk dalam diriku aku sudah diberi pengetahuan untuk mengetahui berpikir merasa dan diberitahu akan kepergianku kelak ke alam dunia dan alam alam lainnya dengan masa masa yang ditentukan setelah masa paling cepat sembilan bulan sepuluh hari yang tak kuingat setelah keluar dari kandung bunda.

Keluar dari kandung bunda aku mulai melihat matahari. Aku mulai melihat matahari keluar dari gelap duniaku dan semakin merasakan gerak. Semakin merasakan gerak dan entah mengejawentah jadi apa siapa di dunia fana sebagai rangkaian tempat ruang dan waktu di antara delapan miliar gerak makhluk yang melata saat ini.

Mereka merasakan.

Kebebasan menghirup udara gratis puluhan ribu kali tarikan nafas dari sehari semalam kali sepanjang hidup sebagai inti ekosistem keberadaan alam fana setelah keluar dari kandung bunda sembari mengenyam semua harta keluar dari inti kulit alam yang menyediakan kehidupan untuk badan sepanjang hayat.

Kehidupan badan sepanjang hayat memberatkan bumi dengan kreasi cakar langit mendulang gemerlap perut bumi dengan benda tampak mata membungkus nista kasat mata menoreh racun kehidupan mengalir dalam darah ia merasakan yang baru melewati tirai kandung bunda.

Tirai kandung bunda…oh..doa tak lagi berharap karena tiada makna seperti mengaji tak mengerti arti mengkaji tak memenuhi tuntunan nurani. Tuntunan nurani jendela hati tak mengerti dusta tapi tirai jendela jiwa sudah tak tersikap karena enggap menyingkap sehingga sikap mendua sampai akhir hayat di kandung badan.

Hayat di kandung badan adalah langkah rejeki jodoh pertemuan  kematian sebagai alur perjalanan manusia hanya catatan usang kecuali yang terakhir yang tak dapat ditunda tapi   lainnya kini dapat dibeli dengan uang dunia ada yang mudah mendapatkannya ada yang sulit meraihnya bahkan banyak yang sampai ajal berkalang tanah.

Ajal berkalang tanah asal dari tanah kembali ke tanah setelah bermukim di atas tanah kembali ke gunduk dari gunduk perut bunda yang tak dapat masuk ke gunduk bunda tak dapat keluar dari gunduk tanah.

Gunduk tanah saya merasakan ia merasakan mereka merasakan seperti gunduk bunda saya merasakan ia merasakan mereka merasakan dan dalam perjalanan gerak tanpa koma inilah gelombang…makna.

***

Jakarta, Oktober 2011.

(dimuat di mr, 2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hallo kawan, silahkan klik tombol Like / Follow untuk mendapatkan berita dan tulisan terbaru