Menunggu kereta pada siang terik dan sepi. Di pagar stasiun, deretan pohon pisang, dan pohon perindang tepi jalan tol, tidak menghilangkan udara panas. Mungkin karena tidak ada angin. Di telingaku tiba-tiba terngiang seuntai lagu lama. Aku menyenandungkannya, tertangkap kalimat..”lay your head upon my pillow..”.
Aku tidak pernah tahu itu lagu siapa. Maksudku, siapa yang menyanyikannya.
Kenanganku bergerak ke puluhan tahun lalu. Jauh sekali. Saat aku masih di sekolah menangah pertama. Saat itu bersama sekeluarga kami tinggal di sebuah kompleks kecil perusahaan di bilangan Jakarta Pusat.
Di sebelah rumah tinggal seorang anak muda, bersama ibunya yang seorang janda, dengan penampilan yang baik seperti dari kalangan menengah.
Ibu itu dekat dengan anak-anak, dalam arti suka memberikan permen ataupun sesekali kadang memberikan kue yang dimilikinya. Kalau menyuruh membelikan sesuatu, pasti dia memberi upah, yang buat saya dan teman-teman, tentu saja menyenangkan.
Di zaman itu, yang jajan dari orangtua hanya sanggup untuk beli sirup di sekolah. Jadi kalau ada uang ekstra, rasanya luar biasa gembira karena bisa membeli apa-apa yang jarang diperoleh.
Yang menarik dari wanita berkulit putih yang kami panggil Madame Dora itu adalah kalau membersihkan rumah, yang tidak terlalu besar, dia pasti bersenandung dan sesekali menyanyikannya. Dan lagu yang aku ingat, karena itulah yang hampir selalu dia nyanyikan dari mulutnya. Sampai-sampai melekat di kepala, bahkan sampai puluhan tahun kemudian.
Bukan hanya sekali ini, tetapi kadang muncul begitu saja. Mungkin karena aku juga suka lagu-lagu lama tahun 1960-an dan 1970-an.
Sambil menunggu kereta yang masih cukup lama akan datang, karena tadi aku tertinggal hanya sekitar tiga menit, aku pun mengambil telpon seluler. Aku mencari dengan memasukkan potongan kalimat yang aku ingat tadi. Oh ternyata, lagu itu berjudul For the Good Times. Penyanyinya Ray Price, yang di masa jayanya menjadi salah satu idola di Amerika Serikat.
Era-nya tidak jauh berbeda dengan Jim Reeves, penyanyi kenamaan lainnya. Dan tentu saja Frank Sinatra.
Memasang headseat aku mencoba mendengar secara utuh di situs lagu-lagu dan ternyata lagu Ray Price itu benar-benar enak didengar. Suara penyanyinya empuk. Bersuara berat dan ngebass, aku bisa membayangkan para perempuan muda yang mendengarnya di tahun 1960-an itu, yang kini telah menjadi nenek-nenek, pasti terkesima dan kelepek-kelepek saat menonton Ray Price.
Tidak beda dengan jutaan penggemar Michael Jackson, Robbie Williams, Justin Bieber, yang tidak sedikit histeris, pingsan, saat menyaksikan konser idolanya.
Di usia menjelang senja ini, lagu easy listening terasa enak di telinga. Kata-katanya enak didengar dan kadang cocok dengan suasana hati. Meskipun banyak yang berlebihan, hiperbolis. Dengar saja syair lagu I Love You Because dari Jim Reeves, yang antara lain mengatakan I love you for a hundred thousand reasons.
Kalau kita katakan, “Coba uraikan 50 alasan kamu mencintai dia,” pastilah pencipta lagu itu akan kebingungan membuat daftarnya. Apalagi 1000 alasan. Tetapi ada juga syair lagu yang mungkin benar walau tetap berlebihan, seperti lagu When a man love a woman yang dinyanyikan oleh Percy Sledge. When a man loves a woman/Spend his very last dime/Trying to hold on to what he needs/ He’d give up all his comforts. Apa iya sebegitu gilanya seorang lelaki kalau jatuh cinta. Sampai-sampai dia menghabiskan semua isi dompetnya dan tidak mempedulikan kebutuhannya, hanya agar wanita yang dicintainya berbahagia?
***
Apa sih sebabnya seseorang begitu terobsesi pada sebuah lagu, tiba-tiba hal itu terpikir ketika mengingat betapa tetanggaku itu hampir setiap hanya menyanyikannya. Apakah karena nada musiknya atau karena lirik lagunya? Atau kedua-duanya? Entahlah.
Lalu aku mencari tahu lirik lagu For The Good Times yang rupa-rupanya dikarang aktor film Kris Kristofferson itu. Ternyata bernada sedih. Kisah dua pasang manusia yang pernah saling mencintai dan kini terpisah. Namun rupa-rupanya masih ada cinta di hati mereka, meskipun keduanya merasa tidak perlu menyesali masa lalu.
Don’t look so sad, I know it’s over/But life goes on, and this old world will keep on turning/Let’s just be glad we had some time to spend together/There’s no need to watch the bridges that we’re burning.
Lay your head upon my pillow/Hold your warm and tender body close to mine/Hear the whisper of the raindrops/Blowin’ soft against the window/And make believe you love me one more time/For the good times.
I’ll get along; you’ll find another/And I’ll be here if you should find you ever need me/Don’t say a word about tomorrow or forever/There’ll be time enough for sadness when you leave me.
Karena waktu itu masih anak bau kencur yang tidak mengerti soal kehidupan orang dewasa, aku tidak pernah tahu bagaimana keadaan rumah tangga Madame Dora. Siapakah suaminya, apakah dia janda karena suaminya meninggal atau bercerai. Yang aku tahu sepintas dia pernah bekerja di bank sehingga penampilannya selalu rapi. Dia punya pensiunan yang cukup, tapi tinggal bersama anak tunggalnya karena tidak mau kesepian.
Yang juga sempat jadi pembicaraan ibu-ibu tetangga, dia sangat posesif sehingga beberapa pacar anak lelakinya terpaksa tidak berani datang lagi karena tidak cocok dengan Madame Dora. Bahkan sampai kami sekeluarga pindah dari komplek itu ketika aku selesai SMA, setelah kira-kira 6 tahun bertetangga, anaknya itu belum menikah. Namun aku pernah ingat, ibuku mengatakan, lelaki yang kami panggil dengan nama Oom Robert, telah menikah dengan seorang wanita yang berasal dari Cianjur.
Tapi pada saat ini aku tidak tahu apakah dia masih ada, dan tinggal di mana. Itu cerita kira-kira 36 tahun lalu. Dan meskipun sempat bertemu beberapa kali dengan eks tetangga kompleks, cerita tentang keluarga Madame Dora dan Oom Robert, tidak pernah disinggung.
***
Aku ingat-ingat ketika peristiwa itu terjadi tetangga kami Madame Dora itu ada di usia paruh baya, jelang 60 kira-kira, dengan sang anak berumur sekitar 30 tahun.
Di usianya yang seperti itu, sama dengan hal yang aku alami saat ini, mendengar lagu lama terkadang tidak perlu alasan tertentu untuk menyukainya. Ya suka saja. Mungkin karena cocok nadanya dengan telinga. Atau suara yang memberikan keteduhan, membuat mata ingin terpejam, seperti terasa di taman yang luas, ditiup angin sejuk, dan merasakan lapang di dada.
Bisa jadi, mulut Madame Dora menyanyikan lagu itu sebagai kenangan biasa, saat dia remaja, tanpa menyadari syair lagu yang menyedihkan, karena saat itu lagu tersebut populer dan banyak diputar di radio atau ada tetangga yang suka memutar piringan hitam lagu itu.
Tidak ada cerita yang terkait dengan kehidupannya. Walaupun bisa saja sebaliknya. Kehidupan rumah tangganya yang penuh duka, perpisahan dengan suami, membuatnya begitu terobsesi sehingga kesedihannya diwujudkan dengan menyanyikan lagu, yang kisahnya mirip dengan jalan hidupnya. Entahlah.
Ada begitu banyak lagu yang enak didengar. Ada kenangan atau tidak, masak sih untuk mendengarnya saja perlu alasan. Musik itu mencerahkan.
***
Jakarta, Agustus 2016.