Hari mengeluarkan mobil dari garasi. Semalam anaknya sepulang dari bekerja bilang, dua ban mobil sudah aus. Sudah terlihat retak-retak dan berpotensi meletus apabila dipakai. Dia tidak membayang anak perempuannya itu mengalami kecelakaan di jalan gara-gara kelalaian sendiri, ban yang memang sudah harus diganti karena berusia empat tahun. Lazimnya kalau sering dipakai, ya selambatnya tiga tahun sudah diganti.
Uang yang bakal dikeluarkan tidak sedikit, silakan hitung saja kalau untuk satu ban harganya bisa sejuta rupiah. Dia sudah googling sana-sana, sama saja. Yang agak berbeda hanya di toko online, selisih bisa 200 ribuan. Tetapi Hari tidak tertarik karena banyak hal. Tidak yakin kualitas barang yang nanti dikirimkan, perlu waktu untuk sampai ke rumah, belum lagi urusan memasang ban yang perlu keahlian dan alat. Belum lagi urusan balancing dan spooring.
Setelah bertanya ke seorang teman Hari memilih tempat yang tidak begitu jauh dari rumahnya, jaringan toko yang sudah punya nama. Biasanya lebih murah dan servisnya baik apalagi kalau konsumen sedang sepi. Benar juga, bahkan ruang tunggunya seperti ruang tamu lounge di bandara. Ada kopi dan teh gratis, ada koran dan majalah untuk dibaca. Kamar mandinya bersih dan wangi, kalau lampu dihidupkan maka akan terdengar musik. Ah senang hatinya.
Sedikit menghibur karena berangkat dari rumah tadi, Hari sedang dongkol pada istrinya, yang dia nilai bersikap kurang pantas. Apapun, istri tidak boleh bersuara keras terhadap suami. Kalau ada masalah, sampaikan dengan suara pelan dan cara yang baik. Di usianya yang makin senja, Hari semakin peka dan mudah tersinggung yang terkait dengan harga dirinya.
“Sekitar satu jam lebih ya Pak. Stoknya kami ambil dulu di cabang lain karena tipe yang bapak beli kebetulan kosong,” ujar salah satu pegawai. Hari mengiyakan, sambil mencharge ponselnya di tembok dekat meja. Lalu mengambil koran nasional yang tersedia.
“Sudah berapa lama aku tidak membaca koran?,” dia bertanya pada diri sendiri. Ya sudah beberapa tahun dia tidak berlangganan suratkabar atau majalah, karena Hari kerap gemas, tidak ada hal baru yang disajikan media cetak. Padahal informasi sudah begitu cepat diperoleh manusia, entah dari radio di mobil, televisi di rumah, dan tentu saja di ponsel yang selalu dibawa, bahkan ke kamar mandi.
Dia membuka koran itu, dan sedikit memujinya. Cara pemberitaannya ternyata kini lebih mendalam. Karena halaman sedikit maka topik bahasan pun lebih sedikit dari biasanya, tetapi dibahas dari berbagai sudut pandang, dengan narasumber yang berbeda-beda, dengan demikian pembacanya mendapat banyak perspektif. Dengan begitu koran mengisi kekurangan yang ada di platform media lain, yang umumnya mengandalkan kecepatan dan jumlah informasi sebanyak-banyaknya, memenuhi rasa ingin tahu pembacanya.
***
Sambil menghirup kopi pahit, Hari menjelajah halaman demi halaman koran dan merasa senang. Sesekali dia melihat ke ponsel. Kadang untuk mengetahi informasi dari WA Grup, baik yang santai maupun terkait dengan tugas dan kewajiban. Atau dia membuka media-media online yang pasti memberi informasi baru tiap menit. Juga email. Atau Instagram dan twitter. Dia malas membuka akun di sejumlah medsos karena merepotkan, misalnya mesti memberi tanggapan kalau teman yang membuat puisi, cerpen, atau tulisan. Kalau sedang mood oke saja, tapi kalau sedang tidak tertarik, masak harus menanggapi. Nah kalau tidak ditanggapi, maka dia akan dianggap sombong.
“Pak bannya sudah selesai dipasang,” staf toko mengingatkannya. Cangkir kopinya sudah kosong. Semua halaman koran sudah diabaca. Bahkan beberapa majalah sempat dia buka. Hari segera berjalan menuju kasir sambil menyerahkan kartu debit dan menerima nota pembayaran.
“Maaf, Pak, kartunya tidak bisa digunakan,” kata si kasir, setelah menggesekkan kartu itu beberapa kali ke alatnya.
“Coba lagi deh, mungkin chip-nya bermasalah,” kata Hari sambil menggosok-gosokkan kartu ke bajunya. Karena bertumpuk di dalam dompet, bisa jadi, ada masalah di chip kartu. Diulang berkali-kali, tetap tidak bisa.
“Kartu yang lain ada, Pak,” tanyanya.
“Kartu debit ya hanya ini yang cukup saldonya. Kartu kredit bisa?”
“Bisa, Pak. Tapi kena charge tiga persen. Mau?”
“Ya sudah, tidak apa-apa deh. Mau dikata apa,”balas Hari. Membayar dengan kartu kredit dia kena tambahan biaya saat bertransaksi, belum lagi nanti bunga pembayarannya. Itu sebabnya Hari jarang menggunakannya, kecuali untuk hal yang mendesak.
Hari segera mengubah rencana, dari mengisi bensin ke SPBU dan mencuci mobil di tempat langganan, menjadi ke bank yang kebetulan berkantor hanya sekitar satu kilometer dari toko dia mengganti ban.
Beruntung dia mendapat parkir, karena halaman bank itu relatif sempit untuk sebuah kantor cabang, paling muat 20 mobil. Alhamdulillah, katanya dalam hati. Beberapa bulan lalu ketika berkunjung di sini, dia terpaksa parkir di pinggir jalan, artinya jaminan keamanan berkurang karena lalu lintas yang ramai, dan bayar pula.
Ketika Hari masuk, dia melihat konsumen sudah banyak. Dia lalu mengambil nomor antrean, ada 15 nomer yang sudah ada di depannya. Kalau pelayanan costumer service satu orang 10 menit, artinya dia harus menunggu 150 menit. Karena kaunternya ada tiga, berarti hanya 50 menit.
“Ah, tidak begitu lama. Sabar saja,” katanya sambil mengambil tempat duduk.
Tidak lama seorang petugas bank mendatanginya, menanyakan tujuannya, agar bisa disiapkan formulir yang harus diisi.
“Ini chip di kartu debit saya tidak berfungsi. Mungkin ganti kartu,” kata Hari.
“Bapak bawa kartu tabungan?,”
“Ya, nggak. Saya kan tidak ada rencana ke bank. Ini karena tadi tidak bisa bertransaksi, baru saya ke bank. Mendadak.”
“Wah, harus bawa buku tabungan, Pak, ketentuannya.”
“Coba tanya dulu ke staf di customer service. Agar dibantu. Jangan malah merepotkan nasabah,” kata Hari dengan wajah agak kesal. Petugas lalu pergi.
“Bapak punya SIM,” kata petugas itu kemudian.
“Ada. Saya bawa SIM,” jawab Hari.
“Bisa, Pak kalau begitu. Silakan diisi formulirnya,” kata petugas sambil menyerahkan papan untuk mengisi berikut pulpennya. Sempat kesal, akhirnya Hari bernafas lega.
***
Menunggu adalah pekerjaan yang paling menyiksa. Ternyata waktu untuk melayani nasabah tidak secepat yang dibayangkannya. Ada yang 15 menit lebih karena banyak berkas yang harus diserahkan ke staf pelayanan. Belum lagi, kalau buka buku tabungan atau mengganti, si staf harus ke kasir untuk proses pembayaran, dan seterusnya. Dan kadang hanya satu atau dua staf yang melayani karena mendadak ada yang hilang dari mejanya. Apa karena bank BUMN kok kerjanya lamban sekali, katanya.
Hari melirik ke jam, sudah hampir satu jam dia menuggu, pelayanan nasabah lamban. Masih ada 10 nomer di depannya. Sudah hampir setengah dua belas. Dia bertanya pada petugas yang tadi membantunya.
“Masjid terdekat di sini, tahu Mbak?”
“Maaf, Pak. Saya baru bertugas dua hari,” katanya.
Hari bergerak ke halaman parkir, menemui petugas satpam yang lain.
“Saya baru rotasi dua hari ke sini, Pak. Belum tahu,” jawabnya.
Mendadak dia melihat seorang pemuda, dengan menaruh sajadah di bahunya, masuk ke arah bank. Dia pastilah hendak salat Jumat juga, pikir Hari.
“Ada, Pak. Menyeberang saja, nanti ada jalan kecil. Lalu kira-kira 300 meter, ada masjid. Besar kok,” kata pemuda itu. Hari mengangguk, tapi dia masih belum mengambil keputusan.
Hari berpikir-pikir, jalan kaki dalam cuaca panas begini, kok kurang nyaman. Belum lagi dia khawatir nomor antreannya terlewat, karena bisa jadi sampai selesai salat Jumat, waktunya bisa satu jam lebih. Hari lalu menuju bank untuk sekadar berteduh dulu. Dia bertemu staf bank dan bertanya sekali lagi.
“Di atas ada salat Jumat kok, Pak. Naik, saja. Walau sebenarnya untuk karyawan, tapi nasabah juga boleh salat,” sambil menunjukkan tangga. Alhamdulillah, kata Hari. Hatinya kembali berbunga-bunga. Dia dapat menjalankan kewajiban, tempatnya dekat sehingga cepat kembali ke urusan perbankan, dan di ruang perpendingin udara.
Mushala yang berada di lantai dua itu nyaman. Karpetnya tebal. Tempat wudunya dan toilet di sebelahnya juga bersih. Baru ada beberapa orang dan waktunya masih sempat untuk salat Sunnah. Kesusahan hatinya yang tadi bertumpuk, pelan-pelan sirna. Apalagi setelah mendengar katib yang bersuara lembut, dan mengingatkan manusia untuk selalu beramal saleh, menjalin silaturahmi, bertaqwa kepada Sang Pencipta, dan bersabar menghadapi masalah. Sabar itu sulit tetapi manfaatnya besar sekali.
“Kadang kita selalu pingin bereaksi, menanggapi. Tapi cobalah, diam saja, bahkan kalau dimaki-maki. Orang yang memaki-maki kan seperti membawa sampah. Kalau kita tanggapi artinya kita menerima sampah itu. Tetapi kalau kita diamkan, sampah itu tetap ada pada dia. Dan akan kembali kepadanya,” ujar katib, sambil mencontohkan perilaku mulia orang terdahulu.
Turun kembali ke bank, hati Hari sudah lebih tenang. Masih ada delapan orang di depannya, dia hitung akan menunggu kira-kira satu jam lebih karena meja yang ada staf hanya satu. Dia sabar saja, tokh kalaupun ngedumel dan kesal, tidak akan mengubah keadaan. Sesekali dia beristighfar.
Satu nomer dipanggil, maju. Di meja sebelah, stafnya sudah muncul. Satu nomer dipanggil, tidak ada jawaban. Dan tidak lama, sekitar 20 menit kemudin, nomernya sudah dipanggil. Rupanya ada empat konsumen yang pulang duluan karena berbagai alasan. Setelah menyerahkan formulir, menunjukkan identitas, difoto, kartu debit baru sudah diterimanya. Tidak sampai 10 menit.
“Terima kasih ya Mbak atas pelayanannya,” kata Hari, yang puas, karena kalau semua syarat lengkap, pelayanan di customer servis berjalan cepat. Seringnya terlambat karena mereka yang datang, ada kekurangan di sana-sini. Hari lalu ke ATM, mengambil sejumlah uang.
Ke luar dari bank, Hari mampir di toko kecil untuk membeli sepotong roti dan minuman dalam kemasan, untuk mengisi perut dan dahaga menunggu tadi. Dari sana dia bergerak ke tempat cuci mobil otomatis, konsumen tetap tinggal di mobil dan mesin pencuci mengerjakan tugasnya dengan cepat dan hasilnya pun bersih. Dari sini Hari bergerak mengisi bensin, agar minimal isinya tiga perempat.
“Kok lama,” sambut istrinya sesampai di rumah. Ada senyum saat dia membuka garasi, dan mencium tangannya.
“Tahu sendiri kalau ke bank, antrean panjang,” balas Hari sambil mencium pipi istrinya.
“Kok ke bank. Kan tadi katanya cuma mau ganti ban?”
“Panjang ceritanya deh. Makanan sudah ada kan?”
“Siap, Boss. Ada ayam goreng, ikan teri, tempe goreng, tumis kangkung, sambal terasi,” kata istrinya dengan tersenyum. Lalu menutup garasi karena mobil telah berada di dalam.
Hari masuk sambil menggandeng tangan istrinya. Dia merasa luar biasa nikmat yang dia peroleh hari ini meski ada beruntun cobaan. Setiap masalah ada jalan keluarnya, maka perbanyaklah sabar, kalimat katib Jumat tadi masih mengiang di telinganya.
***
Ciputat 29 Mei 2022