Ibu
Oleh: Djunaedi Tjunti Agus
Rasanya baru terjadi kemarin. Kadang tangan masih kerap reflek mengusap pipi, menghapus air mata yang sudah tidak ada. Lebaran Idul Adha lalu entah kenapa terasa lain, begitu takbir berkumandang bagda maghrib, usai berbuka puasa sunnah Arafah, serasa ada yang hilang.
Esok paginya ketika siap-siap shalat di lapangan serba guna di samping masjid, relung hati terasa kosong. Air mata mengalir deras mengiringi gema takbir.
Allahu Akbar, Allahu Akbar. Dada terasa makin sesak, isak tak lagi mampu ditahan. Beberapa orang melirik, sepertinya terganggu. Kemudian seseorang diantaranya mencolek, lalu berbisik menyarakan supaya saya mencuci muka.
Lebaran Haji, demikian kami sering menyebut Idul Adha kali ini benar terasa lain. Hati terasa kosong bak terowongan, dari pikiran keluar berdesakan berbagai kejadian masa lalu. Ingat Ayah dan Ibu yang telah lama tiada. Terbayang Nenek yang lebih dulu meninggalkan kami.
Masih tergambar jelas ketika saya dan saudara-saudara berebut makan di hadapan Ayah, Ibu, Nenek, setiap waktu makan tiba. Mereka hanya tersenyum, sekali-sekali memisahkan kami dari rebutan sendok atau lauk.
“Ibu tidak akan datang lagi ke Jakarta. Ibu sedih dan merasa terhina ketika istri pamanmu memaksa membuka amplop titipan papanmu itu padanya saat istrinya pulang kampung pekan lalu. Setelah tahu jumlahnya dia lalu minta supaya Ibu tidak minta uang lagi pada adik Ibu itu, dengan alasan Ibu kan berkecukupan. Tapi tidak usah di bilang pada pamanmu. Toh Ibu tidak pernah minta, pamanmu yang selalu mengirimkan.” Itu ucapan Ibu suatu waktu pada saya.
Betul, Ibu memang tidak pernah lagi mengunjungi kami beberapa bersaudara di Jakarta, juga Paman, bahkan tidak akan pernah lagi. Karena pembicaraan via telepon itu merupakan percakapan saya yang terakhir dengan Ibu. Hanya sepekan setelah Ibu menyampaikan keluhannya, beliau dipanggil Allah Azza wa Jalla.
Kata adik saya, Ibu meninggal dengan tenang, pada Jumat malam, setelah sore harinya pergi ke dokter karena keluhan perut kembung. Dokter hanya bilang magh ibu kumat.
Wajah lembut, senyum Ibu yang khas, pada Idul Adha kali ini sering melintas di benak. Juga Ayah dan Nenek. Hanya wajah Kakek tak pernah terbayang, karena saya memang tidak mengenalnya. Menurut Nenek, Kakek tinggi besar dan gagah, seperti raja-raja. Namun saya tak pernah dapat melukiskan, karena Kakek meninggal ketika saya belum lahir. Saya kerap berpikir, mungkin Kakek memiliki sosok seperti Charles Bronson, bitang film Amerika yang dikagumi Ayah.
***
Semuanya seperti baru terjadi kemarin. Saya masih ingat dengan jelas wajah-wajah siapa saja yang kerap datang ke rumah kami di kampung menemui Nenek untuk meminjam beras. Sekali-sekali terdengar ocehan Nenek kepada peminjam, menyatakan pinjaman-pinjaman sebelumnya belum dikembalikan.
“Siapa lagi yang akan membantu mereka, kalau bukan kita. Biarlah, kita relakan saja beras seliter dua liter dari pada anak-anak mereka kelaparan,” kata Nenek. Bila hari besar tiba, termasuk Idul Adha, nenek menganggap semua utang mereka lunas.
Ibu tidak pernah marah kepada kami anak-anaknya. Bahkan Ibu tidak ingin menyinggung perasaan kami, meski kami adalah darah dagingnya. Jika kami berbuat salah Ibu selalu punya cara mengingatkan, kami tak merasa dimarahi. Karena itu saya sangat kecewa ketika Ibu disakiti istri Paman.
“Jangan sakiti Ibuku ya Allah,” tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibir saya, cukup keras, usai shalat Idul Adha. Orang yang sedang berdoa di samping saya menoleh.
Batin saya berkecamuk jika mengingat-ingat keluhan Ibu. Doa saya kerap buyar, bila dalam pikiran tiba-tiba saja membayangkan bagaimana tersinggung dan sakitnya hati Ibu.
“Tidak! Ibu tidak boleh disakiti siapa pun. Tidak!”
Seseorang menggamit pundak saya, saya menoleh, Ashim memberi isyarat agar mengikutinya. Saya melihat ke depan, dimana khotib masih menyampaikan kutbah Idul Adha.
“Salman Kamil. Ada apa denganmu, dari tadi beberapa kali nyeletuk sendiri, menganggu orang di sekitar kita? Ada apa, kenapa kamu hari ini bertingkah aneh. Saya sampai merasa tidak mengenalmu,” kata Ashim.
“Ndak tahulah,” kata saya.
“Ini pasti terkait dengan Salma kan? Jujur saja, kamu mencitai dia,” kata Ashim, ketika menyusuri jalan menuju tempat kos kami.
“Apa maksud mu Shim?”
“Maafkan saya Man. Saya sudah tahu apa yang ada di benakmu, juga soal gadis pilihanmu. Tak sengaja saya membaca buku harianmu yang tergeletak di tempat tidurmu, entah kenapa aku tak mampu menahan diri untuk tidak melihatnya. Aku jadi tahu bagaimana dalamnya cinta kau kepada Salma, juga tentang tekadmu tidak ingin menyakiti ibumu.”
Saya terpana. Tak menyangka Ashim membaca buku harian saya.
“Maafkan saya Salman. Saya betul-betul gak tahan, Seolah-olah ada yang mendorong agar saya membacanya,” katanya menghiba.
“What’s next?,” kata saya tiba-tiba.
Ashim tersenyum, dia seperti lepas dari beban berat. Karena dia tahu persis, kalau saya sudah sok-sokan bicara Inggris, berarti sudah kembali pada keseharain, lepas, santai, ceplas-ceplos.
***
Saya dan putri Paman, Salma Pertiwi, sebetulnya saling tertarik. Dia sering bermanja-manja pada saya. Tapi saya selalu berusaha keras tidak memberi peluang, selalu berjuang menekan isi hati.
Gadis yang akrab disapa Endah itu memang tipe gadis pilihan saya. Tidak terlalu tinggi, juga tidak gemuk. Senyumnya kerap membuat hati saya luluh, tetapi setiap perasaan itu muncul selalu saya tekan. Saya tidak mau almarhumah Ibu kecewa di alam sana.
Kepada teman-teman saya menyatakan, Endah telah saya anggap adik. Tapi sebetulnya hanya untuk meyakinkan diri agar Ibu tak terusik. Padahal saya selalu terbakar cemburu bila ada yang menggoda Endah.
Paman, juga istrinya, sering “memancing” untuk menjodohkan saya dengan Endah, tapi tidak pernah secara langsung.
“Kalo di kampung kita, kemenakan menikahi anak pamannya atau sebaliknya suatu kehormatan, agar keturunannya semakin jelas. Itu sudah menjadi tradisi,” kata istri paman, suatu waktu. Tapi dia tak melanjutkan kalimatnya, karena melihat saya tak hendak menangapi.
Jika sudah begitu Paman hanya senyum, Endah pura-pura tidak mendengar.
Seperti biasa, siang usai shalat Idul Adha, saya berkunjung ke rumah Paman. Kali ini saya tak ingin berlama-lama, dengan alasan Ashim mengajak mengunjungi rumah kakaknya di Jatinegara. Kepada Paman saya menyampaikan, pekan depan saya akan pulang kampung, mengunjungi pusara Ibu. Saya menajak sahabat kental saya, Ashim.
***
Kedatangan saya di kampung, sebuah desa di Kabupaten Agam, tidak jauh dari Gunung Marapi yang berdiri kokoh antara Kabupaten Tanahdatar dan Agam, Sumatera Barat, ternyata kurang pas. Gunung Marapi baru saja meletus, menyemburkan abu vulkanik mencapai ketinggian 1.000 meter. Tapi itu tak menyurutkan hati saya menungunjungi pusara Ibu.
Saya ke pusara bersama Ashim, ditemani adik saya Banin yang menunggui rumah peninggalan orangtua bersama istrinya. Tapi tidak seperti biasa, dalam perjalanan menuju pemakaman dimana juga dikebumikan Ayah, Nenek, dan Kakek, Banin hanya bicara bila ditanya, padahal dia tipe yang suka bicara dan bertanya. Dalam perjalanan sejauh 2 km yang kami lalui dengan berjalan kaki, Banin lebih sering menjauh.
“Ada apa Banin. Apa setelah punya mobil gak kuat jalan kaki?”
Dia hanya menggeleng, senyum pun tidak.
Mendekati pusara, saya melihat samar-samat ada bebera orang berada di seputar makam. Banin tiba-tiba saja memegang lengan saya, air matanya merebak.
“Maafkan saya Kak. Paman yang minta supaya saya tidak menceritakan pada Kakak bahwa Paman bersama istri dan anaknya pagi tadi datang ke rumah, lalu terus ke pusara.”
“Maafkan saya Kak,” katanya lagi.
“Ya, ya sudah. Apa yang perlu saya maafkan. Tapi ada apa, kok Paman rahasia-rahasian segala?”
“Mungkin pamanmu tiba-tiba saja tergerak mengunjungi pusara keluarga,” kata Ashim.
***
Mata istri Paman terlihat sembab. Salma kurang lebih sama. Paman terlihat tegar.
“Mereka mendoakan ibumu. Kami mendadak pulang, karena neneknya Salma di kampungnya di Pariaman sana tiba-tiba sakit keras. Kami mendapat kabar dua hari lalu, jadi sekalian ziarah ke pusara keluarga,” kata Paman, kakak ketiga Ibu kami yang anak bungsu dari tujuh bersaudara.
“Salman, maafkan saya. Saya tahu kamu marah, karena kekecewaan ibumu atas tingkah saya yang tak terpuji,” tiba-tiba saja istri Paman bicara.
“Entah setan apa yang mendorong saya, sampai berbuat begitu. Padahal saya dan ibumu adalah teman kualiah di Jakarta. Saya mengenal pamanmu karena ibumu,” katanya lagi.
“yang memberi nama Salma pun itu ibumu,” kata Paman.
“Salma kata ibumu artinya ambisius, Pertiwi adalah bumi atau Negara. Jadi Salma itu artinya Negara yang ambisius,” kata istri paman.
Salma hanya termanggu. Saya juga tidak tahu harus bicara apa.
“Kami bersama ibumu dari jauh-jauh hari–ketika Salma baru lahir–berkeinginan menjodohkan kalian berdua. Tapi seperti namamu Salman Kamil, yang artinya bersih dari cela dan yang memiliki sifat-sifat baik, kami tidak ingin memaksakan kehendak,” kata Paman.
“Ibumu juga yang meminta agar Salma diberi nama panggilan Endah, artinya cantik.”
Banin yang lebih dulu berkerluarga dibanding saya kakaknya, hanya diam.
Saya melirik Salma, dia tertunduk. Ketika mengangkat wajah, kami beradu pandang, dia tersipu.
“Ayo, sebelum pergi kita berdoa lagi untuk ibu, ayah, kakek, dan nenek kalian,” kata Paman langsung mengambil tempat di sisi pusara.
Ketika sudah berada di jalan raya menuju rumah peninggalan orangtua kami, Salma berjalan paling depan, tidak seperti biasanya kerap berjalan di samping saya. Dia sama sekali tak menegok ke belakang. Itu artinya dia lagi merajuk.
“Paman, maaf silakan duluan. Saya mampir dulu di ladang, mencari kelapa muda,” kata saya.
“Saya juga,” tiba-tiba saja Salma menyahut dan berbalik ke arah saya. Paman dan istrinya, serta Ashim dan Banin yang sepanjang perjalanan lebih banyak diam, tergelak.***
*Kebayoran Baru, September 2012