I
Jakarta mabuk
kebanyakan air
kepayang kepenuhan kata
Aku kepayahan ah kurasa hampir semua kesusahan
memungut kata untuk menyusun frasa
Karena ia seperti banjir yang menghanyutkan makna
Menenggelamkan arti yang terukir dalam dada
Mencampakkan pikir yang terlukis di benak kepala
Menghunjam logika yang sudah tertatih dimakan zaman
Menghantam-hantam
Apa siapa kapan dimana pun
Ah Jakarta mabuk
kebanyakan air
kepayang kepenuhan kata
Aku resah menyimpan cemas yang terus tumbuh di relung perjalanan
Aku cemas dengan keresahan yang terus membuncah dari tiap saku tarikan nafas
Pagina-pagina hidup yang terjilid dalam kitab gelombang pengalaman itu
Seperti halaman-halaman yang mulai tak sadarkan diri terlepas satu persatu dari cetakan bukuku
Terkelupas angka dan hurup
Terkikis otot lan walung
Wasiat berceceran tak tentu rimba
Oh hebatnya nestapa kota ibu
Jakarta mabuk
kebanyakan air
kepayang kepenuhan kata
Air seperti kata, memberondong
Kata seakan air, menggelombang
Jakarta masuk angin
Wuih melilit perutnya tak tertahankan
Nyaris tak ada lagi koin ikatan untuk mengerik duka
Hampir tak ada lagi ikatan koin guna menggemerincingkan suka
Jakarta mabuk
kebanyakan air
kepayang kepenuhan kata
Inilah Batavia entah jilid yang keberapa
Neo Hindia Belanda yang penuh dengan hutan tembok
Tengoklah jalan-jalan utama di wilayah mana saja
Di belakang belukar tembok pasti berjejal sumpek para jelata
Ruangan kecil disesaki sekeluarga, bahkan sanak saudara
Mereka dilindas zaman, ada yang terkapar di tepi sungai
Bahkan tak lagi melihat air di tepi pantai, walau ada yang berumah di dalam sampan
Thamrin-Sudirman? Seperti pohon berakar tunggal batangnya menjulang
Tidak lagi seperti ingin menyapa awan
Tapi sudah seperti berlomba ingin menyentuh
Pernah suatu ketika, maaf, ketika aku lewat di sana
Membayangkan bumi bergetar dan pohon-pohon tembok itu berderak berderai
Gemuruh dedaunannya dan berpecahan berebut tiba di atas tanah
Manusia berpelantingan bak anai-anai semrawut seperti disebut al qoriah (4)
Ya Tuhan kumohon hentikan penampakan ini
Sempat kucatat nama-nama pohon menjulang berjejer berkilometer itu
Tapi tak kuasa penaku menorehkannya dalam puisi memabukkan ini
Apalagi namanya pun sudah porak-poranda di pondasi tempat julangnya
Ibukota kebanyakan air
Butir bulir kepayang bertumbuhan mengandung bayi kata
Melahirkan arti yang bersimbiose dengan makna
Kata semakin banyak dan perlahan menenggelamkan manusia
Kata adalah air dan air adalah kata yang mengalir ke berbagai lorong dan gorong
Jakarta sekarat dikejar tsunami kata
Inilah akhir zaman yang dimulai dari ibu kota?
Ah mabuk itu semakin kepayang.
Aku cemas dengan kekhawatiranku
Aku khawatir dengan ketakutanku.
II
Ini Jakarta mabuk jilid dua
Fisiknya ya itu tadi nyaris tenggelam dalam buih kata
Gunakanlah mata yang ada di kepala
Maka gelombang kata itu akan semakin kentara
Kini, pakailah mata yang ada di pikirmu
Maka kata itu akan menusuk tulang sumsummu
Sumsum keluarga dan sahabat
Kini, seksamakan mata yang ada di hatimu
Maka kata itu mengikis hikayat kemanusiaan
Karena kata tak kuasa membungkus peradaban zaman
Yang kini sudah terkelupas sehingga bertaburan bebijian kepayang memabukkan.
(sajak ini masih berlanjut)
Jakarta 1 November 2016.
(Puisi ini termuat dalam Antologi Puisi Wartawan – Sajak Kepada Presiden & Presiden Bebek, yang diterbitkan dalam memeriahkan Hari Pers Nasional (HPN) 2017 di Ambon.