Warga perumahan di tepi kota Jakarta itu geger. Seorang laki-laki yang tinggal di sebelah perumahan, diketemukan meninggal dunia di jalan, tidak jauh dari masjid. Mayatnya tergeletak di jalan aspal, tertelungkup. Dia menggunakan celana yang bersih, baju kaus, dan sebuah sajadah masih melekat dekat bahunya. Sandalnya pun bersih.
Beberapa orang dewasa yang kebetulan berada tidak jauh dari situ, sebelumnya sempat membalikkan tubuh Firdaus, begitu orang itu dikenal oleh warga kompleks.
Ada gores luka di pipi dan keningnya, mungkin karena terbentur aspal jalan yang mulai tergerus. Ketika Pak Purwono menempelkan telapak tangannya, sudah tidak ada udara yang keluar dari hidung lelaki itu. Dia naga-naganya sudah wafat. Tetapi untuk meyakinkan, ada tetangga yang memilik mobil bak terbuka segera membawanya ke puskesmas kelurahan untuk diketahui pasti tidaknya kematian itu. Satu-dua orang ikut di mobil bak terbuka, sementara yang lainnya segera bergegas berjalan ke masjid karena tak lama kemudian azan salat Ashar berbunyi.
Orang-orang yang salat kebanyakan tidak bisa khusuk karena di benak mereka masih berbekas kejadian yang barusan dialami. Dalam 30 tahun sejarah komplek itu berdiri, baru sekali ada kejadian seperti ini. Warga perumahan umumnya meninggal di rumah, atau di rumah sakit, tidak ada yang di jalan raya. Kampung di luar kompleks yang masih hijau dengan pepohonan, pun rasanya tidak ada peristiwa begini. Jadinya, banyak gunjingan.
“Alhamdulillah Si Daus itu wafatnya dalam perjalanan ke masjid. Meskipun belum sempat sholat dia sudah berniat beribadah. Orang yang meninggal saat beribadah hukumnya masuk syurga, karena dia mati syahid,” kata Pak Halim, orang alim yang suka mengajar ngaji anak-anak di perumahan.
“Saya kira benar, Pak Halim. Membawa sajadah, berpakaian rapi itu menunjukkan niatnya. Dia kan biasanya berpakaian semaunya, malah kayak nggak mandi,” timpal Basuki, jamaah masjid yang akrab dengan warga sekitar.
Dia menambahkan, dan sudah menjadi pengetahuan umum warga sebenarnya, Si Daus ini sebenarnya pengangguran, yang sering nongkrong di pangkalan ojek. Dulu dikenal suka mabuk dan narkoba, dia lalu bertobat dan akrab dengan warga. Karenanya dia sering menawarkan apa saja ke orang yang dia kenal. Entah itu ada orang jual rumah, kontrakan, atau tanah. Kalau jadi, pendapatannya lumayan. Bisa jutaan masuk kantong.
“Ingatkan dulu pesawat Garuda yang membawa rombongan haji ke Arab. Biar pesawatnya jatuh di Kolombo, mereka dianggap mati sahid karena niatnya berhaji,” tambah Bambang, jamaah lain mengingatkan peristiwa tahun 1980-an.
“Kita berdoa demikian. Artinya dia wafat husnul khotimah, meski dalam hidupnya mungkin pernah khilaf,” kata Pak Halim.
“Semoga, Pak. Saya sebenarnya pernah dikerjain sama dia tuh. Waktu renovasi rumah, dia pernah memeras tukang saya. Kalau nggak ngasih duit, mau digebukin. Karena tukangnya pada ketakutan, ya dikasih juga. Saya tidak tahu karena pas ke luar kota,” kata Mugiri. “Saya sih sudah maafin, tapi sering keingetan juga.”
“Ya, kita ingat yang baik-baik sajalah,” sela Basuki. Semua lalu terdiam. “Kalau sempat, ayo kita ke rumah almarhum untuk bertakziah.”
***
Beberapa saat sebelum kejadian. Di rumah yang sudah agak kumuh karena kurang terawar, terdengar suara percakapan suami istri.
“Bang, mana duit yang dijanjiin. Nggak enak nih, sudah seminggu ngutang belanja. Kalau nggak bayar nanti nggak boleh belanja lagi,” kata Lena ke suaminya yang rebahan di lantai ruang tamu.
“Sabar dong. Lu gimana sih. Gua lagi nunggu dari Pak Bowo nih. Kemarin katanya dia jadi renovasi dan gue yang nyariin tukang dan kenek. Kalau jadi, lumayan bisa dapat tiga ratus ribu dulu buat nyamperin tukang di Pandeglang,” jawab Daus.
“Lha, Abang udah tiga hari ngomong begitu. Tar sok, tar rok melulu.”
“Kan dia yang nentuin, Lena, bukan gue.”
“Trus kita makan apa dong. Indomie tadi pagi abis. Beras kosong. Apa puasa seharian?”
“Ngutang dulu deh sama emaklu. Kasih tahu proyek gua. Nanti diganti.”
“Udah keseringan ngutang, Bang. Malu.”
“Bawa tuh cucunya, pasti dia kasihan. Nggak tega cucunya kelaparan….” ujar Daus sambil bergegas ke luar rumah, duduk di teras kecilnya, agar tidak mendengar lagi celotehan istrinya. Tapi istrinya juga tidak menyerah.
“Bang, Lu juga usaha dong.”
“Emangnya gue diem. Kalau ketemu Pak Bowo gue juga bakal nanya lagi. Lu doain deh,” ujarnya.
“Lha, kalau di rumah aja bagaimana mau ketemu..”
“Ntar, sorean gua ke rumahnya.”
***
Ketika Lena kembali ke rumah kontrakannya dari rumah orangtuanya, dia mendapati suaminya tertidur di kursi ruang tamu.
“Bang, bangun hoi. Udah siang nih, tidur melulu kerjanya,” katanya setengah membentak.
Firdaus yang terkejut segera terbangun. Dia langsung ingat, tadi memberi tugas istrinya untuk mencari hutangan ke mertuanya.
“Dapet?”
“Dapet apa? Cuma dikasih dua puluh lima ribu. Emak juga lagi gak punya uang. Warungnya lagi sepi.”
“Ya udah, beli deh beras, indomie, telor, eh jalan lupa kopi ya..”
Seperti mendapat tenaga ekstra, Firdaus pergi ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya yang agak berkeringat karena tertidur. Badan terasa segar. Semangatnya timbul. Dia ingat anak dan istrinya yang menderita karena “proyeknya” sudah beberapa bulan ini macet.
Suasana di rumah itu kembali tenang. Firdaus sudah makan, begitu pula anak istrinya walaupun hanya dengan nasi dan indomie berkuah telur. Kopi sudah beberapa kali dia teguk. Dia lalu bersiap-siap menemui Pak Bowo yang biasanya jam 3an sudah kembali ke rumah.
“Bang, pegimana kalau Abang bawa sajadah. Nanti salat dulu di masjid komplek, berdoa, habis itu baru ke rumah Pak Bowo,” usul Lena. “Pak Bowo pasti senang ngeliat Abang alim.”
“Wah, kayak salat idul fitri aja..”
“Gua udah lama nggak salat berjamaah. Malu ah..”
“Udah, Bang.. Nurut sama istri sesekali-sekali, kek.”
“Ya udah dah. Siapa tahu doa Lu makbul..”
Firdaus melangkah dengan mantap. Tidak lupa dia mengucap Bismillah. Ayunan kakinya pun terasa ringan. Dia merasa akan mendapat rezeki kali ini.
Baru memasuki komplek, di ponselnya masuk WA dari Juki.
“Daus, dimana Lu. Ke pangkalan dong. Ada Topi Miring nih. Ditraktir Satiri..”
“Busyet siang-siang. Insyaf dong..”
“Ah, sok alim Lu. Ditunggu ya..”
Hatinya Daus jadi bimbang. Dia ingat teman-temannya yang setia kawan karena mereka kenal sejak kecil, bertetangga, atau bersekolah bersama. Dia ingat juga anak istrinya yang perlu makan dan hanya bisa kalau dia ada pemasukan uang. Dia melamun sambil berjalan.
“Mampir dulu sebentar, setia kawan dong,” kata hati yang satu.
“Eh jangan. Ingat Lu sudah bawa sajadah, langsung ke masjid,” kata hati yang lain.
“Enakan mabok, lupain masalah dunia,” ujar suara hati yang lain.
“Kalau salat, doa Lu bisa dikabulkan Allah Swt,” balas kata hati satunya.
Pikirannya jadi bergejolak. Bingung mau memilih yang mana. Dia melihat ke depan. Jalan lurus ini akan mengarah ke masjid yang ada di sebelah kiri, dan di sebelah kanan berbelok sedikit, ada pangkalan ojek yang menjadi tempat nongkrong pengojek dan teman-temannya.
Berjalan melamun, dia tidak lihat lubang di aspal yang mengelupas. Sandalnya terantuk. Daus kehilangan keseimbangan. Dia terkejut. Jatuh tertelungkup. Jantungnya berhenti.
Lena hanya bisa menjerit-jerit ketika jenazah Daus dibawa ke rumah. Tetapi dia senang karena semua memuji suaminya yang wafat dalam perjalanan ke masjid (sehari kemudian setelah membaca WA di HP suaminya, dia jadi kurang yakin).
Yang membuat senang, Pak Bowo menyempatkan diri datang dan memberinya ampol yang cukup untuk bayar hutang dan makan sebulan. Belum lagi amplop dari mereka yang bersimpati pada keluarganya.***
Ciputat, 23 April 2021