Mimbar-Rakyat.com (Jakarta) – Tingginya potensi gempabumi di wilayah Indonesia sepatutnya tidak membuat masyarakat terus-menerus dicekam rasa takut dan khawatir berlebihan. Masyarakat harus terus meningkatkan kemampuan dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempabumi.
Kepala Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, dalam siaran pers yang dikeluarkan BMKG, Minggu (4/3), menyatakan, kita patut mengambil pelajaran dari apa yang telah dilakukan warga Jepang saat terjadi gempa Kobe 1995. Warga Kobe yang selamat dari bencana tersebut adalah karena upaya pertolongan sendiri (34.9%), pertolongan keluarga (31.9%), pertolongan teman atau tetangga (28.0%), pertolongan pejalan kaki (2.6%), pertolongan oleh tim penyelamat (1.7%), dan pertolongan lainnya hanya (0.9%).
Melihat data tersebut, menurut dia, tampak bahwa upaya pertolongan sendiri (self assistance) menempati jumlah tertinggi. Ini cerminan bahwa masyarakat yang paham mitigasi akan memiliki peluang lebih besar selamat dari bencana.
Untuk itu, dikatakan kegiatan sosialisasi gempabumi dan gladi evakuasi harus digalakkan secara rutin dan terus menerus, baik di sekolah, perguruan tinggi, perkantoran, rumah sakit, hotel, dan di gedung-gedung publik di tengah-tengah masyarakat. Hal ini akan dapat menjadikan seluruh masyarakat lebih paham dan lebih siap dalam menghadapi bencana, serta lebih terampil dan cekatan dalam melindungi ataupun menyelamatkan dirinya saat terjadi gempa.
Kesiapan menghadapi bencana erbukti di Jepang dapat memperkecil risiko jumlah korban dan kerugian, maka upaya mitigasi gempabumi harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan komprehensif dengan melibatkan kerja sama multi-lintas disipliner, multi-lintas sektor, dan peran serta seluruh lapisan masyarakat, baik saat pra-bencana, saat terjadi bencana, dan pasca-bencana. “Karena itu perlu dilakukan langkah-langkah kongkrit dan terkoordinasi,” kata Dwikorita, seperti teruang dalam siaran pers.
“Telah kita pahami wilayah Indonesia terletak di zona tumbukan lempeng-lempeng tektonik aktif, maka wilayah Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempabumi.” Katanya.
“Karena tingginya potensi gempabumi di Indonesia maka penting kiranya kita memperhatikan peta bahaya dan risiko bencana, sebelum merencanakan penataan ruang dan wilayah. Perlu ada upaya serius dari berbagai pihak dalam memperketat penerapan “building code” dalam membangun struktur bangunan tahan gempa.”
Untuk bangunan yang sudah ada dan dihuni, perlu dicek kesehatan/kekuatan strukturnya. Bahkan Pemerintah Daerah perlu melakukan audit struktur bangunan dan infrastruktur di daerah rawan gempa. Apabila dinilai membahayakan, perlu diterapkan rekayasa teknis untuk penguatan struktur bangunan.
Sistem Mitigasi Bencana Gempabumi yang berkelanjutan yang telah terbangun dengan Koordinasi BNPB, menurut dia perlu diperhatikan, demi menjaga keselamatan warga masyarakat di daerah rawan gempabumi.***(edy t)