Kumegarkan daun telinga mencari suara azan disubuh buta
Tak bergetar membran karena sumber suara jauh diujung negeri
Tertutup altar bias dengan cicit burung gereja
Di Paniki Bawah masjid tua berselisih dengan tembok ruko
Karpetnya gundul horen nya terserang flu stadium empat
Tercium aroma apek ketika sujud jumatan disana
Khatibnya muda masih menyimpan semangat
Didepan jamaah yang masai dengan ghirah yang hampir padam
Jalan kesana menyusur gang berlapis aspal muda
Ketika Spanyol menanamkan pondasi bentengnya abad 16 lalu
Puncak gunung Lokon dan Soputan menjadi saksi
Tanah minahasa mulai menjadi
bumi nasrani
Di pangkuan Belanda Minahasa menjadi anak manja
Tapi masih ada Sam Ratulangi, Lapian , Maramis,Monginsidi dekaka
Yang memegang erat ujung akar keindonesiaan
Yang meraih lambaian pucuk nyiur kenusantaraan
Tamura anak muda kristiani yang mengantar saya jumatan
Menunggu dengan sabar diberanda gereja seberang jalan
Diwajahnya ada senyum keikhlasan
Di tangannya ada sesisir pisang
Untuk rekannya sepulang jumatan
Ahmad Istiqom ,Bandara Sam Ratulangi 1 Desember 2017
Baca Juga:
- SAJAK KEPADA PRESIDEN
- SAJAK KEPADA ORANG GILA
- Azab dan Peringatan, Puisi Djunaedi Tjunti Agus
- Siap Menang Siap Kalah
- Kepada Cermin
- Ode Kepada Maling
- Hujan Bulan Maret
- Pantun Nasihat
- Solitaire 23 Puisi A.R. Loebis
- Inikah Negeri Kita
- JERITAN HATI
- Balada Sendu Dihembus Angin ke Langit Biru Puisi A.R. Loebis
- “Tamu” itu pergi Puisi A.R. Loebis
- Jakarta Mabuk Puisi A.R. Loebis
- Itulah Hidup