Cerpen: Djunaedi Tjunti Agus
“Anda ini siapa? Seenaknya melamar anak orang? Saya tidak tahu asal usul Anda, pekerjaan Anda. Lagi pula Anda baru kenal anak saya empat, lima bulan ini.”
Saya tak menyangka Bu Nia bakal marah, karena pada dua kali kedatangan saya sebelumnya, dia dan suaminya begitu ramah.
“Mama sakit keras. Tolong datang segera ke Palembang, Mama dirawat di Rumah Sakit Charitas. Tolong Kak, bantu Alin.”
Saya tercenung membaca pesan singkat atau sms yang dikirim Alin. Peristiwa 6 bulan lalu, ketika Bu Nia, mamanya Alin, menghina saya, masih terasa menyakitkan.
Kini Bu Nia dirawat, Alin meminta saya datang. Saya tak bisa menerjemahkan, apa maksud semua ini.
Bingung. Karena itu saya belum menjawab sms Alin. Siang ini ketika berada di kantor, menjelang makan siang, Alin kembali mengirim pesan.
“Kak, tolong Alin. Paling lambat siang besok Kakak sudah ada di Palembang. Ini menyangkut masa depan Alin. Papa minta Kakak melupakan sesaat kekecewaan Kakak terhadap Mama.”
Saat itu juga aku menghubungi Alin.
“Ada apa sebenarnya Alin? Bukankah bahaya jika Kakak datang?”
“Alin dan Papa yakin, kedatangan Kakak akan membantu kesembuhan Mama. Tolong Kak. Kakak boleh kecewa pada Mama, tetapi jangan sakiti Alin.”
***
Semalaman saya tak bisa tidur. Dinginnya kamar ber-AC tak membantu. Dengan kepala terasa berat, mata perih karena kurang tidur, saya ke kamar mandi. Guyuran air hangat, busa shampo di kepala, gosokan sabun di seluruh tubuh, cukup membantu. Semprotan shower menghilangkan kantuk.
Tinggal di apartemen, di kawasan Kebayoran Baru, membuat saya hidup serba praktis. Sebagai bujangan itu sudah cukup. Setelah ngopi atau ngeteh, berangkat kerja. Kerutinan terus berjalan, termasuk pagi ini ketika menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Sampai di Blok M sebuah Bus Damri hendak berangkat. Masih ada beberapa bangku kosong, saya memilih di bagian tengah. Begitu duduk pikiran kembali tertuju pada Alin.
Saya tetap ragu kehadiran saya bisa membantu Bu Nia, mengingat 6 bulan lalu dia marah besar mendengar ucapan saya ingin melamar Alin, ketika saya menemuinya di rumahnya, di kawasan permukiman elite, dekat pemukiman atlet PON XVI, Jakabaring.
“Anda ini siapa? Seenaknya melamar anak orang? Saya tidak tahu asal usul Anda, pekerjaan Anda. Lagi pula Anda baru kenal anak saya empat, lima bulan ini.”
Saya tak menyangka Bu Nia bakal marah, karena pada dua kali kedatangan saya sebelumnya, dia dan suaminya begitu ramah.
“Maafkan saya Bu. Saya tidak bermaksud lancang. Tapi kami sudah cocok.”
“Lo, lo. Kok kamu yang menyatakan sudah cocok. Kami kamu anggap apa? Ini soal masa depan Alin. Memangnya Alin barang dagangan, bisa dibeli siapa saja, kapan mereka suka?”
“Saya bermaksud baik Bu. Kalau Ibu dan Bapak setuju, wakil orangtua saya akan melamar secara resmi.”
“Tidak!” Ibu Nia setengah berteriak. Alin pucat, papanya hanya diam.
Saya tak mampu lagi melanjutkan permohonan.
“Kami tak akan pernah melepas Alin menjadi istri Anda, kecuali Jembatan Ampera bisa turun naik lagi, dan kapal-kapal besar bisa berlayar hingga hulu Sungai Musi.”
***
Perasaan saya terus berkecamuk. Setiba di Bandara Soekarno-Hatta saya terpikir membatalkan saja kepergian ke Palembang. Tapi hati berkata, saya harus dewasa. Bila selama ini berusaha menjaga jarak dengan Alin, itu demi kebaikan Alin. Kaki melangkah menuju konter penjualan tiket.
“Bapak segera melapor ke check in counter. Setengah jam lagi pesawat take-off,” kata petugas penjualan tiket.
Sambil masuk ke ruang check in saya menghubungi Alin.
“Kakak langsung saja ke rumah sakit. Paviliun tempat Mama di rawat berada di lantai lima. Alin dan Papa menunggu.”
Pesawat Garuda yang saya tumpangi berangkat tepat waktu. Tak sampai satu jam sudah akan mendarat di Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II. Meski tak terlalu sering ke Palembang, sejak mengenal Alin saya merasa begitu akrab dengan kota di pinggir Sungai Musi itu.
Saya mengenal Alin secara kebetulan, ketika bertugas ke Palembang. Kami bertemu di GOR Sriwijaya saat saya hendak menemui sepupu saya, salah seorang ofisial bulutangkis asal Muara Enim di kejuaraan bulutangkis daerah Sumatera Selatan. Ketika berpapasan dengan seorang gadis yang mengenakan t-shirt panitia, saya langsung bertanya.
Menurut dia, pemain Muara Enim baru bertanding pukul tiga sore. Berarti saya harus menunggu sekitar dua jam.
“Tunggu saja Kak di dalam, sambil menonton pertandingan.”
“Yah. Boleh juga. Apalagi kalau adik mau menemani,” jawab saya sekenanya. Di luar dugaan, gadis manis bertubuh ramping, berkulit putih, dan bermata sedikit sipit itu menyetujui.
“Kebetulan saya juga baru mulai bertugas pukul tiga. Mari Kak,” katanya. Penonton tak begitu banyak. Kami mengambil tempat di bagian agak kosong. Saya pun memperkenalkan diri, menyebut nama dan domisili.
“Nama saya Charoline. Panggil Alin saja Kak,” jawabnya.
Entah kenapa kami cepat akrab. Alin tamatan salah satu fakultas di Universitas Sriwijaya dan baru dua tahun bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dia memanfaatkan masa cutinya membantu penyelenggaraan kejuaraan bulutangkis antarkabupaten se-Sumsel.
“Memang banyak yang beranggapan Alin keturunan Tionghoa. Mama asli Palembang, Papa dari Muara Enim. Mama dan Papa sudah menunaikan ibadah haji. Orang Palembang banyak yang mirip orang China, Kak. Mungkin ada darah China-nya. Dulu kan banyak pedagang asal China datang ke Palembang di zaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya,” kata Alin menjawab pertanyaan saya.
Setelah mengenal Alin, setiap kali perusahaan perkapalan tempat saya bekerja ada kegiatan di Palembang, saya minta diikutkan. Kami selalu menginap di hotel berbintang di ujung Jalan Kapten A Rivai, persis bersebarangan dengan RS Charitas–di pertigaan Jl. Kapten A Rivai dan Jl. Jenderal Sudirman–atau hanya sekitar satu kilometer dari toko mebel milik papanya Alin.
***
Tak seperti biasanya, penerbangan Jakarta – Pelembang terasa begitu cepat. Saya makin was-was, karena sebentar lagi bertemu Bu Nia. Di tengah kebingungan saya berharap terjadi keajiban. Mudah-mudahan karena kuasa Allah, saat berada di Palembang, Jembatan Ampera yang menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir– dua daerah Kota Palembang yang dipisahkan Sungai Musi–bisa turun naik lagi. Dengan berfungsinya jembatan sepanjang 1.177 itu, seperti saat peresmian pemakaian tahun 1965, Bu Nia tak bisa lagi menolak keinginan saya dan Alin.
Tengah asik berdoa, tepatnya berkhayal, taksi memasuki halaman RS Charitas. Makin gugup, tapi saya pasrah.
Berada di depan pintu paviliun yang diberitahukan Alin sebelumnya, saya tak langsung mengetuk pintu, karena di dalam terdengar begitu ramai. Orang-orang tertawa, seperti bukan sedang menunggui orang sakit. Tiba-tiba seseorang membuka pintu. Dia adiknya Alin, Yeyen.
“Mama, Papa, Kakak sudah datang,” teriaknya.
Suara yang tadinya ramai mendadak sunyi. Dada berdegub kencang, langkah terasa berat.
“Ayo masuk. Papa dan Mama menunggu.”
Ajakan Chandra, kakak tertua Alin menyadarkan saya. Rupanya lengkap yang menunggui Bu Nia. Alin empat bersaudara, dia anak ketiga. Saya pikir, mungkin kakak kedua Alin, Mirna, ada di dalam. Apa Bu Nia begitu parah?
Saya mengikuti langkah Kak Chandra. Tapi kok tempat tidur pasien kosong.
“Mana Bu Nia?”
Chandra tak menjawab, menunjuk ke arah deretan kursi dan sofa. Saya melihat satu persatu, di situ ada Mirna, tapi Alin tak ada. Saya juga tak melihat Bu Nia. Tapi siapa wanita yang duduk membelakang ke arah saya?
“Mari, mari. Duduk di sini,” panggil Mirna.
Bagai dihipnotis saya ikuti saja. Saya salami Mirna, juga papanya. Melirik ke arah kiri, darah saya langsung naik ke ubun-ubun. Ternyata ibu yang membelakang pintu masuk tadi adalah Bu Nia. Saya ragu dan sempat mundur. Tiba-tiba Bu Nia tersenyum, mengulurkan tangan.
“Silakan duduk. Saya sudah bilang pada Chandra, Mirna, Alin, Yeyen, dan Papa, kali ini hanya saya yang boleh bicara.”
Dada saya kembali berdegub kencang. Apa Bu Nia belum puas menghina saya?
“Ibu sudah sembuh? Apa yang harus saya lakukan?”
“Anda cukup menyatakan ya atau tidak dan siap atau tidak.”
Bu Nia menjangkau sebuah album foto yang ada di atas meja di samping kirinya.
“Ini. Foto ini, apa Anda kenal orang-orang ini?”
Saya terpana. Dari mana Bu Nia mendapatkan foto itu, sebuah foto lama, kejadian 22 tahun lalu. Saya juga memiliki foto itu, foto peninggalan almarhumah ibu saya. Menurut ayah kami, saat itu saya berusia 5 tahun dan ibu sangat bangga dengan ibu-ibu yang ada dalam foto itu.
“Ya, saya kenal. Ini Ibu saya. Yang dipangkuannya itu saya. Ini foto ketika Ibu tinggal di Palembang.”
Kemudian sunyi, semua diam. Tak ada yang bersuara.
“Lalu apa Anda benar-benar siap mempersunting Alin?”
Saya tak percaya mendengar pertanyaan itu. Saya memandang Bu Nia. Rautnya serius. Saya ragu, apakah ini bukan jebakan?
“Apakah Jembatan Ampera sudah bisa turun naik lagi Bu?” tanya saya tiba-tiba saja.
Ruangan mendadak riuh dengan tawa. Bu Nia pun tergelak. Pintu terbuka, Alin bersama dua orang wanita masuk. Saya mengenal salah satunya. Dia Makcik Hasanah, adik ibu yang tinggal di Muara Enim. Saya menyalami Makcik dan mencium tangannya, kemudian menyalami Alin, dan ibu yang satunya lagi yang ternyata adalah Ibu Farida, adik papanya Alin.
“Bukan karena Jembatan Ampera, tetapi Hasanah memberi alasan kuat pada kami,” kata Bu Nia.
Makcik Hasanah datang ke Palembang menemani Bu Farida, membesuk Bu Nia. Dialah yang memberitahu Bu Nia bahwa salah satu foto di album yang setia menemani Bu Nia di rumah sakit adalah ibu saya. Ibu dan Bapak saya berasal dari Sumatera Selatan, persisnya Muara Enim, 180 Km lebih dari Palembang. Ayah dan Ibu pernah lama tinggal di Palembang.
“Ini jalan yang ditunjukkan Allah. Siapa mengira Farida kenal dengan Hasanah,” kata Bu Nia.
“Erni, ibumu itu teman akrab saya. Kami lima bersahabat kental. Sayang ibumu meninggal ketika baru setahun pindah ke Jakarta. Kak Sarifah kembali ke kampungnya di Padang, Mbak Surti ke Semarang, dan Rafiah kini berada di Pert, Australia, ikut anaknya. Kami bertetangga di Kertapati, tak jauh dari Stasiun Kereta Api Kertapati.”
Saya hanya diam.
“Yang duduk di sebelah kiri ibumu adalah saya. Yang ibu pangku ini Alin, ketika itu baru berusia 3 tahun. Anda dulu sering mencium pipi Alin.”
Alin tersipu.
Saya betul-betul bahagia, Charitas, tempat saya dan Alin dilahirkan kembali membuat cinta kami bersemi.
“Kalau begitu tukar cincinnya di Jembatan Ampera saja Ma. Di Taman Kembar, di bawah Jembatan Ampera,” kata Yeyen. Ucapan polos yang tak terduga dari adik bungsu Alin mengundang tawa. Tanpa saya sadari air mata membasahi kelopok mata, air mata bahagia.***
Jakarta, awal Januarai 2010
Pernah dimuat di BERITA PAGI Palembang/24 Januari 2010