Dua puluh tahun lebih Ibrahim menggunakan kendaraan pribadi untuk ke kantor. Tahun 1990an, sudah ada macet sedikit-sedikit tetapi dia menikmati saja jalan raya dari rumahnya di kawasan Ciputat ke kantor di tengah kota. Hampir tidak ada pilihan memang. Pernah dia mencoba naik angkutan kota, mikrolet, tetapi sungguh dia merasa tidak nyaman.
Pertama adalah karena penuh bahkan terlalu penuh sehingga manusia diperlakukan seperti binatang yang tak akan protes dipaksa berjejal-jejal. Kedua, waktunya tidak menentu. Kalau belum penuh, supir seenaknya ngetem, kalau kebetulan ada saingan maka terjadi kebut-kebutan yang membuat jantung berdebar-debar. Ketiga, tidak aman karena selalu saja ada kemungkinan copet beraksi dan yang pasti dalam sekali perjalanan bisa naik tiga empat kali pengamen yang berisik dan terkadang mengancam. Dengan pakaiannya yang rapi, maka semua menjadi serba salah bagi Ibrahim. Akhirnya dia konsisten menggunakan mobil pribadi, walaupun lebih mahal, lebih pagi meninggalkan rumah, dan terkena macet khususnya waktu pulang.
Ketika anak-anaknya masuk sekolah menengah dan kuliah, kerugian seperti berkurang karena Ibrahim lalu sekalian mengantar anak-anaknya. Ke sekolah, kemudian ke halte terdekat untuk naik kendaraan lain ke kampus, bahkan kadang pulang bersama bila waktunya cocok. Jadi ada kesempatan pula dia berkomunikasi karena biasanya di rumah susah bertemu, dia berangkat ketika anak masih tidur dan pulang ketika sebagian sudah masuk kamar tidur. Dia menikmati kehidupan seperti itu mulai dari anak sulungnya masuk SLTP sampai anak bungsunya selesai SLTA. Kira-kira 12 tahun lamanya dia menjelajah kota dari ujung Selatan sampai mendekati ujung Utara. Melelahkan tetapi mungkin karena faktor umur, tidak dirasakan.
Beruntung ketika dia kemudian pindah ke induk perusahaan yang berada di lintasan keretapi dan bahkan jaraknya lebih dekat. Jarak tempuh kendaraan tidak lagi terlalu jauh, berkurang kira-kira 10 km, dan waktunya kira-kira setengah jam. Tetapi kemacetan yang semakin merata, kemana-mana dan dari waktu ke waktu sejak pagi hingga malam, mulai menimbulkan kebosanan. Ada lagu-lagu dan siaran di radio, tetapi Ibrahim merasa penat setiap hari. Berjam-jam duduk di jok mobil sungguh menyiksa dan merenggut kebugaran tubuh.
Maka ketika tetangganya kemudian bercerita tentang enaknya naik keretapi Ibrahim mulai ingin mencoba. Kebetulan rumahnya hanya beberapa menit dari stasiun Jurangmangu, stasiun baru yang didirikan menyusul Tragedi Bintaro 19 Oktober 1987. Dulu setelah stasiun Sudimara hanya ada stasiun Kebayoran Lama, tetapi karena dianggap terlalu panjang maka di tengahnya dibuatlah stasiun Jurangmangu dan Pondok Ranji. Selain untuk keamanan wilayah itu berkembang pesat menjadi wilayah pemukiman dengan puluhan perumahan, jadi mereka tidak perlu jauh-jauh ke Sudimara untuk menumpang keretapi.
Banyak sekali tetangganya yang ngantor dengan keretapi. Yang berkantor di kawasan kawasan Monas, Harmoni, begitu turun di stasiun Tanah Abang tinggal meneruskan dengan mikrolet. Yang di kawasan Sudirman, menyambung dengan kereta ke Manggarai, lalu berjalan kaki atau naik bus kota. Sedang yang berkantor di kawasan Senayan, bisa turun di Palmerah atau di Kebayoran. Kelebihan angkutan ini jelas, rata-rata tepat waktu dan lebih murah.
***
PADA awalnya, ketika kereta masih dikelola gaya lama, Ibrahim sempat mengeluh juga. Beberapa kali ketika berangkat dia gagal masuk ke keretapi listrik karena penumpangnya sudah terlalu penuh, dan terpaksa menunggu lama, bisa satu jam. Kalaupun bisa masuk, nasibnya seperti ikan sardine di dalam kaleng, terjepit dan tak berkutik. Bila waktu mendesak, apa boleh buat, kadang kaki sampai kram karena tidak bisa digerakkan.
Kadang dia paksakan naik kereta rakyat, kereta diesel, yang populer dengan istilah kereta odong-odong. Karena tidak ada AC, panasnya bukan main, walupun pintu terbuka lebar dan angin masuk sebesar-besarnya. Yang bikin repot adalah pedagang asongan, yang berjualan mulai asesori rambut, celana dalam, sampai makanan dan minuman yang siap santap. Belum lagi pengamen yang bergerak dari satu gerbong ke gerbong lain. Mereka ini keterlaluan bikin susah, karena tidak beli tiket, dan justru memaksa bergerak dengan mendesak penumpang yang jelas-jelas bayar.
Beruntung ada Ignasius Jonan, boss keretapi yang melakukan revolusi besar-besaran. Mulai dari pengadaan gerbong berAC, mengetatkan aturan tidak ada pengamen, pengasong di kereta, sterilisasi stasiun kereta, sistem karcis elektronik, dan yang terpenting: menurunkan harga. Tetapi anehnya, perusahaan yang puluhan tahun rugi, sejak tahun 2014 untung. Padahal gaji-gaji masinis, kepala stasiun, satpam, penjaga lintasan, semua dinaikkan berkali-kali lipat. Ternyata selama ini banyak kebocoran sehingga uang yang diperoleh, tidak semua masuk ke perusahaan, banyak pula yang merembes ke orang-orang tertentu. Dengan sistem tiket elektronik, termasuk untuk parkir di wilayah steril stasiun, menjadi keretapi sebagai iklan berjalan, uang masuk diterima bersih.
“Aku beruntung berkantor dan tinggal di tempat yang dekat dengan lintasan keretapi, jadi tidak mau naik kendaraan umum, kecuali untuk kondisi tertentu,” kata Ibrahim dengan bangga, kepada teman-temannya di organisasi atau pun di pergaulan sosial lain.
Satu catatan lagi yang dia ingin sampaikan, hidupnya pun lebih sehat. Naik turun tangga stasiun keretapi atau berjalan kaki menuju stasiun, membuat otot-otot kaki dan tangannya yang sudah mulai menua, aktif lagi. Jadi di luar olahraga jogging atau jalan kaki, kadang keringatnya keluar juga dalam perjalanan menuju atau sepulang dari kantor.
“Waktu bawa mobil, aku hanya jalan beberapa meter. Menuju garasi di rumah atau tempar parkir di kantor. Nggak sempat keringatan,” katanya.
Kalau dia berkunjung ke poliklinik kantor untuk konsultasi atau pemeriksaan kesehatan, dokter yang melayaninya selalu memuji kesehatan Ibrahim. “Wah, tekanan darah Pak Ibrahim masih bagus ini. Ukurannya 80/120. Untuk seusia bapak, biasanya sudah di atas 130,” kata dokter Harja. “Ini gara-gara naik keretapi, Dokter. Saya jadi banyak bergerak,” balas Ibrahim.
Sebagai senior di perusahaan, kadang banyak yang heran juga Ibrahim menggunakan angkutan umum karena dia sebenarnya mendapatkan jatah mobil dinas yang lumayan, walau sering disebut mobil sejuta umat. Menelusuri trotoar dari stasiun ke kantornya di siang hari kadang dia berkeringat saat masuk ke kawasan kantor. Tidak enak rasanya, karena pegawai yang di bawah usianya datang dengan mobil, tidak terlihat wajah yang kepanasan.
“Ah, aku nggak perduli gengsi. Ini pilihanku kok. Santai aja,” katanya ketika sempat ditanya istrinya. “Kalau acara resmi, aku kan bisa naik taksi. Kalau acara biasa, aku bisa naik ojek. Nggak masalah.”
***
USAI menyelesaikan pekerjaan pada malam hari, Ibrahim merasa senang berjalan dari kantor menuju stiasun yang kini berdiri megah setelah direnovasi sekitar satu tahun. Ya, karena jam kerjanya kini berubah menjadi sore hingga jelang tengah malam, hampir selalu dia naik kereta terakhir, yang tujuan akhirnya adalah Parungpanjang. Saat jam menunjukkan waktu 23.36, dia sudah harus tiba di peron stasiun menunggu kereta pengangkut orang-orang yang pulang saat malam akan berganti hari. Lalu dalam waktu sekitar 18 menit dia akan turun. Pernah dia berjalan kaki menuju rumahnya yang hanya berjarak sekitar satu kilometer lebih karena ingin menghirup udara segar, tetapi belakangan dia selalu naik ojek, sekalian berbagi dengan orang-orang setempat yang mencari nafkah dengan sepeda motor. Berbagi rezeki saja.
Menikmati malam, kadang dia berjalan lewat pasar dari kantornya, membeli apa yang dia rasakan diperlukan di rumah. Entah jambu, pisang, pernah juga ikan asin, tempe, tomat, atau sayuran segar. Ibrahim merasa oke-oke saja, tidak malu, karena tokh sambil jalan. Apalagi harganya pasti lebih murah karena dijual pedagang yang ambil langsung dari pasar induk. Beda dengan di tukang sayur ataupun warung dekat rumah, yang beli barang jualan juga di pasar.
Kereta terakhir selalu dipenuhi orang-orang yang lelah bekerja. Banyak yang tertidur, dan kalau bisa merebahkan diri di kursi yang empuk. Walaupun sekarang agak sulit, karena penumpang semakin banyak. Beda dengan setahun lalu, kalau dia pulang paling banyak gerbong berisi 10 orang, sekarang praktis hampir penuh. Bisa jadi karena orang semakin memanfaatkan jasa angkutan umum yang cepat dan tepat waktu. Atau karena harganya yang murah, antara Rp 2.000 atau Rp 3.000, untuk jarak 15 kilometer atau 25 kilometer.
Saat termenung menunggu kereta terakhir menuju rumah, Ibrahim sering mengucap syukur pada Sang Pencipta. Rumah yang dia beli lebih 30 tahun lalu, yang semula terasa begitu terasing karena jauh dari Pasar, jauh dari jalan utama, gelap, dan menyeramkan, kini justru dipenuhi kemudahan ketika keretapi menjadi sarana angkutan yang dimajukan negara. Rumah itu seperti berkah yang tak terhingga. Alhamdulillah…
***
Agustus 2015