MIMBAR-RAKYAT.com (Jakarta) – Tiga nenek tua dalam waktu tidak terlalu jeda lama menjadi pesakitan. Kejagung membentuk Satgasus yang terdiri dari 100 jaksa andalan, Polri mengganti Kabareskrimnya dengan perwira andalannya, Namun yang marak diberitakan akhir ini bukan aksi pemberantasan korupsi atau pemberantasan premanisme. Tetapi aksi pemborgolan makhluk renta yang katanya mencuri .
Usia mereka yang sudah senja tidak menghalangi mereka untuk “dikecek” (diborgol) dan dijadikan pesakitan dengan kesalahan ecek-ecek. Seperti biasa, polisi berdalih tidak bisa menolak pengaduan.
Polisi dan jaksa disemangati menegakkan keadilan atas nama Tuhan dengan gagah berani menyeret makhluk renta ini ke meja hijau. Ironi bila melihat fisik yang kurang gizi dan kondisi kemelaratan mereka dibandingkan dengan penggarong uang negara yang bahkan ada yang masih bebas berkeliaran.
Benarkah Dewi Keadilan memang buta ?
Berturut-turut bisa bisa disebutkan nenak-nenak malang itu. Nenek Asvani (63 th), Mbah Minah (65 th) dan nenek Artijah (70 th)
Nenek Asyani
Siang itu di ruang sidang pengadilan negeri (PN) Situbondo, Jatim. Berjongkok sambil mwenyembah-nyembah didepan meja hakim , nenek Asyani , asal Kecamatan Jatibanteng, meminta belas kasihan majelis hakim, agar dibebaskan dari tuduhan pencurian kayu jati (illegal logging).
Kayu yang ditebang sekitar 5 tahun lalu itu, menurut angapannya, berada di atas lahannya sendiri. Asyani menangis histeris, saat kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusantara Situbondo membacakan eksepsi atau pembelaan.
Kata jaksa, nenek Asyani ini dijerat dengan pasal 12 juncto pasal 83 UU Nomor 18 tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
“Penyidikan kasus ini terkesan dipaksakan. Perbuatan yamg dituduhkan terjadi 5 tahun yang lalu. Terdakwa dipaksa mengakui atas perbuatan yang tidak dilakukan guna menyempurnakan BAP sesuai yang diinginkan penyidik. ,” kata Supriyono, kuasa hukum terdakwa, Senin (9/3/2015).Perhutani melaporkan kasus ini pada Agustus 2014 lalu.
Nyatanya polisi tidak malu. Apalagi setelah meletus kasus bambang Widjoyanto ketua KPK non aktif yang diangkat sebagai tertuduh atas kasus 2919. Atau kasus Novel Bswedan penyidik KPK yang diuber polisi dari kasus 8 tahun yang lalu. Ah, kasus nenek Asvani tdak bulug-bulug amat, pasti begitu batin polisi penyidiknya.
Nenek Asyani pun ditahan oleh penyidik sejak 15 Desember 2014.Llokasi penebangan pohon itu disebut berada di lahan milik Asyani. Namun di buku catatan tanah di kantor desa setempat, masih milik Asvani. Yang jelas, masih ada sengketa..
Saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Situbondo, Kamis (12/3/2015), Asyani menjerit, saat melihat Mantri Perhutani, si pelapor berada di ruang sidang. ke Mapolsek Jatibanteng.
“Been se tege ka engkok, engkok tak tao alako ngecok (Kamu yang tega ke saya. Saya tidak pernah mencuri),” jerit Asyani saat duduk di kursi pesakitan PN Situbondo.
Nenek Asyani histeris, saat tanggapan nota pembelaan kuasa hukumnya baru saja selesai dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ida Hariyani. Dia baru berangsur tenang setelah kuasa hukumnya meminta agar si mantri perhutani keluar dari ruang sidang.
Tudingan rekayasa penyidikan terhadap Asyani dibantah keras aparat kepolisian di Situbondo. Polisi memastikan, proses penyidikan yang dilakukan Unit Reskrim Polsek Jatibanteng sudah sesuai prosedur. (komentar standar).Sehingga tahapan penyidikan bisa diselesaikan dan berkas dinyatakan sempurna oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Situbondo.
“Proses penyidikan sudah selesai dan sekarang sudah memasuki tahap persidangan. Kalau ada yang merasa dirugikan, silakan tempuh jalur hukum,” kata Kasubbag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang Priambodo, Kamis (12/3/2015). Komentar yang sangat formal dan miskin aroma keadilan
Masih ingat Mbah Minah ?
Mtatanya tyang rabu hanya tertuju pada keselai yang ia panen. Saat asyik memanen , mata tua mbah Minah menangkapn 3 buah kakao ranum di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, 2 Agustus 2009 lalu. Terbersit keinginan untuk juga menanam kakao di pekaranganya. Mbah Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT Rumpun Sari Antan (RSA) untuk menanam kakao.
Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Nenek tua ini berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.
Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Dan hari Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Suasana persidangan Minah berlangsung penuh keharuan. Selain menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai terdakwa, majelis hakim juga terlihat agak ragu menjatuhkan hukum. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menitikkan air mata saat membacakan vonis.
“Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang,” ujar Muslih.
Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti sidang tersebut. Mereka segera menyalami Minah karena wanita tua itu tidak harus merasakan dinginnya sel tahanan.
Nenek Artija
KIisah ini tragis. Nenek Artija dijadikan pesakitan oleh anak kandungnya sendiri. Polisi dan jaksa hanya melihat prosedur dan hukum formal . Nenak yang berusia 70 tahun pada 2013 lalu, dilaporkan oleh anak kandungnya sendiri Manisa yang mengaku jika pohon yang ditebang itu berada di tanah miliknya. Manisa mengaku, hanya melaporkan kakak kandungnya, Ismail dan anaknya Syafii.
“Waktu itu yang saya laporkan adalah kakak saya, Ismail dan anaknya yang bernama Syafii. Saya tidak pernah melaporkan ibu saya karena sebagai anak saya juga mencintainya,” kata Manisa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jember, Kamis (25/4/2013) siang.
Manisa juga mengaku terkejut, ketika dalam perkembangan kasusnya, ternyata ibu kandungnya Artija juga menjadi tersangka, karena dianggap sebagai orang yang menyuruh menebang pohon. Manisa menduga, masuknya Artija dalam kasus ini, merupakan upaya yang dilakukan Ismail dan Syafii bersama penasihat hukumnya.
“Itu kan memang rekayasa mereka agar ibu saya tersangkut. Padahal saya tidak pernah melaporkan ibu saya. Kalau saya diminta mencabut laporan dan berdamai dengan ibu saya, ya saya mau. Tapi kalau diminta berdamai dengan Ismail dan anaknya, saya menolak,” tegas ibu dua anak ini.
Manisa juga menegaskan bahwa kayu yang ditebang Ismail dan Syafii merupakan pohon yang tumbuh di atas tanahnya. Tanah itu telah dibeli Manisa pada tahun 2002 lalu. Dia terpaksa membeli tanah itu karena oleh pemiliknya akan diwakafkan dan dijadikan kuburan
Sementara penasihat hukum terdakwa, Abdul Haris Afianto SH menampik tudingan bahwa dirinya merekayasa masuknya nama Artija dalam kasus tersebut. Menurut pengacara yang akrab disapa Alfin itu, masuknya nama Artija murni kewenangan polisi sebagai penyidik. Sebab Artija mengaku penebangan kayu itu atas perintahnya sehingga perempuan itu dianggap sebagai orang yang turut serta.
Dalam beberapa kali sidang, Artija selalu histeris karena tidak kuat menahan beban atas kasus yang melilitnya. Bahkan perempuan itu sempat dipapah ke luar sidang karena nyaris pingsan.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jember akhirnya menghentikan sidang kasus nenek Artija. Majelis hakim menyatakan tuntutan atas kasus pencurian kayu yang dialamatkan kepada warga lingkungan Gempal, Keluarahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari itu, tidak dapat diterima.
“Berdasarkan surat pencabutan perkara dari Kejaksaan Negeri Jember dan demi rasa keadilan masyarakat, maka majelis hakim memutuskan tuntutan terhadap terdakwa Ismail, Syafii dan Artija alias Bu Ismail, tidak dapat diterima,” kata ketua Majelis Hakim Ari Satyo Rancoko SH dalam persidangan, Kamis (16/5/2013).
Begitu hakim mengetukkan palu sidang, Artija pun tak kuasa membendung air matanya. Perempuan berusia 72 tahun itu pun langsung berdiri dari tempat duduknya dan menyalami majelis hakim, diikuti anaknya Ismail dan cucunya Syafii yang juga menjadi terdakwa.
Sambil terus meneteskan air mata, Artija mengucapkan terima kasih kepada 3 hakim yang menyidangkan kasus pencurian kayu bakar itu. (ais)