Bila sesama rekan yang meliput 40-an tahun lalu bertemu, apa yang terjadi? Saling peluk, tawa ria dan canda, memutar ulang rekaman suka-duka zaman baheula dan..doa bersama.
“Mari kita berdoa untuk kepulangan rekan kita Sakti Saung Umbaran..semoga ia diterima Allah SWT di sisiNya,” kata Mahfudin Nigara, pemrakarsa pertemuan “kongkow” di Senayan, Jumat siang (23/2/24).
Rekan Sakti Saung Umbaran yang baik hati, tukang melucu, – di mana dia ada di situ ada canda ria – peliput olahraga Pos Kota, berpulang Selasa 22/2/24, dalam usia 71 tahun.
“Itu lah usia. Sisa uang di kantong kita semua tau tapi sisa usia kita tak ada yang bisa menduga. Semoga Sakti diterima Allah di sisiNya,” kata senior kami, Norman Chaniago, ketika mengetahui kepergian Sakti dan air matanya berlinang ketika kami melayat ke kediamannya.
Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) PWI Jaya itu memang unik seolah tak ada duanya. Sejak ia berdiri, sekitar 1966 dan Bang Norman salah seorang pencetusnya, anggota amat kompak “turun temurun”.
Ini tidak terjadi di seksi liputan bidang lainnya, katakanlah bidang politik, ekonomi dan lainnya. Bahkan Siwo Jaya itu ada organisasinya, juga di tingkat PWI pusat dan ada pula pesta olahraganya (Porwanas), diikuti atlet wartawan dari seluruh Indonesia.
Nah, Jumat siang seusai salat Jumat, satu per satu anggota Siwo lintas generasi berdatangan ke salah satu ruangan di lantai lima FX Senayan, berhadapan langsung dengan lapangan bisbol, salah satu tempat liputan tempo doeloe.
Nostalgia dan kongkow
Selanjutnya, tentu saja suasana hingar binger, karena saling sapa dilanjutkan dengan cerita ngalor-ngidul, sembari mencicipi makan siang serta seruputan kopi.
Sekitar 40 wartawan olahraga lintas angkatan hadir dalam kesempatan itu. Mohon maaf tak terucapkan satu persatu tapi tidak mengurangi rasa hormat saya pada para sahabat. “Pertemuan kita ini hanya nostalgia dan kongkow saja. Tidak berbau politik praktis. Beberapa teman ingin ngopi bersama, selebihnya ajang saling memaafkan karena bulan Ramadhan hampir tiba,” kata Nigara.
Nigara, di antaranya pernah sebagai wartawan Kompas dan Tabloid Bola – pernah menjabat direktur utama Gelora Senayan dan kini sebagai staf ahli Menpora – meminta beberapa rekan berbicara apa saja, untuk menyemarakkan suasana.
Di antara rekan yang angkat bicara adalah Reva Deddy Utama yang kini sebagai salah seorang petinggi di AnTeve, Ian Situmorang (Bola), Jimmy S Hariyanto (Kompas), Djunaedi Tjunti Agus (Suara Karya), Hermanto (Waspada), Erwiyantoro Cocomeo Cacamarica (kini mengelola Radio Bola) yang langsung mengundang buka puasa di markasnya di Kandnag Ayam, Rajab Ritonga, Ahmed “Utun” Kurnia Soeriawidja, Kesit B Handoyo, Norman Chaniago dan Adhi Wargono dan penulis catatan ini.
Benang merah pembicaraan berkisar di antara pengalaman awal sebagai wartawan, suka dukanya, testimoni liputan Senayan, luar kota dan luar negeri.
Ada juga semacam “kenangan pahit” masa lalu, namun pada perjalanan hidup selanjutnya ternyata menjadi semacam pemicu keberhasilan di masa depan.
Rajab Ritongan yang kini berlabel Profesor, bercerita tentang “masa lalu” yang cukup pahit, tetapi ternyata kisah suram itu membawanya menekuni bangku kuliah sehingga menggapai gelar S2, S3, hingga profesor.
Nigara bererita tentang sedihnya perasaannya ketika suatu ketika dialihkan dari satu liputan ke liputan lain (sepak bola ke tinju). “Pada awalnya saya langsung diminta mewawancarai petinju asing..wah rasanya gimana gitu..gak tau mau nanya pake bahasa apa.” kata Nigara.
Namun masa lalu itu ternyata menggembleng jiwanya, sehingga lahir satu buku sejarah tinju dunia dan ia pun menjadi komentator tinju dunia hingga kini. “Semua ada hikmahnya,” katanya. Nigara dalam kesempatan itu membagikan bukunya tentang sejarah tinju dunia dan satunya tentang pengalaman meliput Diplomasi Kerupuk Udang.
Adhi Wargono bercerita tentang masa lalu dan serba serbi saat ia berhadapan dengan tokoh sepak bola Bardosono (Ketum PSSI), Djunaedi menceritakan pengalamannya meliput balap sepeda, demikian pula dengan Ian Situmorang yang juga peliput multi-event. Sedangkan Jimmy S Hariyanto bercerita pernah merasakan sebagai wartawan bodreks. Ketka purna tugas dari Kompas, suatu saat menhadiri acara dan ditanya identitasnya. Ia bingung dan spontas menyebutkan “bodreks”. Ia ngakak sembari mengatakan, “Masak saya sebut saya dari keris.com.” Keris.com adalah blog miliknya sendiri, tempat menuangkan hobinya menulis, selain di kompasiana.
Menanti kiprah para praktisi
Ahmed Kurnia yang akrab dipanggil Utun, banyak berceloteh tentang pengalamannya meliput saat masih bekerja di tabloid Mutiara, hingga akhirnya pindah ke Tempo.
Ia yang kini sebagai direktur Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI) kepengurusan PWI saat ini, menjelaskan ia sedang menyusun program agar anak didiknya kelak mendapat ilmu langsung dari para praktisi liputan olahraga. “Kita ingin agar anak didik nantinya mendapat pengetahuan langsung dari para praktisi liputan olah raga,,ya dari teman-teman sekalianlah,” tuturnya.
Bang Norman yang peling sepuh di antara para pensiunan liputan olahraga itu, kini ia berusia 82 tahun, dengan suara yang tetap lantang mengatakan, ia sudah mulai meliput di lapangan sejak tahun 1962.
“Kalau mau bicara tentang pengalaman, tak mungkin ada waktunya saat ini, harus ada waktu khusus,”ungkapnya sembari bercerita singkat apa yang dirasakannya. “Yang penting, saya merasa terharu saat ini masih dapat bertemu dengan rekan-rekan. Pertemuan ini pengobat hati yang rindu bagi saya..terima kasih Nigara yang sudah mengundang kita kongkow sembari ngopi,” katanya.
Bang Norman dan Mas Adhi Wargono pada kesempatan itu dengan senada menyatakan kebangaan mereka, karena masih diberi kesempatan mendapatkan anugerah “press card number one” (PCNO) – semaam penghargaan atas dedikasi mereka yang loyal menekuni dunia kewartawanan hingga masa senja mereka. PCNO diserahkan pada peringatan puncak HPN 2024 di Ancol, Selasa petang (20/2/2024) di hadapan Presiden Jokowi dan Ketua MPR Bamsoet serta para petinggi negara lainnya.
“Siapa yang tak bangga menerima penghargaan atau pengakuan sebagai wartawan di hadapan Presiden dan para pejabat tinggi lainnya. Ini amat berarti bagi saya. Kalo dikasi uang Rp10 atau Rp20 juta dalam sesaat akan habis tak ada bekasnya. Tapi anugerah PCNO ini tak akan ada habisnya karena bagi saya amat tinggi nilainya,” katanya.
Baca juga:
Peluncuran buku Siwo, dari pertemuan Atal & Hendry hingga tugas negara, Catatan A.R. Loebis
Reuni SIWO se-dunia 2022!, Catatan A.R. Loebis
Nah, Siwo PWI Jaya tak ada habisnya, tak ada matinye, kata teman-teman. Itu semacam celoteh, tapi kenyataan yang berbicara. Dalam kongkow itu, amat banyak nilai dan petuah yang amat berguna bagi generasi lintas usia.
Tumpahan rasa rindu sesama teman pada Jumat siang itu terasa amat singkat, hanya sekitar dua jam, tentu butuh waktu lebih panjang untuk saling cerita dan saling bercengkerama, dan semoga bersua di lain waktu. (***)