Kau mungkin heran, ada apa dengan kopi hingga dia harus dimasukkan ke dalam sepatu. Atau sebaliknya ada apa dengan sepatu sehingga di dalamnya harus ada kopi.
Tentu kau tahu, aku suka meneguk kopi sehabis berolahraga pagi, dengan berjalan kaki sekeliling kompleks. Atau juga minum kopi sambil menonton film serial Criminal Mind dan sejenisnya di televisi kabel di akhir pekan. Tapi sepatu dan kopi? Hmmm.
Ya kebetulan saja sebenarnya. Ceritanya begini. Mungkin kau masih ingat aku selalu naik ojek dari stasiun kereta ke rumah, setiap hari. Setelah bertahun-tahun tentu saja mereka menjadi teman bicara dalam perjalanan menuju ke rumah, yang tak lebih dari 6-7 menit. Ada saja yang dibicarakan, ya soal rumah tangga, soal lingkungan, bahkan soal negara he..he..he.
Suatu kali aku membawa dalam tas, oleh-oleh dari Jambi beberapa bungkus bubuk kopi. Ada teman di kantor yang baru bertugas di sana dan kepadanya dititipkan kopi oleh teman lainnya di Jambi. Lumayan empat bungkus kopi yang masing-masingnya 0,25 kilogram. Pada saat naik ke ojek sehabis turun dari kereta, ponsel yang kutaruh dalam tas berbunyi. Tentu saja aku ingin mengecek panggilan telpon itu. Waktu menarik ponsel, rupanya satu bungkus kopi terangkat, dan jatuh.
“Beli kopi, Pak,” kata Nana, si tukang ojek yang akan aku naiki.
“Oh nggak, ini tadi ada oleh-oleh dari teman,” jawabku spontan saja.
“Wah, asyik juga tuh. Banyak?.”
“Lumayan empat bungkus,” kataku lagi, karena masih sibuk melihat layar ponsel. Ternyata telepon dari nomer yang tidak ada dalam daftar kontak. Aku diamkan saja.
“Boleh dong satu,” katanya sambil terkekeh…
“Oh, boleh-boleh,” kataku. Langsung saja aku sodorkan bungkus kopi terjatuh yang belum sempat aku masukkan ke dalam tas. “Yang ini nggak apa-apa, kan?.”
“Bersih, Pak. Kan terbungkus,” kata Nana sambil memasukkan kopi ke saku jaketnya.
***
Aku belum sempat mencicipi AAA yang aku simpan di dalam kulkas supaya awet. Bukan hanya karena aku belum lagi ada keinginan untuk minum kopi, tetapi karena masih ada stok kopi lain sehingga pastilah itu dulu yang kuseduh. Tapi mengingat pengalaman waktu sempat satu minggu bertugas di Jambi, aku tahu kualitas kopi itu. Enak diminum, terutama kalau tanpa gula. Apalagi dengan roti baget atau singkong goreng.
Malam itu pulang kantor, setelah ke luar dari stasiun kereta kebetulan yang tersedia Nana di pangkalan ojek.
“Gimana kopinya? Enak?,” aku bertanya.
“Enak dong, Pak. Kopi mahal, pasti rasanya beda?”
“Nanti lain kali saya kasih lagi deh. Itu dari Sumatera lho.”
“Boleh deh Pak. Saya suka ngopi.”
“Tapi yang kemarin masih ada kan?”
“Masih, Pak saya simpan di toples biar awet. Kalau taruh di meja takutnya cepat habis. Kadang ada yang datang, bini saya main pake aja. Padahal mending beli kopi saset kalau buat tamu, mah.”
Aku tertawa saja mendengar kalimat Nana. Tentu dia bangga juga bisa punya kopi berkualitas baik, kualitas ekspor, karena biasanya hanya beli kopi instan, yang sudah bercampur gula dan susu. Ya, pasti harum ketika disedu air mendidih.
Entahlah. Mungkin juga karena dia merasa bangga, sebagai tukang ojek, dia mendapat pemberian dari orang yang dia angkut. Bergengsi karena diberi, bukan membeli.
***
Entah sudah berapa lama aku lupa. Tetapi kira-kira seminggu kemudian aku berjumpa dengan Nana, ketika akan berangkat ke kantor kira-kira pukul 9 pagi. Dia sedang duduk dengan dua temannya di dekat pintu masuk halaman stasiun. Dia melambaikan tangan. Aku membalas. Malamnya kami bertemu lagi, dia membawaku ke rumah.
“Masih kopinya?,” aku bermaksud memberinya bila nanti tiba di rumah. Masih ada sisa tiga bungkus dan belum satupun dikonsumsi.
“Habis, Pak.”
“Wah, berapa kali sehari ngopi kok cepat habis.”
“Ada ceritanya, Pak. Bukan diseduh habisnya. Ditaburin sepatu..”
“Hah. Ditaburin di sepatu? Jadi sesajen?”
“Ah, bapak ini. Nggak, ya ditaburin saja sama bini saya.”
“Aneh istri kamu itu.”
“Jadi, Pak. Ceritanya kan setiap malam sepatu saya itu kan ditaruh di dalam supaya nggak dicuri orang. Rupanya istri saya nggak tahan sama baunya. Entah dapat cerita dari siapa, dia taburin itu kopi ke dalam sepatu. Rupanya manjur. Bau sepatu saya hilang. Dua hari ditaburin, eh bener-bener nggak ada lagi baunya. Tapi ya habis deh kopinya,” kata Nana panjang lebar.
“Yang pernah saya dengar, kalau orang taruh ikan di kulkas, biar nggak bau memang banyak yang taruh bubuk kopi di piring. Kalau dalam sepatu, baru dengar nih.”
“Bisa jadi dia dengar dari tetangga yang suka mancing, Pak.”
Malam itu aku memberikan lagi satu bungkus kopi AAA ke Nana agar dalam toplesnya ada stok untuk minum kopi, selain upah ojek sebesar Rp 10.000 seperti biasanya. Sebelum pergi tidur, diam-diam aku taburkan juga kopi ke dalam sepatu karetku yang baunya sudah mengganggu, meski aku simpan di rak sepatu. Esoknya, aku memeriksa sepatu. Ehmmm sama sekali tidak ada bau apak yang biasanya tercium. Aku berterima kasih pada Nana.
***
Kopi dalam sepatu, begitulah ceritanya. Aku tidaklah sedang berpuitis ria atau meniru-niru judul film Garin Nugroho. Tentu saja kalau ditanya, aku sedang dalam posisi sangat rindu untuk bertemu kau yang ada di kota lain. Mudah-mudahan dalam minggu-minggu ke depan kita bisa bertemu lagi. Yang pasti sepatuku tak lagi bau. Tak lain karena kopi….
***
Palmerah, 17 Februari 2016