Ia mempermainkan karakter tokoh cerita dengan cermat – baik sebagai orang pertama tunggal mau pun orang ketiga – sehingga pembaca umumnya ingin cepat mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya (what next).
Ini menyebabkan saat membaca tiap judul cerita pendeknya, pembaca ingin secepatnya membaca secara tuntas isinya, sebelum beralih ke judul lainnya.
Ini merupakan kekuatan cerita di hampir semua karya Djunaedi Tjunti Agus, – wartawan yang ternyata sudah mulai menulis cerita pendek sejak 16 tahun lalu – tepatnya pada 2003.
Dari banyak Cerpen yang ditulisnya, ia memilih sebanyak 28 judul untuk cerita pendek HPN 2020, yang disaringnya hingga 2019. “Cerita pendek saya ini ditulis dalam tenggang waktu 16 tahun dan ini merupakan saringan dari banyak cerita pendek yang saya tulis,” kata Djunaedi, yang Cerpennya banyak dimuat di berbagai media cetak dan daring.
Cerita pendek Jun – panggilan akrab Djunaedi – bervariasi temanya, mulai dari yang bersifat sosial natural, sarkastis, drama kehidupan keluarga, kehidupan personal dan renungan pribadi hingga misteri.
Jun dengan mahir membangun konflik (baik bersifat internal = konflik dalam atau batin) maupun external (konflik luar) dengan alur cerita datar (flat character) mau pun bergelombang berkilas balik (round character).
Banyaknya pengalaman Jun, yang sudah berkelana ke berbagai tempat di dalam dan luar negeri, membuat ceritanya berwarna, ditandai dengan kemampuannya melakukan kilas balik dalam bertutur serta menggambarkan tempat secara geografis.
Jun menempatkan Bermuka Dua sebagai pembuka cerita. Ini melukiskan secara sarkastis, kisah manusia yang memiliki dua muka, depan dan belakang, yang berarti orang baik dan orang jahat. Hitam putih kehidupan manusia. Baik di mulut, buruk di hati. Ini lebih ngeri ketimbang Pinokio, yang panjang hidungnya bila berbohong.
Ini kenyataan, ada orang yang wajahnya dua, tentu ini analogi dari dua sifat manusia, di mana pun ia berada. Kejadian seperti ini dengan alur berbeda, terdapat juga dalam Pak Kades, Seribu Janji dan Patung. Inilah gambaran kehidupan masa kini.
Pada Sepeda Motor Tua yang menjadi judul buku ini, Jun menggambarkan kisah keluarga yang nelangsa kehidupannya (profesi), namun perjalanan hidup itu didukung dengan kuat oleh istri yang tidak ngoyo sehingga sang suami tegar. Cerita ini digarap dengan penuturan datar – lewat konflik dalam yang terus menanjak – tapi ditutup dengan happy ending.
Dalam Sang Pahlawan, Jun berimajinasi tentang Indonesia yang tampil sebagai juara dalam laga sepak bola Piala Dunia. Ia melukiskan plot kausa-efektif, hebatnya kemajuan olahraga di satu negara (Indonesia), karena hebatnya dukungan negara (presiden).
Cerita pendek futuristik ini menjadi menarik, karena faktor penokohan (dia), membawa pembaca ke masa depan, masa keemasan negara dan bangsa yang diidamkan. Apakah Anda tahu di mana Pulau Maratua? Pulau Kakaban? Pulau Palau di Kepulauan Mikronesia? Pulau Sangalaki? Letak geografis pulau-pulau ini secara sederhana dijelaskan dalam Di Simpang Jalan. Padahal cerita ini bertutur tentang konflik batin yang berkecamuk dalam diri seorang lelaki – tentang wanita dan istrinya.
Jun yang mantan wartawan olahraga, membawa pembaca berkelana ke beberapa tempat di daerah Sumatera Barat – sebagai latar belakang atau setting cerita – seperti tercermin dalam beberapa judul penuturannya -, menyebabkan imajinasi pembaca tersentuh semakin berkembang.
Tentang masalah percintaan, misterinya dengan segala lika-liku? Jun mahir merangkai alurnya, tentu saja ini bukan tentang kisah cinta remaja, apalagi romantisme picisan, melainkan gambaran benturan konflik batin dan kisah menyatunya dua hati anak manusia.
Bacalah Kembali Bersemi di Caritas, Cinta yang Terganjal, Mei Lie, dan Baju Kurung. Anda akan menemukan hal itu. Dalam Orang Asing – masih bercerita tentang kilas balik terpautnya dua hati manusia – Jun menutupnya dengan ending misteri, sebenarnya hampir sama dengan Mei Lie, ketika pada akhir cerita sang tokoh bermonolog: “Saya memegang dada kiri. Mata berkunang-kunang, kemudian gelap. “Papi, papiiiiii,” sayup-sayup saya mendengar teriakan Mei Lie.
Jun cekatan memainkan kata, frasa dan kalimat, sepuas hatinya, tidak seperti ketika menulis berita yang terpaku pada teori dan tenggat waktu. Melalui cerita pendek, ia membelok dari aturan baku penulisan “news” dan ia sekaligus menunjukkan bakatnya sebagai seorang pembuat cerita.
Ada beberapa cerita yang “kedodoran” alur atau plotnya, tapi Jun tetap memiliki naluri bercerita dan banyak pembelajaran serta pesan moral yang disampaikannya, sehingga enak membacanya. (dir)