Kebiasaan lelaki tua itu ada dua. Pagi menjelang matahari semburat sinarnya di ufuk Timur dan senja menjelang cahayanya sebentar lagi menghilang, dia duduk di atas tikar di tepi sawah. Ada segelas air di dekatnya, ada sebungkus rokok, terkadang ada penganan.
Kalau kebetulan ada anak-anak yang mendekat atau bahkan menyapanya, orang tua itu akan menyuruh dengan ramah agar mereka ikut duduk di tikar dan dia sedikit bergeser agar dapat duduk bersama. Warga desa yang lewat hanya sesekali menyapa atau menegurnya. Mereka agaknya ingin agar si lelaki tua menikmati kesendiriannya.
Dia tinggal bersama istrinya yang juga sudah berusia lanjut, di sebuah desa yang tidak banyak penduduknya. Di depan rumah-rumah yang jumlahnya tidak seberapa dan terpencar berjauhan, terbentang sawah yang ujungnya bukit-bukit dua gunung. Ada jalan kecil untuk berjalan kaki atau lintasan sepeda motor yang memisahkan perkampungan dan persawahan.
Sebenarnya rumah lelaki tua itu juga ada halaman, tetapi entah kenapa dia lebih suka duduk-duduk di rumput yang sedikit, di dekat saluran irigasi.
“Di sini angin banyak, dari semua arah. Kalau pagi dari arah gunung, kalau sore datangnya dari gunung menuju ke dataran ini. Jadi selalu sejuk,” katanya ketika ada yang bertanya. Udara yang segar karena lingkungan sekitar masih hijau dan bangunan yang tidak banyak, menjadikan tempat duduknya itu jadi lokasi yang nyaman. Apalagi bila aliran air irigasi agak besar, bakal terdengar gemercik air.
Kebiasaannya itu belum berlangsung lama, mungkin tiga empat bulan lalu. Entah apa mulanya, tetapi setelah dia mengikuti ceramah agama dalam memperingati hari besar. Ustadz muda yang kutbah di masjid dekat kantor kecamatan, menyampaikan hal terkait lingkungan alam yang sering diabaikan manusia. Padahal alam adalah salah satu petunjuk yang diberikan Tuhan Yang Maha Bijaksana untuk menunjukkan kebesaranNya. Dengan membaca alam, manusia akan semakin sadar betapa besarnya kasih sayang Allah SWT kepada makhlukNya, tetapi justru banyak yang lalai dan bahkan merusaknya.
“Allah menurunkan hujan ke bumi, menghidupkan yang mati. Menumbuhkan tanaman, ada yang menjadi padi atau gandum untuk kita makan, buah-buahan, kayu untuk membuat rumah atau perahu untuk menangkap ikan, menjadi alat kita bercocok tanam. Perhatikanlah betapa besar karuniaNya,” kata Ustadz muda itu. “Kalau Allah SWT tidak sayang kepada manusia, bisa saja benih yang kita tanam tidak menjadi pohon atau buah. Tetapi kalau panen besar, kita bahkan sering lupa bersyukur.”
Si lelaki tua jadi tersadar. Selama ini dia hanya menjalani rutinitas tanpa memikirkan apa di balik yang dikerjakannya. Dia selalu meyakini padi yang berbuah hanyalah karena kerja kerasnya mencangkul tanah, menanam, memupuk, mengairi, menjaga dari hama, sampai memanen ketika padi sudah menguning. Dia merasa jagung yang dia tanam, beberapa pohon kopi, berbuah lebat karena ketekunannya bekerja. Dia lupa ada Sang Pencipta yang memberikan rahmatNya sehingga apa yang dia lakukan itu berhasil.
***
Sepulang dari ceramah itu, dia merasa terpukul. Betapa sombongnya aku, pikirnya, seolah aku begitu hebat dan luar biasa bisa menjadikan semua tanamannya berhasil tumbuh subur dan memberikan penghasilan yang baik. Dalam salat malam dia bertaubat, meminta ampun, dan memohon agar diberi kemurahan.
“Ampuni aku ya Rabb. Maafkan kebodohanku. Aku lalai, aku sombong. Biarkanlah sisa hidupku aku jadikan saat untuk bersyukur atas segala nikmatMu,” katanya, mengangkat kedua tangan sambil meneteskan airmata.
Dan sejak itu dia tidak berhenti bersyukur. Bersyukur bahwa anak-anaknya yang merantau ke kota memiliki keluarga yang baik. Mereka juga rajin menyapa kedua orangtua dan setidaknya setahun dua kali berjumpa, entah mereka datang ke desa atau si lelaki dan istrinya dikirim tiket untuk datang ke kota bertemu cucu-cucu mereka.
Bersyukur bahwa pagi hari masih bisa bangun dalam keadaan sehat. Bisa makan dengan nikmat walau hanya berlauk ikan sawah dan sayur daun singkong. Bersyukur dapat berjalan kaki dengan normal tanpa kesusahan seperti tetangganya yang mengalami pengapuran tulang. Bersyukur masih bisa minum kopi pahit tanpa kena sakit maag. Bersyukur belum memakai kacamata walau sudah berusia di atas 60 tahun. Bersyukur masih dapat berjalan ke masjid untuk salat subuh berjamaah meski jaraknya hampir setengah kilometer.
Itu pulalah yang membuat dia suka menikmati alam menjelang terang dan menjelang datang malam. Dia ingat kisah Nabi Ibrahim, yang dulu mencari Tuhan dengan mengamati bulan dan matahari yang disembah kaumnya. Dia beruntung tidak harus berjuang untuk meyakinkan bahwa ada Allah SWT yang menciptakan itu semua, bukan patung-patung yang dipuja, seperti yang dialami Ibrahim sampai dia dihukum dan keluar dari kampungnya.
Memandang kejauhan, dia melihat padi yang tidak lama lagi akan dipanen. Dia bersyukur karena di tengah curah hujan yang tinggi, alam yang tidak menentu, di kampungnya tidak ada puso. Kerjasama warga, gotong royong mengurusi irigasi, menyemprotkan pupuk secara merata, dan bimbingan dari penyuluh, berjalan baik. Dan tentu saja selama ini pun warga selalu membuat perayaan syukur dengan berdoa bersama sehabis panen dan melakukan sedekah alam.
Dipandangnya sebatang padi yang tadi dia petik.
“Dari satu butir padi, tumbuh tunas, besar, lalu berbuah menjadi puluhan atau ratusan bulir di setiap batang. Betapa baiknya Allah SWT,” katanya dalam hati. “Dari sebutir jagung, tumbuh 5-6 bongggol, yang berisi ratusan biji jagung. Sungguh luar biasa karuniaNya. Kenapa selama ini aku tidak memperhatikan.”
Ya dia ingat ceramah yang dia dengar di televisi. Kalau kita menanam satu kebaikan, maka dia akan berbuah menjadi tujuh kebaikan, dan dari setiap kebaikan itu akan tumbuh lagi sepuluh kebaikan. Sehingga sebenarnya sangat beruntung orang yang selalu berbuat baik ketika dia menjalani hidup setiap hari.
“Misalnya kita membeli dagangan orang yang berjualan. Uang itu akan dia bawa pulang untuk menafkahi keluarganya. Keluarga itu dapat makan, si ayah akan rajin bekerja, anak-anaknya dapat sekolah, istrinya mungkin ikut majelis taklima, dan semua akibat baik itu kembali kepada si pembeli yang sudah menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan,” begitu isi ceramah itu.
***
Sebaliknya dengan kegiatan merusak alam. Memotongi kayu-kayu yang ada di bebukitan meski tahu itu daerah resapan air dan harus dijaga. Bukit yang gundul akan membuat longsor, akan terjadi banjir, merusak tanaman dan sawah yang ada di bawahnya, merusak banjir kalau terjadi banjir bandang. Kerugian dan musibah itu akan terpulang tanggungjawabnya pada orang yang merusak hutan.
Sama dengan kemarahan yang dilampiaskan karena tidak sabar. Marah pada supir angkot yang terlalu lama ngetem akan membuat supir itu emosi lalu ugal-ugalan, bisa jadi nanti menyerempet orang, membuat dia ditilang atau ditangkap polisi. Betapa banyak kerugian yang terjadi.
“Sebaiknya kita sabar. Setiap orang punya masalah sendiri, yang kita tidak tahu. Si supir itu ingin dapat penumpang banyak mungkin karena perlu uang, untuk sekolah anaknya, belanja istrinya, atau ada yang sakit. Jadi daripada marah, kan bagus bertanya baik-baik. Atau kalau ada gejala mau marah, istighfar saja,” begitu yang dia dengar.
Lelaki tua meneguk kopi, isi gelasnya sudah hampir habis. Senja sudah hampir memerah. Sekitar 30 menit akan terdengar suara azan dari masjid. Dia bergegas menggulung tikar dan mengangkat gelas untuk beranjak ke rumahnya. Dadanya serasa luas, pikirannya terasa segar. Alam benar-benar memberikan manfaat baginya setelah merenungi nikmat Yang Maha Kuasa.
Dia akan mandi dan mengajak istrinya untuk bersama-sama menunaikan salat bergabung dengan warga desa lainnya. Dalam perjalanan dan di masjid si lelaki akan bertemu tetangga dan ngobrol menjalin silaturahmi, seperti selama ini. Membicarakan hal-hal positif dan bercengkerama tentang pekerjaan mereka, tanaman olahan mereka, keluarga mereka, dan apa saja.
Tidak ada gunanya bergunjing, membicarakan orang, yang hanya akan menambah dosa. Begitu sulit mengumpulkan pahala, buat apa pula menguranginya dengan kelakuan yang tidak perlu.
“Beruntung aku sudah bertobat,” kata si lelaki tua. “Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni dosa-dosaku yang tak terhingga, sehingga saat dipanggil kelak tidak ada lagi yang tersisa.”
***
Ciputat, 20 Februari 2023